eye-off
Foto ini mungkin mengganggumu, apakah tetap ingin melihat?
Lipsus Dua Babak Brigadir Yosua- Brigadir Yosua

Tim Pengacara Beberkan Foto Dugaan Penyiksaan di Tubuh Brigadir Yosua (3)

18 Juli 2022 12:03 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
31
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tim pengacara keluarga Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat membeberkan deretan fakta janggal seputar kematian sang ajudan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo. Berbagai kejanggalan itu pun mereka laporkan ke Bareskrim Polri, Senin (18/7).
“Kami melaporkan tindak pidana pembunuhan berencana, pencurian dan penggelapan handphone, serta penyadapan ilegal, peretasan, dan dugaan tindak pidana komunikasi,” kata sang pengacara, Kamaruddin Simanjuntak.
Ia lantas menunjukkan foto-foto luka di tubuh Yosua yang diduga berasal dari penganiayaan. Dengan tegas ia mengatakan, Yosua bukan hanya diberondong tembakan, tapi juga disiksa.
Berikut pemaparan lengkap Kamaruddin Simanjuntak beserta tim pengacaranya dalam wawancara dengan kumparan, Minggu (17/7).
Pengacara Muhammad Kece, Kamaruddin Simanjuntak. Foto: Dok. Pribadi
Temuan apa saja yang Anda dapatkan setelah berkomunikasi dengan keluarga Yosua?
Keterangan yang diberikan Polri berbeda dengan fakta yang ditemukan keluarga. Begitu jenazah almarhum [Brigadir Yosua] tiba di Jambi, keluarga pertama-tama diperintahkan [polisi] untuk tidak memegang handphone, tidak memfoto, tidak memvideokan.
[Yang memerintahkan itu] rombongan polisi dari Jakarta, baik yang dipimpin oleh Kombes, Propam Mabes Polri, maupun Brigadir Jenderal dari Karo Paminal.
Ketika Karo Paminal Brigadir Jenderal Hendra datang ke sana, rombongan polisi masuk dan langsung menutup pagar sekolah karena keluarga itu tinggal di lingkungan sekolah.
Tanpa izin, mereka langsung membuka pintu rumah. Begitu Jenderal [yang mengantar jenazah] masuk, pintu langsung ditutup, jendela atau gorden ditutup, lalu ia memerintahkan tidak ada perekaman.
“Turunkan handphone, tidak boleh merekam karena ini aib,” kurang lebih begitu katanya. Jadi mereka menyebutnya “aib”.
Jadi dari awal keluarga merasa sangat ditekan, bahkan seperti dianggap kelompok teroris.
Dan walau peti jenazah sudah diserahterimakan, tapi dijaga terus supaya jangan sampai dibuka. Padahal mestinya polisi bisa pergi, kecuali misal ada upacara kepolisian, maka ada polisi ditugaskan pada hari atau jam pemakamannya.
Tapi ini kan tidak ada upacara kepolisian. Jadi mengapa polisi terus menjaga peti itu agar jangan sampai dibuka?
Peti jenazah Birigadir Yosua saat hendak dikirim ke Jambi. Foto: Dok. Istimewa
Lalu sewaktu ibu almarhum bertanya bukti tembak-menembak, ia dimarahi. Ketika ayah almarhum bertanya “Dari jarak berapa Yosua ditembak? Rekaman CCTV-nya mana?”, dimarahi juga. Jadi intinya yang boleh bicara hanya Jenderal atau Kombes polisi, sedangkan orang tua almarhum hanya bisa menerima informasi. Tidak boleh bertanya, hanya boleh mendengar.
Keluarga merasa sangat terintimidasi dan berpikir ini sangat tidak logis. Mereka ini tersangka teroris atau bagaimana? Kok diperlakukan seperti itu saat suasana duka?
