Covid Section-Cover SQR-Laboratorium Balitbangkes

Kelabakan Mengidentifikasi Sebaran Corona

6 April 2020 12:36 WIB
comment
12
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tim medis mengevakuasi pasien dalam simulasi penanganan wabah corona di Semarang. Foto: ANTARA/Aji Styawan
zoom-in-whitePerbesar
Tim medis mengevakuasi pasien dalam simulasi penanganan wabah corona di Semarang. Foto: ANTARA/Aji Styawan
Penanganan pasien COVID-19 di Indonesia kerap terlambat. Prosedur panjang dan kapasitas laboratorium yang belum memadai menjadi masalah utama.
Sri, panggil saja demikian, masih terpukul tiap kali mengingat peristiwa medio Maret lalu. Suatu hari, dokter sebuah rumah sakit di Jawa Timur itu menerima seorang pasien yang diduga terjangkit COVID-19.
“Hasil rapid test-nya positif, di-swab untuk tes Polymerase Chain Reaction (PCR),” kata Sri.
Swab merupakan proses pengambilan spesimen dari tubuh pasien. Dokter akan mengusap pangkal tenggorokan pasien dengan alat khusus.
Spesimen yang diambil kemudian dikirim ke laboratorium yang ditunjuk pemerintah. Langkah itu dilakukan sesuai arahan pemerintah.
Seseorang yang dinyatakan positif COVID-19 berdasarkan rapid test harus dikonfirmasi lagi melalui tes PCR. Pasalnya, rapid test tak sepenuhnya akurat.
Spesimen hasil usap tenggorokan pasien Sri dibawa ke Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Surabaya untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Satu-dua hari awal, kondisi pasien Sri masih stabil. Ia hanya menunjukkan gejala ringan batuk biasa. Sementara itu, RS tak kunjung mendapat kepastian hasil tes PCR.
Lima hari sejak pasien dirawat, pada akhir Maret, situasi berubah. Kondisi pasien Sri terus menurun. Alhasil, dia mengembuskan napas terakhir.
Nahasnya, hasil tes PCR baru diterima rumah sakit dua hari setelah pasien wafat. Si pasien dinyatakan positif COVID-19.
Pemakaman pasien COVID-19 di TPU Pondok Ranggon, Jakarta. Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
“Kalau PCR-nya keluar dari hari pertama, kita bisa menangani dengan cepat dan akurat sejak dini,” sesal Sri. Ia lantas membandingkan proses uji PCR di Singapura yang hanya butuh waktu dua jam hingga hasilnya keluar.
Lambatnya hasil swab tak cuma dialami pasien Sri. Mendiang Bupati Morowali Utara Aptripel Tumimomor juga mengalami hal serupa. Ia meninggal dengan status pasien dalam pengawasan (PDP), Kamis (2/4).
Kepastian tes swab baru keluar sehari kemudian. Hasilnya: Aprtripel positif COVID-19.
Problem tes swab memang masih menjadi sengkarut di tengah pandemi COVID-19 yang makin menjadi.
Kasus yang terjadi di Cianjur, Jawa Barat, bisa menjadi contoh dalam bentuk lain. Seorang pria awalnya mengalami gejala batuk dan demam akhir Februari lalu.
Dokter menetapkan status si pasien sebagai PDP, sambil menunggu hasil tes swab. Pada 3 Maret, pasien itu meninggal.
Sehari sebelumnya, Kementerian Kesehatan sempat menyatakan tes pria tersebut menunjukan hasil negatif COVID-19. Beberapa pekan kemudian, informasi berbeda diungkapkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Emil, sapaan karib sang gubernur, menyatakan pasien di Cianjur itu positif corona.
Lambannya proses uji laboratorium tes swab tak pelak dikeluhkan kepala daerah. Penumpukan spesimen di laboratorium Balitbangkes Kemenkes dituding menjadi pangkal masalah. Hal itu berdampak pada panjangnya antrean spesimen yang harus diuji.
Padahal, tahapan uji laboratorium merupakan salah satu bagian vital dalam upaya memerangi virus corona. Jumat (3/4) lalu, Emil menumpahkan keluhannya kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam sebuah kesempatan rapat melalui video conference.
Menurut mantan Wali Kota Bandung ini, pasien dan tenaga kesehatan butuh kepastian segera. “Sementara Bapak lihat sendiri antrean di Litbangkes itu luar biasa panjang," kata Emil.
Ia menilai, kapasitas laboratorium Balitbangkes sangat terbatas untuk menguji sampel dari seluruh Indonesia. Emil pun membandingkannya dengan kemampuan pengujian laboratorium Korea Selatan yang jauh lebih besar.
