Keberlanjutan K-Pop di Tengah Tantangan Angka Kelahiran yang Rendah di Korsel

13 September 2023 10:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Boyband K-Pop, EXO. Foto: Facebook/EXO
zoom-in-whitePerbesar
Boyband K-Pop, EXO. Foto: Facebook/EXO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bukan hal baru Korean Wave (K-Wave) atau produk budaya Korea sangat diminati kancah global, tak terkecuali di Indonesia. Keberlangsungan K-Pop yang menjadi fokus pemerintah Korea Selatan sebab mendorong ekspor produk-produk kreatif seperti musik, drama, dan film juga terus dikembangkan.
ADVERTISEMENT
Namun, saat ini Korea Selatan sedang menghadapi tantangan di tengah kesuksesan produk budaya korea yang banyak dihasilkan oleh sumber daya manusia. Tantangan itu yakni angka kelahiran yang rendah.
Badan Pusat Statistik Korsel mencatat, hanya ada 18.982 bayi yang lahir pada November 2022, angka ini turun 4,3 persen dari 2021. Lalu, terjadi angka kematian yang lebih tinggi ketimbang angka kelahiran pada 2020. Yakni, 275.800 kelahiran yang juga turun 10 persen dari 2019, dan jumlah kematian mencapai 307.764 orang.
Profesor Choe Wongi yang juga Kepala Pusat Studi ASEAN-Indian di Institute of Foreign Affairs and National Security, menyebut, Korea Selatan sedang giat mencari jalan keluar. Salah satu solusi yang tengah dilakukan di antaranya dengan mendatangkan sumber daya manusia dari negara lain, termasuk dari Indonesia, yang juga menandakan terjalinnya hubungan baik Korea Selatan dengan negara di Asia Tenggara.
ADVERTISEMENT
"Kini usia warga Korea Selatan semakin tinggi, namun juga memberikan kesempatan pada negara-negara seperti Indonesia untuk bekerja di sini. Selain itu, kami membuka program edukasi untuk warga Internasional, di setiap kampus di Korea, mereka sangat terbuka kepada generasi muda dari Asia Tenggara, ini menjadi win-win solution," ujar Profesor Choe dalam diskusi yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) yang bekerja sama dengan Korea Foundation dan digelar pada Selasa, (12/9).
Profesor Choe Wongi, Kepala Pusat Studi Asean-Indian Studies di Institute of Foreign Affairs and National Security dan Jaeyeon Moon, Jurnalis di Hankook Ilbo Media Group, pada diskusi yang diselenggarakan oleh FPCI pada Selasa (12/9/2023). Foto: Retyan Sekar/kumparan
Dalam menghadapi tantangan angka kelahiran rendah, Korea Selatan semakin masif mengembangkan produk Artificial Intelligent (AI) yang dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari hingga di sektor manufaktur.
Dalam konteks K-Wave, Korea Selatan bahkan telah meluncurkan boyband AI bernama Plave yang terdiri dari 5 member dan semuanya adalah produk AI. Meski, pengisi suara dan penyanyi di balik AI tersebut tetaplah manusia.
ADVERTISEMENT
Boyband AI tersebut menghiasi layar kaca dan juga turut bersaing dengan boyband Korea lainnya yang terdiri dari member manusia. Para member AI tersebut juga berinteraksi langsung dengan para penggemarnya dengan membuat konten keseharian di berbagai platform media sosial. Kesuksesan boyband AI itu juga menembus pasar Internasional.
Meski, menurut jurnalis Hankook Ilbo Media Group, Jaeyeon Moon, hal itu tak dapat menggantikan peran manusia sebagai penghasil ide-ide dan sumber daya yang lebih komunikatif.
Menurut Moon, Korea Selatan belum banyak merasakan dampak dari angka kelahiran yang rendah, apalagi dibantu dengan kecanggihan teknologi saat ini.
"Menurut saya, angka kelahiran yang rendah di Korea Selatan juga belum terasa saat ini meski sudah terjadi selama satu dekade ini, mungkin ini baru benar-benar berdampak pada 10 tahun ke depan," imbuh Moon.
Jaeyeon Moon, jurnalis Hankook Ilbo Media Group, dalam diskusi yang diselenggarakan oleh FPCI pada Selasa (12/9/2023). Foto: Retyan Sekar/kumparan
Selain itu kehadiran K-Wave juga tak melulu bergantung pada member asli Korea. Menurut Moon, hadirnya member Internasional atau yang berasal dari luar korea pada grup-grup musik turut membuka peluang Korea Selatan melebarkan sayapnya ke kancah global yang lebih luas, bahkan dengan melibatkan langsung para member dari negara lain untuk berkarya di Korea Selatan.
ADVERTISEMENT
Sebuah girlgroup bernama Secret Number yang debut di Korea Selatan bahkan memiliki seorang member berasal dari Yogyakarta bernama Dita Karang.
Kesuksesan K-Wave sampai saat ini juga dinilai melibatkan peran besar sektor swasta seperti para agensi yang menaungi para idol tersebut, di antaranya seperti SM Entertainment, YG Entertainment, HYBE, dan JYPE. Menurut Prof. Choe, para agensi diberikan keleluasaan oleh pemerintah dalam mengembangkan potensi para talent yakni idol mereka.
"Jika pemerintah ikut campur, saya pikir agensi yang menghadirkan idol itu tidak akan sesukses ini. Dan juga, tantangan keberlangsungan K-pop juga tidak bisa dipungkiri, pemerintah harus memikirkan solusi agar keberlangsungannya tak berhenti seperti yang terjadi pada J-Pop," ujar Prof Cheo.
Langkah Korsel sebenarnya sudah dimulai sejak awal masa pemerintahan Presiden Moon Jae-in. Pada tahun 2017, Moon telah mengeluarkan “New Southern Policy”, hal ini tak langsung menyebut soal keberlangsungan K-Pop, namun kebijakan itu mengedepankan sumber daya manusia digital, membina generasi berikutnya yang canggih secara teknis, dan menciptakan sumber daya manusia berkelanjutan. Kebijakan ini diharapkan akan membangun kemitraan antara ASEAN dan Korsel ke tingkat yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
"Lewat Korea-ASEAN digital flagship project yang bernilai 30 juta dolar. Contohnya di Busan, ada rumah budaya ASEAN untuk dipromosikan kepada masyarakat ASEAN di Korea. Momentum yang sangat kuat juga dalam membangun strategi Indo-Pasifik, sehingga banyak program baru yang terfokus pada hal ini dan kami akan melakukan lebih banyak lagi dalam waktu dekat," tutup Prof Choe.