Kejamnya Kebun Binatang Manusia, Potret Rasisme di Eropa dan Amerika

30 Oktober 2019 8:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pavilion yang Dibangun untuk World Fair 1913 di Gent. Pada World Fair tersebut, satu orang dari Filipina tewas karena TBC saat dipamerkan di kebun binatang manusia. Foto: Daniel Chrisendo/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pavilion yang Dibangun untuk World Fair 1913 di Gent. Pada World Fair tersebut, satu orang dari Filipina tewas karena TBC saat dipamerkan di kebun binatang manusia. Foto: Daniel Chrisendo/kumparan
ADVERTISEMENT
Kebun binatang sering menjadi tempat tujuan wisata keluarga di akhir pekan. Tempat ini cocok sebagai tempat rekreasi dan juga pusat edukasi tentang hewan-hewan yang ada di dunia. Sangat senang rasanya bisa berkunjung ke kebun binatang.
ADVERTISEMENT
Tapi bagaimana rasanya jika kebun binatang yang kamu kunjungi bukan berisi hewan-hewan, melainkan manusia? Apakah kamu masih akan merasa senang?
Kebun binatang manusia bukanlah hanya cerita fiksi belaka. Tempat ini pernah benar-benar ada dalam sejarah manusia dan cukup populer pada abad ke-19 dan abad ke-20.
Bahasa halus kebun binatang manusia adalah pameran etnologi. Biasanya pameran ini menunjukkan perbedaan budaya dan gaya hidup antara peradaban negara-negara Eropa dengan negara-negara non-Eropa yang dianggap lebih primitif.
Orang-orang yang berasal dari luar Eropa sering dianggap sebagai kelompok makhluk hidup yang lebih beradab dari hewan-hewan primata lain, seperti monyet. Namun, tidak sama beradabnya seperti masyarakat Eropa yang berkulit putih. Oleh karena itu, pameran etnologi kerap dianggap sebagai pameran yang rasis dan banyak dikritik.
ADVERTISEMENT
Pada 1870-an, kebun binatang manusia mulai populer di negara-negara barat. Pameran terbesar pertama diinisiasi oleh seorang pedagang hewan liar dari Jerman bernama Carl Hagenbeck pada 1874.
Ia memiliki ide untuk membuka kebun binatang yang tidak hanya diisi dengan hewan, tapi juga manusia. Saat itu televisi dan fotografi belum ditemukan, pergi ke negara lain juga tidak semudah sekarang. Sehingga satu-satunya cara untuk melihat manusia dari benua lain adalah dengan mendatangkan mereka dan memamerkannya di kebun binatang.
Pada 1930-an ada sekitar 400-an kebun binatang manusia di Jerman. Kebun binatang tersebut juga dapat ditemukan di kota-kota di luar Jerman seperti Paris, London, Milan, New York, dan Barcelona. Biasanya yang dipamerkan dalam kebun binatang adalah orang-orang dari negara jajahan bangsa Eropa, sebagai upaya menujukkan kepada seluruh dunia bangsa Eropa memiliki manusia-manusia dari daerah lain.
ADVERTISEMENT
Misalnya, bangsa Belgia mempertunjukkan orang-orang Kongo, bangsa Prancis mempertontonkan orang-orang Madagaskar, bahkan orang Hindia-Belanda (kini Indonesia) juga pernah dipertontonkan oleh bangsa Belanda. Orang-orang dalam kebun binatang tersebut melakukan kegiatan sehari-hari seperti memasak dan makan dalam pakaian tradisional mereka. Sementara orang-orang Eropa yang berkunjung akan melihat-lihat layaknya melihat hewan di kebun binatang.
Salah satu yang paling ekstrem terjadi pada 1906 di New York. Seseorang dari Kongo diasah giginya, lalu ditempatkan di dalam sebuah kandang monyet di kebun binatang Bronx bersama simpanse dan orangutan.
Kebun binatang manusia terakhir ada di Brussels pada 1958 yang dibuat khusus untuk acara World Fair. Saat itu, Belgia memamerkan orang-orang Kongo yang masih ada dalam jajahan mereka sampai 1960. Pameran tersebut dinamai Kongorama, di mana orang-orang Kongo diletakkan di dalam pagar bambu. Cara bertani, alat transportasi, dan karya seni mereka juga ikut dipertontonkan pada acara ini.
ADVERTISEMENT
Bahkan, pengunjung juga melempar pisang dan uang agar orang-orang dari Kongo tersebut bereaksi. Mereka kemudian ditertawakan dan diejek. Tujuh orang bahkan harus tewas karena kondisi yang buruk di kebun binatang.
Akhirnya bangsa Eropa pun menyadari bahwa pameran etnologi seperti ini merupakan cerita pedih dan sangat rasis. Kebun binatang manusia pun sudah tidak ada lagi. Di tempat terakhir kebun binatang manusia di Belgia dibangun Museum Kongo dan kemudian Museum Royal Afrika Tengah yang menjadi pengingat atas kekejaman yang pernah dilakukan manusia terhadap sesamanya.