Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
12 Ramadhan 1446 HRabu, 12 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Kejagung Gandeng BPK Hitung Kerugian Negara di Kasus Impor Minyak
28 Februari 2025 18:05 WIB
·
waktu baca 4 menit
ADVERTISEMENT
Kejaksaan Agung (Kejagung) menggandeng Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI melakukan perhitungan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak dan produk kilang.
ADVERTISEMENT
Dalam perhitungan sementara, kasus tersebut diduga mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun.
"[Total kerugian negara] sedang dihitung ahli. [Perhitungan kerugian negara] dengan BPK RI," ujar Kapuspenkum Kejagung RI Harli Siregar kepada wartawan, Jumat (28/2).
Sebelumnya, Kejagung mengungkapkan bahwa kerugian negara kasus dugaan korupsi impor minyak mentah di Subholding Pertamina lebih besar dari Rp 193,7 triliun. Sebab, angka kerugian tersebut baru dihitung hanya untuk tahun 2023 saja.
Harli mengatakan bahwa angka yang saat ini disampaikan barulah dugaan awal saja. Jumlah kerugian negara yang terjadi pada 2018–2023 masih dihitung.
"Di beberapa media kita sampaikan bahwa yang dihitung sementara, kemarin yang sudah disampaikan di rilis, itu Rp 193,7 triliun. Itu [hanya] tahun 2023," tutur Harli kepada wartawan.
ADVERTISEMENT
"Makanya kita sampaikan, secara logika hukum, logika awam, kalau modusnya itu sama, ya berarti kan bisa dihitung, berarti kemungkinan lebih. Tetapi, kan, kita sampaikan bahwa tentu ahli keuanganlah yang akan menghitungnya berapa besar nanti kerugian itu," lanjutnya.
Harli mengatakan, perhitungan kerugian negara Rp 193,7 triliun yang terjadi pada 2023 dihitung dari sejumlah komponen.
Komponen itu yakni:
Ia menyebut bahwa Kejagung dan ahli perhitungan kerugian negara akan menghitung apakah komponen yang sama terjadi pada 2018–2022 sehingga nantinya diketahui jumlah kerugian negara sebenarnya.
ADVERTISEMENT
"Misalnya, apakah kompensasi itu berlaku setiap tahun? Apakah subsidi misalnya tetap nilainya setiap tahun? Nah, itu barangkali pertimbangan-pertibangannya," ucap dia.
"Jadi, ini juga supaya tidak salah tafsir, ya, makanya kita sampaikan ya, coba media lah yang menghitung. Ya kan? Karena itu yang disampaikan kemarin di 2023 [saja]," pungkasnya.
Jerat 9 Orang Tersangka
Dalam kasus ini, sudah ada 9 tersangka yang dijerat. Mereka adalah 6 petinggi di Subholding Pertamina berinisial RS, SDS, YF, AP, MK, dan EC.
Sedangkan tiga tersangka lainnya yakni; MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim; GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Merak.
ADVERTISEMENT
Pada 2018-2023, untuk pemenuhan minyak mentah dalam negeri harus wajib mengutamakan pasokan dalam negeri. Pertamina harus mencari dari kontraktor dalam negeri sebelum impor.
Hal itu sebagaimana tegas diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri.
Namun, Kejagung menemukan adanya pengkondisian untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi kilang dalam negeri tidak terserap sepenuhnya. Sehingga pada akhirnya harus impor.
Kemudian, pada saat produksi kilang sengaja diturunkan, produksi minyak mentah dalam negeri juga oleh kontraktor kontrak kerja Sama (KKKS) sengaja ditolak dengan alasan tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan masuk HPS. Selain itu, penolakan juga dinilai karena produksi KKKS tidak sesuai kualitas, padahal faktanya dapat diolah.
ADVERTISEMENT
Dengan penolakan itu, maka minyak mentah dari KKKS tak terserap. Kemudian malah diekspor ke luar negeri.
Kemudian untuk memenuhi kebutuhan minyak mentah, impor pun dilakukan.
Dalam proses impor ini diduga terjadi pemufakatan jahat, yakni terdapat kesepakatan harga yang sudah diatur dengan tujuan dapat keuntungan dengan melawan hukum. Hal ini disamarkan seolah-olah sesuai ketentuan. Pemenang broker pun telah diatur.
Ditambah lagi, dalam proses pengadaan produk kilang, PT PPN melakukan pembelian RON 92, padahal sebenarnya yang dibeli yakni RON 90. Kemudian itu di-blending untuk jadi RON 92.
Pada saat dilakukan impor minyak mentah, ada proses mark up kontrak pengiriman. Sehingga pihak BUMN mengeluarkan fee 13-15 persen dan menguntungkan Muhammad Kerry Andrianto Riza.
ADVERTISEMENT
"Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP (Harga Index Pasar) Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN," kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar.