Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kekejaman Bashar Al-Assad saat Jadi Presiden: Rakyat Suriah Dibom hingga Disalib
9 Desember 2024 11:37 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Konflik berdarah di Suriah telah berlangsung lebih dari satu dekade. Akarnya berasal dari gelombang protes damai yang menyeruak pada 2011 silam yang dikenal sebagai Arab Spring. Demi menumpas oposisi, Assad menggunakan cara brutal.
ADVERTISEMENT
Suriah awalnya dikenal sebagai negara relatif damai. Tapi, kondisi itu mulai berubah saat demo Arab Spring yang meminta perubahan atas kekuasaan Bashar al-Assad yang telah memimpin sejak 2000 menggantikan ayahnya, Hafez al-Assad.
Namun, harapan akan reformasi berubah menjadi mimpi buruk. Protes damai di dua kota Daraa dan Hama dibalas dengan kekerasan brutal oleh pasukan keamanan.
Penindasan ini memicu perlawanan yang lebih besar, hingga sejumlah anggota militer membelot dan membentuk kelompok oposisi bersenjata.
Sayangnya, oposisi Suriah tidak solid. Mereka terpecah menjadi berbagai faksi—dari kelompok sekuler, Islamis moderat, ekstremis, hingga pejuang Kurdi.
Perpecahan ini memberi ruang bagi Assad untuk memperkuat posisinya dengan dukungan dari sekutu seperti Rusia dan Iran.
Di sisi lain, kekejaman kelompok ekstremis seperti ISIS juga memperparah penderitaan rakyat Suriah. Meski demikian, data menunjukkan sebagian besar korban tewas adalah akibat serangan rezim Assad.
ADVERTISEMENT
Kekejaman Rezim Assad
Rezim Assad menggunakan cara-cara brutal untuk menumpas perlawanan. Pengeboman tanpa pandang bulu, pengepungan kelaparan, hingga serangan senjata kimia menjadi senjata utama mereka.
Bom barel—bom rakitan berisi bahan peledak, paku, dan pecahan logam—dijatuhkan ke wilayah sipil, sementara gas sarin dan klorin digunakan untuk membantai warga tak bersenjata.
Warga sipil ditembak, ditikam, dipenggal, dan bahkan disalib. Mereka tidak diberi makan, minum, dan obat-obatan hingga mengalami kekurangan gizi.
Anak-anak dirobohkan rumahnya, diperkosa, ditembak, disiksa, dan direkrut paksa ke dalam kelompok bersenjata.
Ribuan perempuan dan anak perempuan diculik, diperdagangkan, dan dijual sebagai budak seks. Sekolah dan rumah sakit menjadi sasaran dan dihancurkan secara sistematis.
Pada 2023 lalu, Prancis mengambil sikap atas kekejaman rezim Assad. Presiden Emmanuel Macron menegaskan bahwa Prancis tidak akan menormalisasi hubungan dengan Suriah selama Bashar al-Assad masih berkuasa. Hal ini disampaikan dalam pidatonya di Sidang Umum PBB, Macron mengkritik keras kebrutalan Assad terhadap rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Prancis juga terus memberikan dukungan kemanusiaan kepada rakyat Suriah melalui berbagai program bantuan, termasuk pengiriman pasokan makanan, obat-obatan, dan perlindungan bagi pengungsi Suriah yang masih berjuang di tengah konflik berkepanjangan.
Sikap ini sejalan dengan upaya Uni Eropa untuk menekan rezim Assad melalui sanksi internasional.
Tak cuma Prancis, Liga Arab juga memboikot Assad dan menangguhkan keanggotaannya. Assad dinilai bertanggung jawab atas represi terhadap rakyatnya sejak rusuh 2011. Keanggotaan Suriah di Liga Arab baru dipulihkan pada 2023.
Korban Tewas
Organisasi Hak Asasi Manusia Suriah (SNHR) mencatat bahwa dari 2011 hingga 2021, sebanyak 207 ribu warga sipil tewas akibat tindakan rezim Assad. Laporan SNHR membenarkan kekejaman di rezim Assad.
Angka korban jiwa yang dilaporkan mencakup 15.149 anak-anak dan 13.695 wanita. Jumlah tersebut setara dengan 94 persen dari total korban sipil selama konflik.
ADVERTISEMENT
"Mayoritas dari mereka yang tewas (dalam konflik) adalah warga sipil dan sebagian besar dari mereka tewas akibat penembakan rezim yang membabi buta," tutur direktur SNHR Fadel Abdulghani kepada Middle East Eye, Februari 2015.
"Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa bom barel dan rudal scud rezim telah menjadi penyebab utama kematian warga sipil dalam konflik Suriah," tambahnya.
Sebagai perbandingan, ISIS bertanggung jawab atas sekitar 6.500 kematian warga sipil, sedangkan kelompok oposisi lainnya menyebabkan 6.000 hingga 11.000 kematian.
Setelah 24 tahun berkuasa, rezim Assad "resmi" berakhir. Pada Minggu (8/12), komando militer Suriah mengumumkan era pemerintahan Assad telah runtuh menyusul serangan pemberontak yang mengguncang negara tersebut.
Pejuang oposisi Suriah melancarkan serangan hingga berhasil merebut sebagian besar wilayah Suriah. Aliansi pemberontak yang menyerang bernama Pasukan Demokratik Suriah (SDF), yang dipimpin oleh kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS).
ADVERTISEMENT
Merayakan Kemenangan
ADVERTISEMENT
Pejuang oposisi pun merayakan kemenangan penggulingan Assad. Mereka lega karena akhirnya terlepas dari rezim dinasti Assad yang telah menguasai Suriah dengan tangan besi selama lebih dari lima dekade.
Penyelidik kejahatan perang PBB mendesak mereka yang bertanggung jawab di negara itu untuk memastikan "kekejaman" yang dilakukan di bawah pemerintahan Assad tidak terulang.
Amnesty International menyebut momen ini sebagai "kesempatan bersejarah" untuk mengadili mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran di Suriah.
Kini Assad diduga kuat telah berada di Moskow, Rusia. Ia sempat menghilang di hadapan publik, dan disebut-sebut meninggalkan negaranya usai pemberontak menguasai Suriah.
ADVERTISEMENT
Dilansir Al Jazeera, menurut laporan kantor berita Rusia, Assad telah menerima suaka dari Moskow.