Samuel Hutabarat memegang foto almarhum anaknya, Brigadir Yosua, di kediaman mereka di Jambi. Foto: kumparan
Jadi kejanggalan apa saja yang sejauh ini Anda himpun?
Dalam surat pengantar jenazah almarhum, disebutkan bahwa Yosua—yang jenazahnya ada di dalam peti yang mereka antar—ini berumur 21 tahun. Nah, karena jenazah dalam peti disebut berumur 21 tahun, tentu keluarga semakin ingin tahu: jenazah siapa itu? Karena umur Yosua bukan 21 tahun, melainkan 28 tahun.
Itu sebabnya mereka ingin membuka peti jenazah. Tapi seluruh petugas kepolisian yang ada di sana terus menghalangi seolah-olah peti ini benda keramat yang tidak boleh dibuka. Padahal, keluarga Yosua ini orang Batak yang punya tradisi mengulosi orang yang meninggal.
Pokoknya, peti jenazah dijagain dan ditungguin terus supaya enggak dibuka. Akhirnya, keluarga dengan dalih menambah formalin untuk mengawetkan jenazah supaya bisa dikubur Senin, 11 Juli 2022—karena kan diduga matinya Jumat, 8 Juli—memanggil petugas medis untuk memasukkan formalin [ke tubuh Yosua] sehingga dibukalah petinya dan dibukalah baju Yosua.
Jahitan bekas autopsi membelah perut Birigadir Yosua. Memar terlihat di bagian perut. Foto: Dok. Kamaruddin Simanjuntak
[Untuk memasukkan formalin], keluarga minta izin polisi untuk membuka peti jenazah. Polisi keluar sebentar dari rumah, dan keluarga buru-buru membuka baju Yosua.
Berikutnya, mereka kaget karena menemukan luka di sana sini, tapi bukan bekas peluru. Ternyata ada bekas sayatan di bibir, hidung, leher, bawah mata jenazah, belakang kepala. Sampai dijahit dua-tiga kali. Padahal yang dirilis oleh Karo Penmas Polri adalah [kematian karena] tembak-menembak.
Tapi, nyatanya, semakin dibuka seragam polisi yang dipakaikan ke jenazah, terlihat ada sayatan dan luka akibat benda tajam. Dibuka bajunya di bagian atas, terlihat pundaknya hancur diduga bukan karena peluru, tapi karena penganiayaan. Dagingnya hampir terkelupas dan bahkan masih mengeluarkan darah saat itu. Berlubang besar kayak robek karena benda tajam.
Robekan di belakang telinga Yosua. Foto: Dok. Kamaruddin Simanjuntak
Kemudian di telinga dalam bengkak, dan di belakang telinga ada robekan kurang lebih satu jengkal. Robekan ini diduga digolok atau dibacok. Mungkin ketika dia duduk, ditancap dari belakang, makanya robek di belakang telinga.
Kalau robekan yang sudah dijahit dari bawah leher sampai bawah pusar ini karena autopsi. Tapi, selain bekas peluru di tangan dan dada; di perut kiri dan perut kanan, juga di bawah ketiak, ada lebam-lebam biru bekas penganiayaan, diduga karena benda tumpul.
Di jari-jari juga ada tanda bekas dianiaya. Jari manis dan kelingkingnya patah dan luka-luka. Kedua jari ini dirusak, dan bukan oleh peluru.
Robekan di kaki Yosua. Foto: Dok. Kamaruddin Simanjuntak
Saat dibuka celananya, di kakinya, di bawah betis, ada lagi luka tusuk karena senjata tajam, tembus sampai ke urat nadi. Lebar lubangnya kurang lebih dua buku jari. Ini mungkin karena sangkur atau popor senjata atau badik. Yang jelas bukan karena peluru.
Memang di tubuh Yosua ada 7 lubang berwarna hitam, katanya itu lubang peluru. Tapi ada bekas senjata tajam. Ini memerlukan investigasi: siapa yang menyayat-nyayat Yosua?
