Kejagung Ungkap Kerugian Negara Kasus Pengadaan Satelit Capai Rp 300 M

8 Mei 2025 4:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Konferensi pers pengumuman tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit pada Kementerian Pertahanan RI, di Gedung Jampidsus Kejagung, Jakarta, Rabu (7/5/2025).  Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Konferensi pers pengumuman tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit pada Kementerian Pertahanan RI, di Gedung Jampidsus Kejagung, Jakarta, Rabu (7/5/2025). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
ADVERTISEMENT
Kejaksaan Agung (Kejagung) RI tengah mengusut kasus dugaan korupsi proyek pengadaan user terminal untuk satelit slot orbit 123 derajat bujur timur pada Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI tahun 2012–2021.
ADVERTISEMENT
Direktur Penindakan Jampidmil Kejagung RI, Brigjen TNI Andi Suci Agustiansyah, menyebut bahwa pihaknya baru saja menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus itu. Perbuatan ketiga tersangka diduga mengakibatkan kerugian negara sebesar lebih dari Rp 300 miliar.
Adapun ketiga tersangka itu yakni Kepala Badan Sarana Pertahanan Kemenhan Laksamana Muda TNI (Purn.) Leonardi, Anthony Thomas Van Der Hayden selaku perantara, dan CEO Navayo International Gabor Kuti.
"Menurut perhitungan dari BPKP, kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Navayo International AG telah menimbulkan kerugian negara sebanyak USD 21.384.851,89," kata Andi dalam konferensi pers di Gedung Kejagung RI, Jakarta, Rabu (7/5).
"Untuk kerugian negara dirupiahkan sekitar Rp 300 miliar, kalau kala itu Rp 15 ribu kurang lebih [per] USD 1," jelas dia.
ADVERTISEMENT
Andi menyebut kasus tersebut bermula saat Kemenhan RI melalui tersangka Leonardi menandatangani kontrak dengan CEO Navayo International AG, Gabor Kuti, tentang perjanjian untuk penyediaan terminal pengguna jasa dan peralatan yang terkait (Agreement For The Provision Of User Terminal And Related Service And Equipment).
Kontrak itu ditandatangani pada 1 Juli 2016 dengan nilai kontrak mencapai USD 34.194.300 dan berubah menjadi USD 29.900.000.
Andi menjelaskan, bahwa Navayo International AG merupakan rekomendasi aktif dari tersangka Anthony Thomas Van Der Hayden. Namun, lanjut dia, penandatangan kontrak dengan Navayo International AG dilakukan tanpa adanya anggaran dan penunjukan Navayo International AG sebagai pihak ketiga justru dilakukan tanpa melalui proses pengadaan barang dan jasa.
Gedung Kemenhan di Gambir Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Ia menyebut, Navayo International AG juga mengeklaim telah mengirim barang kepada Kementerian Pertahanan RI. Kemudian, terhadap pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh Navayo International AG, empat buah surat Certificate of Performance (CoP) atau Sertifikat Kinerja pun ditandatangani.
ADVERTISEMENT
"Di mana CoP tersebut yang telah disiapkan oleh Anthony Thomas Van Der Hayden dan Gabor Kuti tanpa dilakukan pengecekan atau pemeriksaan terhadap barang yang dikirim terlebih dahulu," tutur Andi.
Andi menyebut, pihak Navayo International AG kemudian melakukan penagihan kepada Kemenhan RI dengan mengirimkan 4 invoice (permintaan pembayaran dan CoP).
"Namun, sampai dengan tahun 2019 Kementerian Pertahanan RI tidak tersedia anggaran pengadaan satelit," imbuhnya.
Kemudian, atas permintaan penyidik Jampidmil Kejagung RI, dilakukan pemeriksaan terkait pekerjaan Navayo International AG oleh ahli satelit Indonesia.
Dari pemeriksaan itu, kata Andi, diperoleh kesimpulan bahwa pekerjaan Navayo International AG tidak dapat membangun sebuah Program User Terminal. Berikut alasannya:
Hasil pemeriksaan laboratorium terhadap handphone sebanyak 550 unit bukan merupakan handphone satelit dan tidak ditemukan Secure Chip Inti dari pekerjaan User Terminal;
ADVERTISEMENT
Hasil pekerjaan Navayo International AG terhadap User Terminal tidak pernah diuji terhadap Satelit Artemis yang berada di Slot Orbit 123 derajat BT; dan
Barang-barang yang dikirim Navayo International AG tidak pernah dibuka dan diperiksa.
Kemenhan RI pun diwajibkan untuk membayar sejumlah USD 20.862.822 berdasarkan Final Award Putusan Arbitrase Singapura karena telah menandatangani Certificate of Performance (CoP).
Untuk memenuhi kewajiban pembayaran itu, telah dilakukan penyitaan Wisma Wakil Kepala Perwakilan Republik Indonesia, rumah dinas Atase Pertahanan, dan apartemen Koordinator Fungsi Politik KBRI di Paris oleh Juru Sita Paris.
Adapun penyitaan itu dilakukan berdasarkan keputusan Pengadilan Paris yang mengesahkan keputusan Tribunal Arbitrase Singapura tanggal 22 April 2021 yang dimohonkan oleh Navayo International AG atas keputusan Arbitrase Internasional Commercial Court atau ICC Singapura.
ADVERTISEMENT
Dalam konferensi pers pengumuman tersangka itu, sempat disinggung bahwa salah satu tersangka, yakni Thomas van Der Hayden, juga telah dijerat sebagai tersangka di kasus pengadaan satelit.
Bahkan, ia telah menjalani persidangan dan divonis 12 tahun penjara. Vonis itu pun juga telah inkrah atau berkekuatan hukum tetap.
Terkait hal itu, Andi menekankan bahwa perkara yang kini sedang diusut berbeda dengan perkara sebelumnya yang juga menjerat Thomas van Der Hayden.
"Jadi, perkara pertama dia sudah diputus tetapi ini dalam perkara yang berbeda. Fungsinya kalau itu dia adalah sebagai perantara, sehingga nanti diputuskan dalam perkara yang berbeda," ujar Andi.
"Yang atas ini yang sudah inkrah ini, kan, perkara satelit yang di atas, [sementara] kita lagi mengolah satelit yang ada di bawah," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Hal serupa juga disampaikan oleh Kapuspenkum Kejagung RI Harli Siregar. Ia menyebut, bahwa perkara yang saat ini ditangani adalah terkait orbit satelit yang berada di darat.
"Bahwa terhadap yang bersangkutan ini baru penetapan tersangka. Karena yang bersangkutan itu sudah inkrah, ditahan dalam perkara lain, menjalani hukuman," kata Harli.
"Nah, terkait dengan penyampaian tadi yang perkara yang pertama itu urusan langit, karena orbit di langit. Sedangkan ini urusannya yang di darat," pungkasnya.
Akibat perbuatannya, ketiga tersangka tersebut dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 atau Pasal 8 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 KUHP.
Meski telah ditetapkan sebagai tersangka, ketiganya belum dilakukan penahanan oleh penyidik.
ADVERTISEMENT