Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Foto ini mungkin mengganggumu, apakah tetap ingin melihat?
“Kami melaporkan tindak pidana pembunuhan berencana ke Bareskrim Polri dalam kasus kematian Brigadir Yosua .”
– Kamaruddin Simanjuntak, pengacara keluarga Yosua
***
Bunyi letupan terdengar pada Jumat sore (8/7) di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan. Ketua RT setempat, Mayjen (Purn) Seno Sukarto, mendengarnya jelas. Mantan Asrena Kapolri di masa Jenderal (Purn) Kunarto pada 1991-1993 itu tak menaruh curiga, sebab petasan kerap dinyalakan anak-anak jelang Idul Adha.
Nyatanya, bunyi itu bukan berasal dari petasan seperti yang dikira Seno, melainkan dari letupan pistol di rumah dinas Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo.
Tiga hari kemudian, Senin (11/7), Humas Polri baru menyatakan: ada baku tembak antara anak buah Sambo, yakni Brigadir J dan Bharada E.
Brigadir J adalah Nofriansyah Yosua Hutabarat, sedangkan Bharada E adalah Richard Eliezer Pudihang Lumiu. Yosua dan Richard merupakan dua di antara sekian ajudan yang dimiliki Ferdy Sambo.
Sehari setelahnya, Selasa (12/7), Kapolres Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susiantono mengatakan, “... Di TKP, kami menemukan seseorang yang tergeletak berlumuran darah, ada di dekat tangga, arah masuk kamar mandi di bawah tangga.”
Ketika itu, menurut Budhi, ia menghubungi Inafis untuk membantu olah tempat kejadian perkara. Jenazah kemudian dibawa oleh Palang Hitam ke RS Polri, Kramat Jati, sementara pemeriksaan berlangsung terhadap beberapa saksi, salah satunya R, yang menyaksikan “duel” antara Brigadir J dan Bharada E.
“Saksi R melihat Brigadir J menembak lebih dahulu ke arah Bharada E. Dari situ kami mendalami dan mendapati hasil pemeriksaan bahwa Brigadir J masuk ke kamar pribadi yang saat itu [di dalamnya] ada Ibu Kadiv Propam,” kata Budhi.
Istri Sambo, Putri Candrawathi, ketika itu disebut sedang beristirahat di kamarnya di lantai satu, usai perjalanan dari Magelang.
“Setelah berada di kamar karena lelah pulang dari luar kota, Ibu (Putri) sempat tertidur. Tiba-tiba Brigadir J masuk dan melakukan pelecehan terhadap Ibu,” ucap Budhi.
Polisi mengatakan, Putri berteriak beberapa kali, membuat Bharada E dan K mendatangi kamarnya. Sementara Brigadir Yosua yang ada di dalam kamar Putri, disebut panik mendengar langkah kaki menuruni tangga. Ia bergegas keluar kamar, dan bertemu E dan K.
“Melihat J keluar dari kamar, E bertanya, ‘Ada apa?’ Tapi bukannya dijawab, malah [E] ditembak. Tembakan tidak mengenai E, hanya kena tembok. E berlindung di balik tangga, dan karena dia dibekali senjata, dia keluarkan senjata di pinggangnya. Kemudian terjadi penembakan beberapa kali,” papar Budhi.
Berdasarkan keterangan polisi, ada 12 tembakan yang meletus di rumah itu. Tujuh tembakan Brigadir Yosua ke arah Bharada E disebut meleset seluruhnya. Padahal, menurut keluarga, ia pernah menjadi penembak jitu saat bertugas di Jambi.
Sementara itu, 5 peluru yang ditembakkan Bharada E ke Brigadir Yosua, semuanya berhasil bersarang. Bahkan, anehnya, ada 7 bekas tembakan di tubuh Yosua.
Menurut Budhi, luka pada kelingking Yosua berasal dari peluru yang menembus badan, sehingga polisi menghitungnya sebagai dua luka yang berasal dari satu peluru.