Sekujur tubuh Brigadir Yosua penuh luka. Ilustrasi: kumparan
Luka-luka itu membuat keluarga tidak percaya dengan penjelasan Karo Penmas bahwa [kematian Yosua] karena tembak-menembak. Apalagi penembak yang satu lagi (Bharada E) tidak kena satu peluru pun.
Timbul pertanyaan: apakah Yosua disiksa dulu? Disiksa, disayat-sayat, dan dipukuli baru ditembak; atau ditembak dulu baru disiksa?
Itu harus terjawab. Kalau dia ditembak dulu, lalu mati, baru disiksa… loh, mayat kok disiksa?
Wajah Yosua tersayat di bibir dan bawah mata. Foto: Dok. Kamaruddin Simanjuntak
Bagaimana keterangan resmi pada hasil autopsi?
Kapolres Jakarta Selatan memohon autopsi ke RS Polri—ditandatangani stafnya atas nama dia. Di situ tidak dirinci apa saja luka-lukanya, bekas tembakannya, dan bekas penyiksaannya. Hanya ditandatangani dalam keadaan kosong. Yang disebut hanya jenazah ditemukan pukul 17.00.
Saat kami tanyakan ke keluarga apakah ada yang memberi izin autopsi, ibu, bapak, tante, dan adik perempuannya menyatakan tidak. Tapi adik lelakinya yang juga polisi menandatangani lembaran kertas. Adiknya ini dipanggil Karo Provos, lalu memerintahkan dia untuk pergi ke RS Polri. Di sana adiknya tidak melihat mayat abangnya, tapi disodori kertas untuk ditandatangani. Perkiraannya, itu kertas permintaan autopsi.
Lalu keluarlah abangnya sudah dalam peti yang kemudian dikirim ke Jambi.
Adik Birigadir Yosua melihat jenazah abangnya sebelum dikirim ke Jambi. Foto: Dok. Istimewa
Apakah hasil autopsi hanya menyebut adanya luka tembak?
Tidak, tidak ada. Tidak ada penjelasan apa-apa dari pihak rumah sakit sampai sekarang. Tembak-menembak itu hanya keterangan—atau pendapat—dari Karo Penmas Mabes Polri. Saya yakin Karo Penmas tidak di TKP. Jadi mungkin dia mendapat keterangan dari orang lain. Saya rasa dia juga tidak memeriksa mayatnya.
Memar dan lebam di tubuh Birigadir Yosua. Foto: Dok. Kamaruddin Simanjuntak
Dalam surat permintaan visum et repertum, tidak dijelaskan apa-apa saja yang luka. Semua kolomnya kosong, kecuali namanya: Nofriansyah Yosua, laki-laki kelahiran Jambi, 1994. Di sini umurnya ditulis benar—28 tahun. Tetapi rincian tentang apa yang terjadi, tidak dijelaskan.
Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan mengosongkan saja kolom-kolom itu. Keterangan tempat kejadian perkara pun tak ada, kecuali ditulis: korban ditemukan mati di alamat tersebut di atas—mungkin maksudnya ya di Duren Tiga—pada 8 Juli 2022 jam 17.00.
Tapi, di sertifikat kematian, yang mati adalah laki-laki berusia 21 tahun. Padahal yang dimohon untuk visum et repertum adalah laki-laki kelahiran 1994. Nah, ini kan ada perbedaan antara 28 tahun dan 21 tahun. Dalam sertifikat kematian pun nomor KTP-nya tidak ditulis.
Dokter yang membuat surat keterangan kematian itu, dari tanda tangan yang tercantum, adalah dr. Arif Wahyono, Sp.F.
Bekas sayatan di leher jenazah Birigadir Yosua. Foto: Dok. Kamaruddin Simanjuntak
Apa lagi yang menurut Anda tidak sesuai prosedur?
