Keluarga Tak Ingin Kematian dr Aulia Disebut Bunuh Diri, Ini Penjelasannya

5 September 2024 14:59 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ibunda almarhumah dr. Aulia Risma, Nuzmatun Malinah; adik kandung, Nadia; dan pengacara mereka, Misyal Ahmad usai membuat pelaporan di Polda Jateng. Foto: Intan Alliva Khansa/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ibunda almarhumah dr. Aulia Risma, Nuzmatun Malinah; adik kandung, Nadia; dan pengacara mereka, Misyal Ahmad usai membuat pelaporan di Polda Jateng. Foto: Intan Alliva Khansa/kumparan
ADVERTISEMENT
Keluarga almarhumah dr. Aulia Risma tak ingin kematian putrinya dikatakan bunuh diri. Keluarga mengungkap, mahasiswi PPDS Anestesi Universitas Diponegoro itu meninggal dunia karena sakit.
ADVERTISEMENT
"Almarhumah mati bunuh diri, itu tidak benar. Saya pastikan tidak ada. Meninggal dunia karena sakit," ujar Misyal Ahmad, pengacara keluarga dr. Aulia, di Polda Jateng, Kamis (5/9).
Ia menjelaskan, saat Aulia meninggal dunia ditemukan dua macam obat. Satu merupakan obat untuk menghilangkan rasa sakit dan satu lagi obat yang bisa melemaskan seluruh otot termasuk menghentikan jantung.
"Jadi kalau orang pakai mau bius seseorang atau bunuh diri pakai obat itu tidak terasa sakit, langsung dia tidur tahu-tahu tidak sadar, otot jantung berhenti, meninggal," jelas dia.

Tidak Disuntikkan

Namun, ternyata Aulia tidak menyuntikkan obat yang bisa melemaskan seluruh otot termasuk jantung itu. Obat yang disuntikkan cuma obat penghilang rasa sakit.
"Nah kalau mau dikatakan bunuh diri, ini almarhum ini seorang dokter yang mengerti obat-obatan, kenapa tidak pakai itu? Ada dua jenis obat, yang satu mematikan sangat, jadi mati tidak sakit. Kalau mau bunuh diri ya pakai itu, dia pakai obat itu hanya menghilangkan rasa sakit," ujar Misyal.
ADVERTISEMENT
Ia juga mengungkap, korban menderita syaraf kejepit dan sudah dioperasi selama dua kali. Syaraf kejepit itu muncul setelah korban mengalami kecelakaan karena kecapekan saat menjalani pendidikan.
"Jadi kecapaian karena jam kerja yang saya bilang tadi. Ibunya enggak mungkin bohong. Setiap pagi ibunya yang membangunkan dia. Setiap hari seperti itu, sampai akhirnya suatu saat dia jatuh masuk ke selokan yang menyebabkan dia saraf kejepit. Dia dioperasi dua kali," imbuh dia.

Disuruh Angkat Galon, Pesan Makanan 80 Boks

Selain itu, menurut Misyal, korban juga kerap disuruh-suruh oleh seniornya mulai dari mengangkat galon, memesan makanan padahal ia sedang sakit. Kondisi ini kemudian memperparah rasa sakitnya.
"Dan bayangkan dengan frekuensi jam kerja begitu dia harus mengangkat galon, menyiapkan ruang operasi, menyiapkan makan untuk seniornya, membagi dan memesan makanan bisa 80 boks. Misal kita kompak memesan nasi padang selesai, tapi yang ini pengin ini, puluhan orang pesan makanan yang berbeda dan itu dilakukan setiap hari," tutur Misyal.
ADVERTISEMENT
Tak hanya tenaga yang diperas, korban juga diminta untuk membiayai pembuatan jurnal yang dilakukan oleh seniornya.
"Beliau juga harus menyetorkan dan mengumpulkan uang untuk membayar orang yang mengerjakan jurnal-jurnal atasan sampai seperti itu. Jadi miris kita melihatnya," kata Misyal.