Demikian pula ada peluru yang masuk ke lengan bagian dalam dan tembus ke badan, sehingga dihitung pula sebagai dua luka tembak yang berasal dari satu peluru.
Dari situlah, menurut polisi, asal dua luka tembak tambahan yang ada di tubuh Yosua.
Usai tembak-menembak itulah Budhi menerima laporan dari Sambo soal peristiwa mengerikan di kediamannya. Ia bersama Satuan Reserse Kriminal Polres Jaksel segera meluncur ke lokasi untuk olah TKP. Ia melihat sendiri Yosua meninggal bersimbah darah.
Aroma Anyir dari Duren Tiga
Sejak kejadian itu, Polri telah menggelar beberapa kali konferensi pers, baik oleh Mabes Polri maupun Polres Jakarta Selatan. Namun, keterangan mereka justru menimbulkan tanda tanya. Setumpuk kejanggalan mengemuka, terutama setelah keluarga Yosua di Jambi menyatakan bahwa Yosua bukan hanya ditembak, tapi juga disiksa.
“Begitu jenazah almarhum tiba di Jambi, keluarga diperintahkan [polisi] untuk tidak memegang handphone, tidak memfoto, tidak memvideokan. Setelah jenderal atau kombes [yang mengantar jenazah] ini masuk ke rumah [keluarga Yosua], pintu langsung ditutup, jendela atau gorden ditutup, lalu ia memerintahkan agar tidak ada perekaman,” kata Kamaruddin Simanjuntak, kuasa hukum keluarga Yosua, kepada kumparan, Minggu (17/7).
Keluarga Yosua pun curiga. Apalagi polisi menghalang-halangi mereka untuk membuka peti jenazah. Mereka merasa diintimidasi. Namun, mereka tak kehabisan akal. Keluarga lantas memanggil petugas medis untuk menyuntikkan formalin guna mengawetkan jenazah Yosua, sebab pemakamannya baru digelar tiga hari setelah ia meninggal.
Saat itulah akhirnya keluarga berhasil membuka peti jenazah. Dan saat memeriksa jenazah, mereka kaget bukan main. Ayah Yosua, Samuel Hutabarat, stres melihat wajah dan tubuh anaknya penuh luka. Sementara ibu Yosua, Rosti Simanjuntak, menjerit-jerit histeris.
“Saya menangis dan menjerit, apalagi istri saya. Itu baru lihat luka di wajah, belum lagi dibuka kancing baju [Yosua],” kata Samuel kepada kumparan di Jambi, Jumat (15/7).
Ia melihat rahang putranya bergeser. Itu sebabnya ia menduga anaknya terlibat perkelahian, bukan hanya diberondong tembakan seperti kata polisi.
“Ini bukan tembak-menembak,” tegas Samuel.
Keluarga kemudian memotret luka-luka itu saat polisi tak ada di ruangan, lantas pergi ke rumah kerabat yang berjarak satu kilometer dari rumah mereka, dan mengirim foto-foto itu kepada Kamaruddin di Jakarta menggunakan ponsel sang kerabat karena ponsel mereka sendiri diretas.
“Jari manis dan kelingking almarhum patah. Di perut dan bawah ketiak juga ada lebam-lebam biru bekas penganiayaan. Pundaknya hancur dan masih mengeluarkan darah. Saat dibuka celananya, di kaki, di bawah betis, ada lagi luka tusuk karena senjata tajam,” papar Kamaruddin sambil menunjukkan foto-foto luka pada tubuh Yosua.
Pertanyaannya, sambung Kamaruddin, “Siapa yang menyayat-nyayat Yosua? Apakah Yosua disiksa, disayat-sayat, dan dipukuli dulu, baru ditembak? Atau ia ditembak dulu, baru disayat-sayat? Tapi kalau sudah mati, buat apa disiksa?”
Seorang sumber mengiyakan terjadi penganiayaan terhadap Yosua. Menurutnya, sejumlah barang bukti ditemukan di lokasi, termasuk alat yang digunakan untuk memotong jari Yosua.
“Barang bukti ditemukan, pakai semacam ini,” ujarnya sambil mengeluarkan alat pemotong cerutu atau cigar cutter yang tajam dari tasnya.
Sumber lain yang bersinggungan dengan polisi juga mendapat informasi serupa dari rekannya di kepolisian.
Menurutnya, hal itu mengindikasikan bahwa luka di jari Yosua bukan karena terkena peluru yang kemudian menembus badan, tapi karena cigar cutter. Ini mengingatkan akan tradisi potong jari yang dilakukan Yakuza, organisasi mafia Jepang, kepada anggotanya yang melakukan pengkhianatan atau pelanggaran.
Sebelumnya, keluarga dan pengacara pun telah menyebut dua jari Yosua patah. “Tanda bekas dianiaya. Jari manis dan kelingking ini dirusak, bukan oleh peluru,” ujar Kamaruddin.
Kabar lantas beredar santer bahwa Sambo terlibat dalam peristiwa itu. Menurut sumber, semua bermula ketika Sambo mulai curiga terhadap kedekatan istrinya, Putri, dan Yosua.
Selama ini, Yosua sering bertugas menyopiri Putri. Ia juga kerap menemani Putri pergi ke tempat-tempat hiburan.
“Setiap dibawa ke tempat-tempat itu dan bertemu teman-teman Ibu, J selalu dianggap pacar Ibu,” ucap si sumber.
Ia melanjutkan, hal itu membuat Sambo dongkol dan memberi perintah ke Bharada E, ajudannya yang paling junior. Bharada E pun tak bisa menolak perintah itu.
Pada hari kejadian, ujar sumber tersebut, Sambo berada di rumah dinasnya. Ia bersembunyi di salah satu sudut. Lantas, ketika terdengar suara dari kamar Putri, penyergapan terhadap Yosua dilakukan.
“Jadi dia disergap. [Yosua dan penyergapnya] lalu berantem, setelah itu ia disiksa, baru dihabisi. Kejadiannya seperti di film...,” kata sumber itu.
Menurutnya, kunci pengungkapan kasus ini ada pada rekaman CCTV rumah dan kesaksian pembantu. Padahal, dekoder CCTV di rumah dinas Sambo disebut rusak sehingga sama sekali tak ada rekaman saat baku tembak terjadi.
Pengacara Sambo, Arman Hanis, membantah Sambo berada di rumah. “Kan sudah dijelaskan oleh Mabes Polri, Sambo tidak ada saat kejadian.”
Mabes Polri telah menyatakan, Sambo sedang keluar rumah untuk tes PCR saat penembakan terjadi. Namun, tidak disebut di mana persisnya ia tes PCR. Hal itu kini menjadi salah satu materi penyelidikan tim investigasi gabungan internal-eksternal Polri.
Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo meminta semua pihak untuk menunggu kerja tim khusus tersebut alih-alih berspekulasi.
Kasus Brigadir Yosua jelas berdampak buruk terhadap Polri, bukan hanya secara eksternal, tapi juga internal. Sumber lain di kepolisian menyebut, kini sesama polisi pun saling mencurigai dan saling memeriksa.
Terlebih, Sambo merupakan pucuk pimpinan Divisi Profesi dan Pengamanan Internal Polri yang sedianya bertugas untuk mengawasi anggota Polri agar bekerja sesuai etik dan profesi masing-masing. Dengan demikian, Divisi Propam memiliki wewenang untuk menindak polisi.
Menurut sumber tersebut, ia pun sempat diadang dan dimintai keterangan oleh petugas dari Pengamanan Internal Polri yang merupakan bagian dari Propam.
“Saya sempat lewat lokasi penembakan [di rumah dinas Sambo di Duren Tiga] lepas tengah malam, lalu dicegat Paminal,” ujarnya.