Ada penghilangan barang bukti seperti dekoder CCTV di TKP, ada kemungkinan perusakan TKP, tidak memasang police line, tidak melibatkan Inafis persis sesudah peristiwa terjadi.
Seharusnya saat mayatnya masih di sana, Inafis mengecek segala macam—dari jari sampai kaki. Lalu mayat yang katanya tertelungkup itu dipotret. Seharusnya kan begitu. Di Jakarta, petugasnya sudah ahli semua. Tapi kalau ada intervensi, keahlian bisa hilang.
Inafis (Indonesia Automatic Fingerprint System) adalah unit khusus kepolisian yang mengumpulkan bukti-bukti di TKP untuk membantu proses penyidikan suatu perkara.
Inafis baru datang ke rumah Irjen Sambo untuk olah TKP pada hari yang sama dengan dipasangnya police line di sana, yakni Selasa malam, 12 Juli—empat hari sesudah kematian Brigadir Yosua.
Police line yang telat dipasang di rumah dinas Irjen Sambo. Foto: Indrianto Eko Suwarso/Antara
Selain itu, tidak ada penangkapan. Seharusnya semua orang di rumah itu ditangkap dulu 1 x 24 jam untuk dimintai keterangan, baik Kadiv Propam maupun istrinya. Setelahnya, baru penyidik boleh memulangkan mereka kalau tidak menemukan bukti.
Penyidik bisa juga membuat perintah penahanan 20 hari, lalu diperpanjang 40 hari untuk kepentingan penyelidikan. Tapi kenapa tidak dilakukan? Padahal ada peristiwa kematian di rumah itu.
Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo dan Brigadir Yosua. Foto: Facebook/Rohani Simanjuntak
Jadi, menurut Anda Irjen Sambo seharusnya ditahan dulu di hari kejadian karena rumahnya menjadi TKP?
Ya.
Garis polisi di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo. Foto: Dok. Istimewa
Kemudian soal TKP, ada dua kemungkinan: di rumah atau di mobil.
Mengapa kami bilang bisa di mobil dalam perjalanan antara Magelang dan Jakarta?
Begini logikanya, pagi jam 10.00 WIB, Yosua masih berkomunikasi dengan ayah ibunya yang sedang berziarah ke Sumatera Utara dari Jambi. Dia bilang, “Mak, saya mau mengawal balik ke Jakarta.”
Nah, kalau bermobil dengan kecepatan tinggi, Magelang-Jakarta itu sekitar 7 jam. Jadi kalau berangkat dari Magelang jam 10.00 pagi, dia baru sampai di Jakarta jam 17.00 WIB. Tetapi dalam permohonan autopsi Kapolres Jaksel ke RS Polri, dia sebut menemukan mayat jam 17.00 WIB. Lah, lalu peristiwa tembak-menembaknya kapan?
Sebelum jam 17.00 seharusnya kan [Yosua] masih dalam perjalanan—di mobil. Tapi katanya pukul 17.00 itu Kapolres tiba di tempat (rumah dinas Irjen Sambo) dan sudah melihat ada mayat [Yosua]. Berarti baku tembaknya kapan, dong? Jangan sampai ada yang mengarang cerita.
Maka dari itu, mobilnya juga harus disita dan diperiksa oleh penyidik. Jangan-jangan di situ darah berceceran.
Rumah diperiksa, mobil pun diperiksa.
Rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Apa yang akan dilakukan keluarga Yosua berikutnya?
Kami akan melaporkan tindak pidana dugaan pembunuhan berencana dan penganiayaan yang menyebabkan kematian orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 340 KUHPidana juncto Pasal 338 KUHP juncto Pasal 351 ayat 3 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 tentang dugaan penyertaan dan atau perbantuan.
Pada KUHP, Pasal 340 dan 338 masuk dalam Bab XIX tentang Kejahatan terhadap Nyawa, Pasal 351 masuk dalam Bab XX tentang Penganiayaan, dan Pasal 55 masuk dalam Bab V tentang Penyertaan dalam Tindak Pidana.
Ponsel keluarga Yosua diretas. Foto: kumparan
Kami juga melaporkan tindak pidana pencurian atau penggelapan handphone, karena tiga handphone almarhum sampai sekarang belum tahu ada di mana, tapi ternyata sudah diretas dan dipakai memblokir hubungan dengan keluarganya—orang tuanya, kakak-adiknya.
Kami pun melaporkan tindak pidana peretasan karena [pelaku] meretas handphone ayah-ibunya dan kakak-adiknya; juga tindak pidana telekomunikasi, yaitu dugaan penyadapan atau perekaman tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri.
Irjen Ferdy Sambo dan istrnya, Putri Candrawathi. Foto: Instagram/@divpropampolri
Sebelumnya, Brigadir Yosua kan justru dilaporkan istri Irjen Sambo, Putri Candrawathi, ke Polres Jaksel atas dugaan pencabulan dan ancaman tindakan kekerasan?
Nah, itu sudah ada framing dari Ferdy Sambo dan kawan-kawannya, seolah-seolah mereka ini korban. Ini aneh, sebab pembunuh Yosua belum ditangkap, kematiannya belum terungkap, tapi kok mereka (keluarga Sambo) yang dilindungi?
Seharusnya yang dilindungi itu korban dan keluarga korban. Seharusnya keluarga disediakan rumah aman supaya terlindungi. Jangan sampai muncul persepsi bahwa kalau pangkat tinggi mendapat perlindungan berlapis-lapis, tapi tidak untuk yang pangkat rendah.
Kan kita sama di hadapan hukum. Pangkat tinggi atau pangkat rendah sama saja. Jangan karena yang ini [cuma] brigadir, lalu mendapat perlakuan semena-mena yang menyalahi hukum dan HAM.
***
Kuasa Hukum keluarga Brigadir Yosua, Kamaruddin Simanjutak (kiri) dan Johnson Panjaitan (kanan) di Bareskrim Polri, Senin (18/7). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Anggota tim pengacara keluarga Yosua, Johnson Panjaitan, juga menggarisbawahi relasi kuasa tak seimbang dalam penyelidikan kematian sang ajudan. Berikut pernyataan Johnson dalam perbincangan dengan kumparan, pada kesempatan yang sama:
Yosua ini kan pangkatnya brigadir, dan peristiwa ini terjadi di rumah seorang perwira tinggi yang menjadi atasannya. Dalam kasus ini, ada hubungan kuasa tak seimbang, karena kejadiannya di rumah [Kadiv Propam] Ferdy Sambo, di mana bawahannya dituduh selingkuh dengan istrinya, lalu terjadilah tembak-menembak.
Baik almarhum maupun keluarganya berada di posisi bawah. Di sini, Kapolres sebagai penyidik mengatakan bahwa Pak Sambo datang lebih dulu ke sana, membuat laporan, lalu ada olah TKP, dan dibuatkan autopsi—yang dokumen perizinannya ditandatangani oleh adik Yosua [yang juga bertugas di Mabes Polri] karena diperintahkan oleh atasannya.
Dia tanda tangan tanpa tahu dan tanpa lihat [kondisi kakaknya]. Ini hubungan tidak setara, lalu dijadikan dasar seolah proses sudah sesuai prosedur hukum, padahal tidak fair.
Yang tembak-menembak polisi, yang melaporkan atasannya, yang memeriksa juga polisi.
Kalau pangkatnya bripka mana bisa seenak-enaknya, sedangkan yang bertanggung jawab, atasannya, bisa seenaknya.
Katanya Kadiv Propam adalah garda terdepan untuk menjaga citra polisi. Citra mana yang dijaga? Wong tembak-menembak kayak film koboi. Prosesnya juga enggak karu-karuan.
Misteri kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat harus terungkap. Foto: kumparan
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten