Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Para ABK WNI bekerja menderita di kapal penangkap ikan China Long Xing 629. Empat di antara mereka meninggal dunia lalu dilarung di laut, 14 ABK berhasil selamat pulang. Menurut kuasa hukum mereka, kontrak kerja para ABK membuat mereka rentan jadi korban.
ADVERTISEMENT
DNT Lawyers, kuasa hukum 14 ABK WNI, mengatakan kontrak kerja atau perjanjian kerja laut yang diteken para ABK memuat unsur yang memicu penderitaan mereka.
Salah satunya adalah jam kerja tidak terbatas yang semuanya ditentukan oleh kapten. Dengan peraturan ini, para ABK diharuskan bekerja selama 18 jam setiap hari, bahkan lebih dari itu.
"Jika kebetulan pada saat itu tangkapan ikan sedang berlimpah, para ABK harus kerja terus menerus selama 48 jam tanpa istirahat," ujar pernyataan DNT Lawyers, Minggu (10/5).
Selain itu, soal makanan juga jadi masalah. Dalam kontrak disebutkan, mereka hanya boleh makan makanan yang disiapkan dan tak boleh mengeluh, walau ada yang tidak layak atau bertentangan dengan agama.
Akibatnya, kebutuhan makan para ABK terbengkalai. Menurut DNT, para ABK sering diberi makan umpan ikan yang berbau sehingga mereka keracunan dan gatal-gatal. Diskriminasi makanan juga terlihat, antara ABK WNI dan ABK China .
ADVERTISEMENT
"ABK Indonesia diberi makanan berupa sayur-sayur dan daging ayam yang sudah berada di freezer sejak 13 bulan, sedangkan ABK Tiongkok selalu memakan dari bahan yang masih segar yang di supply dari kapal lain dalam satu group," kata DNT.
Selain itu, mereka tidak boleh membantah perintah kapten dan tidak boleh melarikan diri dari kapal. Menurut DNT, dua ABK WNI mengalami kekerasan fisik dari wakil kapten dan ABK senior Tiongkok.
Gaji mereka juga dibayarkan tidak sesuai kontrak. Selama 13 bulan bekerja, mereka hanya mendapatkan USD 120 atau Rp 1,7 juta. Kementerian Luar Negeri RI mengatakan beberapa dari mereka bahkan tidak dibayar.
"Padahal seharusnya ABK berhak mendapatkan minimum USD 300 setiap bulan," ujar DNT.
Dalam kontrak kerja juga terdapat informasi yang tidak benar. Dalam kontrak disebut kapal itu berbendera Korea Selatan , ternyata China.
ADVERTISEMENT
DNT Lawyers mengkritisi pada agen pengirim ABK yang tutup mata dan lepas tanggung jawab dalam kasus ini. Agensi dianggap tidak melakukan pengawasan terhadap keberlangsungan hidup para ABK. Mereka juga tidak mengirimkan uang kepada keluarga ABK yang menjadi tanggung jawab agensi.
“Ini jelas bentuk perbudakan modern, dimana pihak Penyalur (agensi) tutup mata akan hal ini dan hanya mengejar keuntungan semata,” ujar DNT Lawyers.