Keluarga Uighur di China Diduga Tidak Diselamatkan saat Kebakaran di Urumqi

28 November 2022 17:15 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi petugas memadamkan api kebakaran.

 Foto: Fakhri Hermansyah/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi petugas memadamkan api kebakaran. Foto: Fakhri Hermansyah/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Kebakaran yang melanda wilayah ibu kota regional Urumqi pada Kamis (24/11) meninggalkan duka bagi Abdulhafiz Maimaitimin. Ia kehilangan lima orang keluarganya.
ADVERTISEMENT
Setelah kehilangan kontak akibat tindakan kekerasan pada masyarakat etnis Uighur, kini Maimaitimin kehilangan keluarganya diduga akibat kebijakan nol-COVID. Kebijakan ketat itu masih berlaku di China.
AFP melaporkan Maimaitimin yang kini tengah mengungsi di Swiss tercengang ketika mendengar kematian bibinya Haiernishahan Abdureheman dan empat anaknya dalam kebakaran tersebut.
"Lengan dan kaki saya gemetar dan saya merasa pusing, saya ingin muntah. Saya tidak dapat memahaminya," kata Maimatimin.
Sebelumnya, ia telah kehilangan kontak dengan Abdureheman sejak Mei 2018 ketika China memberlakukan tindakan keras bagi satu juta etnis Uighur. Otoritas China melakukan penahanan sewenang-wenang di penjara dan kamp konsentrasi.
Tidak hanya itu, mereka juga melakukan asimilasi dan penyingkiran struktural etnis Uighur yang dinilai tidak memiliki identitas dan latar belakang budaya yang sama dengan etnis mayoritas di China, Han.
ADVERTISEMENT
Karena perlakuan buruk yang diterima, ditambah kabar duka kematian sang bibi Maimaitimin tak kuasa menahan tangis ketika bercerita mengenai keluarganya di kampung halaman yang sudah tiada.
"Dia adalah seorang ibu rumah tangga, seluruh hidupnya dikhususkan untuk merawat anak-anaknya dan mendidik mereka dengan baik," kata Maimaitimin sembari menangis mengingat sang bibi.
"Lima tahun kemudian saya benar-benar tidak bisa membayangkan saya akan mendengar tentang kerabat saya dengan cara ini." tambahnya.
Maimaitimin menduga bahwa keluarganya tidak dapat diselamatkan karena mereka berasal dari etnis Uighur. Menurutnya, tidak akan ada perubahan berarti jika ia memprotes kematian keluarganya karena otoritas China akan berupaya meredamnya.
"Saya pikir pengunjuk rasa akan ditangkap, dan (Uighur, red) akan ditempatkan di bawah kontrol yang lebih ketat,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya menimbulkan kekecewaan Maimaitimin, kebakaran tersebut juga menyulut kemarahan warga China. Sepuluh orang tewas dan sembilan lainnya luka-luka diduga terjadi karena kebijakan nol-COVID-19 yang menghambat proses penyelamatan.
Dalam sebuah video yang menampilkan proses pemadaman terlihat mobil pemadam yang menyemprotkan air di kompleks wilayah tersebut bahkan tidak dapat mencapai jendela yang terbakar. Video yang menangkap jeritan sekarat penduduk pun tersebar luas di media sosial.
Dibutuhkan waktu kurang lebih tiga jam untuk memadamkan api. Penanganan yang lamban inilah yang mendorong aksi protes kebijakan nol-COVID di beberapa kota besar di China.
Otoritas setempat berdalih bahwa kebakaran tersebut terjadi di wilayah yang rendah angka kasus positif COVID-19. Namun, mereka mengakui beberapa kendaraan menghalangi petugas untuk memadamkan api.
ADVERTISEMENT
"Beberapa penduduk memiliki kemampuan yang lemah untuk menyelamatkan diri mereka sendiri dan tidak melakukan pemadaman kebakaran yang efektif atau melarikan diri tepat waktu untuk menyelamatkan diri mereka sendiri," kata kepala layanan penyelamatan kebakaran kota Li Wensheng.
Penulis: Thalitha Yuristiana