Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Kejagung Usut Dugaan Korupsi dalam Kontrak Navayo Terkait Kasus Satelit Kemhan
29 Juni 2022 17:38 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kini, penyidikan tengah fokus pada dugaan korupsi dalam kontrak yang dibuat dengan pihak Navayo. Navayo merupakan salah satu pihak yang digaet Kemhan dalam pembangunan Satkomhan.
Pengusutan itu dilakukan melalui pemeriksaan sejumlah saksi oleh penyidik Kejagung pada Rabu (29/6). Mereka adalah:
"Kejaksaan fokus penyidikan kontrak Navayo dugaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan satelit slot Orbit 123 derajat Bujur Timur pada Kementerian Pertahanan Tahun 2012 sampai dengan 2021," kata Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana.
ADVERTISEMENT
"Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan," sambung dia.
Kejagung telah menetapkan tiga orang tersangka dalam perkara dugaan korupsi pengadaan satelit tersebut terkait kontrak dengan Avanti. Mereka adalah:
"Selanjutnya Kejaksaan akan mulai fokus melakukan penyidikan dugaan tindak pidana terkait kontrak dengan Navayo," pungkas Sumedana.
Seputar Kontrak Navayo
Kasus Satelit Kemhan ini bermula ketika Satelit Garuda 1 yang keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) pada tanggal 19 Januari 2015. Sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia.
Setelah kekosongan terjadi, sejumlah upaya dilakukan agar orbit bekas satelit tersebut tak jatuh ke negara lain. Sebab, berdasarkan ketentuan dari International Communication Union, sebuah badan di bawah PBB yang bertanggung jawab di bidang telekomunikasi dunia, negara yang telah diberi hak pengelolaan satelit akan diberi waktu untuk mengisi kembali orbit dengan satelit lain dalam waktu 3 tahun.
ADVERTISEMENT
Kemhan disebut kemudian menyewa satelit kepada Avanti Communication Limited (Avanti), pada tanggal 6 Desember 2015 untuk mengisi sementara kekosongan. Padahal, Kemhan tidak mempunyai anggaran untuk itu.
Pada saat itu, ada satelit Artermis milik Avanti yang akan habis bahan bakarnya 2019. Kemhan lantas menyewa satelit Artemis dengan nilai sewa USD 30 juta. Avanti menempatkan satelit Artemis pada 12 November 2016.
Nah, pengisian sementara itu sembari menunggu pembangunan Satkomhan. Dalam pembangunan itulah Kemhan menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat pada 2015-2016.
Kontrak dengan lima perusahaan tersebut bernilai total USD 669 juta atau hampir Rp 10 triliun. Kepada Navayo dkk, Kemhan bahkan belum sekalipun membayar. Padahal pada 2016 sudah tersedia anggaran, namun Kemhan melakukan self-blocking dengan alasan penghematan. Ini berujung gugatan.
ADVERTISEMENT
Pada akhir 2019, perusahaan asal Hungaria ini menggugat ke Pengadilan Arbitrase Internasional Singapura. Dalam sidang pada 22 April 2021, majelis arbitrase Singapura memutuskan Indonesia bersalah dan harus membayar USD 20 juta atau sekitar Rp 300 miliar kepada Navayo.
Kembali ke penyewaan satelit, belakangan Avanti menggugat Kemhan di London Court of International Arbitration (LCIA) atas dasar kekurangan pembayaran sewa. Negara bahkan harus membayar Rp 515 miliar karena gugatan itu.
Tahun 2018, Kemenhan lalu mengembalikan hak pengelolaan slot orbit 123 BT ke Kementerian Komunikasi dan Informatika. Pada 10 Desember 2018, pengisian orbit itu diserahkan kepada PT Dini Nusa Kusuma (DNK).
Namun, PT DNK disebut tidak bisa menyelesaikan masalah yang tersisa dari Kemhan yang menjadi ganjalan dalam pengadaan Satkomhan.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus korupsi tersebut, diduga negara dirugikan hingga Rp 500.579.782.789 dari perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Berikut rinciannya: