Keamanan Minim bagi Pejabat Jepang Dikritik Usai Pembunuhan Shinzo Abe

9 Juli 2022 16:38 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. Foto: Kyodo via AP
zoom-in-whitePerbesar
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. Foto: Kyodo via AP
ADVERTISEMENT
Penembakan mantan Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, pada Jumat (8/7/2022) menggarisbawahi kurangnya perlindungan keamanan bagi tokoh-tokoh terkenal di negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Kepolisian Jepang mengerahkan perlindungan ringan untuk acara-acara politik. Selama musim kampanye, pemilik suara dapat berinteraksi dengan para pemimpin negara secara langsung.
Rekaman kejadian pembunuhan Abe juga menunjukkan kondisi serupa. Sebelum menembak Abe dengan senjata rakitan, tersangka terlihat berjalan mendekatinya tanpa halangan.
Ketika serangan berlangsung, Abe tengah berkampanye untuk kandidat Partai Demokrat Liberal (LDP) di Kota Nara. Penyerang berjarak hanya sekitar tiga meter dari pria berusia 67 tahun itu.
Pemandangan udara di sekitar penembakan Mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe di Nara, Jepang, Jumat (8/7/2022). Foto: Kyodo via REUTERS
Mantan polisi detektif, Paul Nadeau, pernah mengikuti kampanye Abe. Dia sebelumnya bekerja untuk para pejabat LDP, sehingga mengetahui pengamanan dalam agenda-agenda tersebut. Nadeau mengatakan, pidato semacam itu adalah acara yang intim.
"Keamanannya ringan, publik berada dekat dan ramai, dan tidak pernah ada rasa bahaya atau rasa tidak aman," ungkap Nadeau, dikutip dari Reuters, Sabtu (9/7/2022).
ADVERTISEMENT
"Kedekatan dan keterbukaan acara ini adalah sesuatu yang saya selalu suka tentang politik di Jepang," lanjut pria yang sekarang menjadi profesor di Temple University of Japan itu.
Seorang pria, diyakini sebagai tersangka penembakan mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe ditahan oleh petugas polisi di Stasiun Yamato Saidaiji di Nara, Prefektur Nara, Jepang, Jumat (8/7/2022). Foto: Kyodo/via REUTERS
Polisi lantas meluncurkan penyelidikan atas masalah keamanan dalam peristiwa yang menimpa Abe.
"Kami akan mengambil tindakan yang tepat bila masalah ditemukan," jelas Kepolisian Nara, dikutip dari AFP.
Kepolisian Nara menerangkan, pihaknya mendapatkan permintaan perlindungan mendadak. Abe kemudian menerima perlindungan dari seorang petugas polisi khusus bersenjata dan sejumlah petugas lokal lainnya.
Namun, pihaknya menolak merinci jumlah petugas yang menangani keamanan Abe.
Suasana di sekitar penembakan Mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe di Nara, Jepang, Jumat (8/7/2022). Foto: Kyodo via REUTERS
Anggota LDP yang berada di samping Abe saat penembakan, Iwao Horii, mengungkap detail pengamanan acara. Dia menjelaskan, persiapan untuk acara itu berlangsung seperti biasa.
ADVERTISEMENT
Pihaknya menugaskan sekitar 15 staf partai untuk mengendalikan massa, sedangkan polisi setempat menangani keamanan.
Ketika ditembak, Abe sedang berdiri di persimpangan di luar stasiun kereta api. Dia berpidato kepada ratusan orang, sementara kendaraan lalu-lalang melalui jalanan di belakangnya.
Mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe terlihat setelah tiba untuk pidatonya di Nara, Jepang, Jumat (8/7/2022). Foto: TWITTER @MAKICHANMAN37/via REUTERS
Abe tampak tidak terlindungi dari belakang. Tersangka lantas muncul untuk menyerangnya dari arah jalanan tersebut. Berbagai pihak meyakini, Abe seharusnya mendapatkan pengamanan yang lebih kuat di sekitarnya.
"Siapa pun bisa menembaknya dari jarak itu. Menurut saya keamanannya agak terlalu lemah," ujar mantan detektif polisi Jepang, Masazumi Nakajima, dikutip dari Reuters.
"Orang itu perlu dilindungi dari segala arah," tambah seorang spesialis keamanan VIP, Koichi Ito.
Pejabat LDP berdoa saat iring-iringan jenazah mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, tiba di kediamannya di Tokyo, Jepang, Sabtu (9/7/2022). Foto: Kim Kyung-Hoon/REUTERS
Kekerasan politik dan kejahatan senjata sangat jarang terjadi di Jepang. Pembunuhan seorang mantan atau perdana menteri yang menjabat terakhir kali terjadi pada 1936.
ADVERTISEMENT
Sejak 2017, Jepang juga hanya mencatat 14 kematian terkait senjata api. Angka itu terbilang sangat rendah bagi negara berpenduduk 125 juta orang tersebut.
Sebab, Jepang memberlakukan sejumlah undang-undang pembatasan pembelian dan kepemilikan senjata api paling ketat di dunia.
Dengan demikian, pejabat tinggi negara sering berpergian dengan keamanan sederhana. Pengawalan hanya memfokuskan perlindungan pada ancaman fisik secara langsung.
Mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. Foto: Yuya Shino/REUTERS
Mereka jarang hadir di hadapan umum dengan personel bersenjata lengkap yang dapat mengadang serangan senjata api. Pejabat Jepang, termasuk para mantan perdana menteri, dilindungi oleh cabang khusus kepolisian Tokyo.
Polisi Keamanan (SP) tersebut mengenakan pakaian sipil. Mereka menjalani pemeriksaan ketat sebelum bertugas, seperti uji keahlian dalam pertarungan tangan kosong.
SP biasanya tetap berada dekat dengan politikus yang mereka lindungi. Petugas umumnya dipersenjatai dengan pistol dan tongkat polisi selama tugas mereka.
Suasana setelah mantan perdana menteri Jepang Shinzo Abe tampaknya ditembak selama kampanye pemilihan untuk pemilihan Majelis Tinggi 10 Juli 2022, di Nara, Jepang, Jumat (8/7/2022). Foto: Kyodo/via REUTERS
Salah satu anggota partai yang berkuasa kemudian mengungkap pengamanan bagi Abe. Pejabat yang merahasiakan namanya itu mengatakan, Abe memang merupakan tokoh kalangan atas.
ADVERTISEMENT
Namun, tingkat keamanan yang diberikan kepadanya kemungkinan telah turun sejak dia meninggalkan jabatannya pada 2020. Kepolisian Nara menolak menanggapi pernyataan itu dengan alasan keamanan.
Pengamat meyakini, perlindungan bagi politikus senior akan menjadi lebih ketat usai pembunuhan Abe.
Mantan Menteri Luar Negeri Jepang Fumio Kishida. Foto: Philip Fong/Pool via REUTERS
Insiden itu juga berisiko menghapuskan tradisi dalam kampanye di Jepang yang mengandalkan kedekatan dengan warga sipil.
"Jelas keamanan akan jauh lebih ketat untuk, katakanlah, [Perdana Menteri Fumio] Kishida," tutur akademisi senior dalam Studi Keamanan Jepang di Institut Internasional untuk Studi Strategis.
"Tetapi kedekatan dengan pemilih adalah ciri khas kampanye Jepang. Saya pernah ikut kampanye dan publik berada dekat. Mungkin ini akan berubah. Bila demikian, sayang sekali," lanjut dia.