“Pak Menkes menyampaikan di depan Presiden, Litbangkes hanya sanggup 200 sampel per hari. Kira-kira begitu. Padahal, Korsel itu bisa mengetes 15 ribu sampel per hari,” lanjut Emil.
Sebelumnya, Juru bicara pemerintah RI terkait penanganan corona Achmad Yurianto pernah mengklaim bahwa Balitbangkes bisa memeriksa 1.400 spesimen per sehari.
Untuk mengonfirmasinya lebih lanjut, kumparan menghubungi Yuri. Hanya saja, ia tidak merespons pesan WhatsApp dan panggilan telepon kumparan ke nomor pribadinya.
Upaya konfirmasi kumparan ke Kepala Balitbangkes, Siswanto, juga tak mendapat tanggapan.
Mekanisme pemeriksaan spesimen merujuk ke Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 182 Tahun 2020 tentang Jejaring Laboratorium Pemeriksaan COVID-19.
Rumah sakit dapat mengirimkan spesimen hasil swab ke 12 laboratorium pemeriksa yang ditunjuk pemerintah. Pemerintah membagi kewenangan pemeriksaan PCR setiap laboratorium berdasarkan wilayah.
Bila hasil uji dinyatakan negatif, laboratorium pemeriksa bisa langsung memberi kepastian kepada rumah sakit. Lain halnya bila uji dinyatakan positif. Balitbangkes akan melakukan konfirmasi lanjutan untuk memastikan temuan kasus positif dari laboratorium pemeriksa. Itu sebabnya, antrean spesimen menumpuk di Balitbangkes.
Alhasil, birokrasi yang panjang itu bermuara menjadi masalah di hilir. Tenaga medis kesulitan untuk memberikan penanganan tepat dan segera kepada pasien.
“Jadi yang tadinya bisa 1-2 hari, molor jadi tiga hari, bahkan ada yang mau sampai lima hari," kata Aryati, Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik, kepada kumparan.
Berlarut-larutnya kepastian, menurutnya, bisa menyebabkan tenaga medis bimbang dalam mengambil tindakan terhadap pasien. Di lapangan, pengujian yang masih tersentralisasi juga memunculkan masalah teknis.
Aryati mencontohkan, pengiriman spesimen di beberapa daerah terkendala masalah distribusi. “Teman-teman saya di Kalimantan, teman-teman di Papua, sekarang ini juga mereka kesusahan misalnya mau mengirim (spesimen),” ujarnya.
Pengiriman spesimen juga terkadang butuh waktu lama. Aryati khawatir kualitas spesimen semakin lama akan berkurang. Bila hal itu terjadi, kata dia, bukan tak mungkin akurasi hasil tes juga akan menurun.
Petugas mengenakan pakaian steril saat akan memasuki Laboratorium Balitbangkes, Jakarta. Foto: ANTARA/Galih Pradipta
Kendala pemeriksaan spesimen juga dialami laboratorium. Terbatasnya kapasitas laboratorium pemeriksa membuat mereka tak bisa menguji spesimen yang masuk melebihi kemampuan.
Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, misalnya, hanya sanggup memeriksa 180 spesimen setiap harinya. Tapi tak jarang Eijkman menerima sampel dari rumah sakit di luar wilayah kerjanya.
Kepala LBM Eijkman Amin Soebandrio menyatakan bahwa Eijkman seharusnya hanya menerima sampel dari wilayah Jakarta. Namun, lembaganya juga mendapat kiriman spesimen dari luar Jakarta. “Dari luar Jawa juga ada,” kata Amin.
Eijkman, menurutnya, tak bisa menolak kiriman sampel dari luar DKI Jakarta. Hanya saja, kelebihan sampel harus masuk daftar antrean untuk diperiksa.
“Kalau yang masuk berlebih tentu harus menunggu berikutnya. Jadi misalnya datang Senin, dikerjakan Selasa,” kata Amin.
Ahli kesehatan masyarakat Universitas Indonesia Tri Yunis Miko mengatakan, pemerintah harus lebih gencar melakukan tes untuk mendeteksi pasien terjangkit COVID-19. Langkah itu penting dalam memutus rantai penularan.
Dengan demikian, pasien terinfeksi bisa diisolasi dan tidak menularkan orang lain. Miko menegaskan, penambahan alat dan sumber daya manusia yang bisa melakukan pemeriksaan PCR tidak terelakkan.
Bila tidak dilakukan, ia khawatir upaya pemutusan mata rantai virus corona tak akan berhasil. “Jadi sekarang Indonesia susah mengejar jumlah kasus yang (sebenarnya) terjadi,” kata Miko.
Jokowi vs Corona. Foto: Kiagoos Aulianshah/kumparan
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk membantu mencegah penyebaran COVID-19. Yuk, bantu donasi sekarang!
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten