Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Kejagung Geledah Lagi Rumah Riza Chalid dan Depo Minyak Impor di Cilegon
27 Februari 2025 19:21 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Kejaksaan Agung (Kejagung) masih terus melakukan serangkaian penggeledahan terkait kasus dugaan korupsi tata kelola minyak dan produk kilang yang merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun.
ADVERTISEMENT
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, mengatakan penyidik melakukan penggeledahan di dua rumah milik pengusaha minyak, Riza Chalid, pada Kamis (27/2).
Dua rumah Riza tersebut berlokasi di Jalan Jenggala II, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dan di Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan.
"Di Jalan Jenggala II itu penyelidik menemukan setidaknya 144 bundel berkas dokumen," ujar Harli kepada wartawan, Kamis (27/2).
Namun, untuk penggeledahan rumah di Jalan Panglima Polim, Harli belum bisa membeberkan barang bukti yang disita.
Selain dua rumah Riza, Kejagung juga menggeledah PT Orbit Terminal Merak di Cilegon milik anak Riza, Muhammad Kerry Andrianto Riza. Kerry sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara ini.
"PT OTM yang diduga sebagai storage atau tempat depo, yang menampung minyak yang diimpor," ungkap Harli.
ADVERTISEMENT
Belum diketahui juga apa saja yang disita penyidik dalam penggeledahan tersebut. Dalam kasus ini, sudah ada 9 tersangka yang dijerat. Mereka adalah 6 petinggi di Subholding Pertamina berinisial RS, SDS, YF, AP, MK, dan EC.
Sedangkan tiga tersangka lainnya yakni; MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim; GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Merak.
Pada 2018-2023, untuk pemenuhan minyak mentah dalam negeri harus wajib mengutamakan pasokan dalam negeri. Pertamina harus mencari dari kontraktor dalam negeri sebelum impor.
Hal itu sebagaimana tegas diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Namun, Kejagung menemukan adanya pengkondisian untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi kilang dalam negeri tidak terserap sepenuhnya. Sehingga pada akhirnya harus impor.
Kemudian, pada saat produksi kilang sengaja diturunkan, produksi minyak mentah dalam negeri juga oleh kontraktor kontrak kerja Sama (KKKS) sengaja ditolak dengan alasan tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan masuk HPS. Selain itu, penolakan juga dinilai karena produksi KKKS tidak sesuai kualitas, padahal faktanya dapat diolah.
Dengan penolakan itu, maka minyak mentah dari KKKS tak terserap. Kemudian malah diekspor ke luar negeri.
Kemudian untuk memenuhi kebutuhan minyak mentah, impor pun dilakukan.
Dalam proses impor ini diduga terjadi pemufakatan jahat, yakni terdapat kesepakatan harga yang sudah diatur dengan tujuan dapat keuntungan dengan melawan hukum. Hal ini disamarkan seolah-olah sesuai ketentuan. Pemenang broker pun telah diatur.
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi, dalam proses pengadaan produk kilang, PT PPN melakukan pembelian RON 92, padahal sebenarnya yang dibeli yakni RON 90. Kemudian itu di-blending untuk jadi RON 92.
Pada saat dilakukan impor minyak mentah, ada proses mark up kontrak pengiriman. Sehingga pihak BUMN mengeluarkan fee 13-15 persen dan menguntungkan Muhammad Kerry Andrianto Riza.
"Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP (Harga Index Pasar) Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN," kata Direktur Penyidikan Kejagung Abdul Qohar.