Sementara itu, beredar kabar bahwa istri Sambo, Putri, ikut mengalami kekerasan fisik. Namun, hal itu dibantah oleh Novita Tandry, psikolog yang ditunjuk Polda Metro Jaya untuk mendampingi Putri.
“Saya bertemu Ibu Putri. Dia dalam kondisi fisik yang bagus,” ujarnya.
Menurut Novita, Putri mengenakan pakaian lengan pendek saat bertemu dengannya. Tak terlihat tanda-tanda lebam di wajah dan tubuh Putri.
Meski demikian, ujarnya, kondisi psikis Putri tak baik. Ia terguncang.
“Dia belum bisa berkomunikasi dengan baik. Beberapa kali menangis. Merasa malu karena jadi sorotan utama media pekan ini,” kata Novita.
Arman membenarkan Putri trauma berat dan dalam perawatan intensif. Ia juga menyanggah sang istri Kadiv Propam turut mendapat kekerasan.
“Tidak benar sama sekali. Itu informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso berpendapat, untuk mengetahui kebenaran kabar bahwa Putri juga menerima kekerasan, ia seharusnya ikut diperiksa.
IPW menekankan, kasus kematian Brigadir Yosua harus dikawal secara profesional karena melibatkan Sambo yang notabene jenderal bintang dua.
“Bongkar kejanggalan-kejanggalannya, terutama soal asal sayatan-sayatan [di tubuh Yosua]. Jangan sampai ada impunitas,” tutup Sugeng.
Saat ini Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah membentuk tim gabungan untuk mengusut kasus kematian Yosua dengan metode scientific crime investigation. Pada tim ini, Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono bertindak sebagai penanggung jawab, dan Irwasum Polri Komjen Agung Budi Maryoto, menjadi ketua tim.
Kapolri mengajak Komisi Kepolisian Nasional dan Komnas HAM untuk ikut dalam tim tersebut. Menurut Listyo, “Polri akan melakukan semua proses secara objektif, transparan, dan akuntabel. Dan temuan-temuan yang didapat tim gabungan menjadi kesimpulan untuk melengkapi proses yang saat ini dilaksanakan penyidik.”
Sementara Kompolnas memenuhi ajakan Kapolri untuk bergabung dalam tim penyelidik, Komnas HAM memutuskan untuk melakukan penyelidikan sendiri secara independen.
“Secara kelembagaan kami independen, makanya tidak bergabung di timsus, tapi saling kerja sama,” kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam.
Polri pun menyatakan membuka akses lebar kepada Komnas HAM untuk memastikan proses penyelidikan berjalan lancar.
Anam menyatakan, Komnas HAM akan memeriksa siapa pun pihak yang terkait, termasuk Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo; istrinya, Putri Candrawathi; maupun Bharada E. Komnas HAM juga akan memeriksa langsung ke TKP.
“Bertemu dengan keluarga [Brigadir Yosua] adalah langkah pertama kami. Setelah itu kami akan panggil teman-teman di pihak lain—polisi, dokter, siber, termasuk Pak Irjen Sambo dan istrinya, kami harap bisa bertemu langsung,” kata Anam, Minggu (17/7).
Menurut Anam, Komnas HAM akan menguji rilis kepolisian maupun persepsi masyarakat untuk melihat mana yang benar. “Kami bergerak imparsial dan objektif. Semua informasi penting akan kami ambil; semua aktor terkait akan kami minta keterangannya.”
Kematian Brigadir Yosua turut menjadi sorotan Presiden Jokowi. Ia telah menerima laporan tertulis dari Kapolri, dan mengingatkan bahwa semua orang sama di hadapan hukum.
“Tuntaskan. Jangan ditutupi. Buka. Jangan sampai ada keraguan dari masyarakat,” ujarnya di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (13/7).
Untuk membuka kasus ini pula, kuasa hukum keluarga Yosua melaporkan tindak pidana pembunuhan berencana dalam kasus kematian sang brigadir. Kepada kumparan, tim pengacara membeberkan deretan fakta janggal di seputar kematian Yosua.
Simak laporannya di sini: