Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Di depan para mahasiswa Universitas Airlangga, Mei 2007, Menteri Kelautan dan Perikanan Laksdya TNI (Purn.) Freddy Numberi mengatakan bahwa ekspor pasir laut membuat dua pulau di perbatasan Indonesia sempat hilang. Dua pulau itu adalah Nipah dan Sebatik.
Pasir-pasir yang dikeruk dari kedua pulau tersebut bermuara pada proyek reklamasi di Singapura yang membuat wilayah negara kota itu meluas. Sementara Indonesia, kata Freddy, tak mendapat apa-apa dari kebijakan itu.
“Indonesia dirugikan. Ada pulau yang hilang, lingkungan rusak, dan harus keluar uang banyak untuk memulihkannya,” ujar Freddy seperti dilansir Antara.
Berdasarkan data Departemen Kelautan dan Perikanan yang dimuat dalam artikel ilmiah “Upaya Penanganan Pasir Laut dari Sisi Kebijakan” dalam Jurnal Teknologi Lingkungan terbitan BPPT pada 2004, penambangan pasir laut di Indonesia dilakukan sejak 1970-an sampai tahun 2000-an. Hasil tambang pasir itu tak lain untuk diekspor ke Singapura.
Setelah merdeka dari Inggris pada 1965, Singapura—yang didominasi rawa dan hutan bakau—mereklamasi besar-besaran wilayah pantai timurnya. Proyek reklamasi ini rampung dalam 30 tahun, ditutup dengan pembangunan kawasan pusat bisnis dan hiburan Marina Bay pada pertengahan 2000-an.
Hingga medio 2002, reklamasi di Singapura telah menambah luas negara itu sebesar 100 km persegi. Data dalam jurnal BPPT itu sinkron dengan data Singapore Land Authority yang menyebut bahwa luas daratan Singapura pada 1970 sebesar 586,4 km persegi, dan pada 2002 menjadi 687,1 km persegi. Artinya, bertambah 100,7 km persegi.
Padahal saat baru merdeka, Singapura hanya punya daratan seluas 581,5 km persegi. Artinya, luas daratan Singapura bertambah sekitar 26% berkat reklamasi. Perluasan daratan ini membuat Singapura dapat membangun infrastruktur vital di atasnya seperti Bandara Changi, Pulau Jurong, dan Pelabuhan Tuas yang menyokong deru mesin ekonomi negara mungil itu.
Di sisi lain, Indonesia yang mendatangkan pasir laut untuk reklamasi Singapura justru ketiban ampas.
Pemerintah Indonesia mengakui bahwa ekspor pasir laut mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, ekosistem, dan habitat organisme laut sehingga praktik itu mesti disetop.
Februari 2002, terbit Surat Keputusan Bersama Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan, serta Menteri Lingkungan Hidup tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
Empat bulan kemudian, Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan Keppres 33/2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut.
Keppres tersebut menyebut bahwa perdagangan pasir laut berlangsung tak terkendali sehingga “telah menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir dan laut, keterpurukan nelayan dan pembudidaya ikan, serta jatuhnya harga pasir laut.”
Keppres itu mengamanatkan pasir laut menjadi komoditi yang diawasi tata niaganya. Pasir laut juga dapat diubah menjadi komoditi yang dilarang untuk diekspor atas saran Tim Pengendali dan Pengawas yang dipimpin Menteri KKP dan Menperindag.
Pada 25 Februari 2003, dengan memperhatikan pertimbangan Menteri KKP, Menperindag Rini Soemarno mengeluarkan SK Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 yang isinya menghentikan ekspor pasir laut dari seluruh wilayah Indonesia.
Salah satu klausul yang termaktub dalam beleid itu menyinggung kerusakan terhadap pesisir dan pulau-pulau kecil, serta belum adanya penyelesaian batas laut RI-Singapura. Jika masalah-masalah ini sudah diatasi, maka larangan ekspor pasir laut bisa ditinjau kembali.
Pada 2007, larangan ekspor pasir laut dipertegas dengan keluarnya Permendag Nomor 02/M-DAG/PER/1/2007 yang melarang ekspor berbagai jenis pasir seperti pasir, tanah, dan top soil (termasuk humus).
Namun, mendadak, setelah 20 tahun, keran ekspor pasir laut dibuka kembali melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang diteken Jokowi.
Beleid Senyap Ekspor Pasir Laut
Terbitnya PP 26/2023 tak ayal membuat masyarakat terkaget-kaget. Terlebih, dengung penyusunan PP ini tak pernah terdengar sebelumnya, bahkan di tingkat parlemen sekalipun.
“Kami mempertanyakan sejauh mana uji publik yang sudah dilakukan. Apalagi ketika PP muncul langsung banyak penolakan dari akademisi maupun aktivis dan NGO, artinya tak ada proses uji publik,” kata Slamet, politisi PKS di Komisi IV DPR yang bermitra dengan KKP.
PP 26/2023 diundangkan pada 15 Mei 2023. Di dalamnya disebut bahwa pasir laut merupakan sedimentasi (endapan) yang dapat dimanfaatkan, salah satunya untuk ekspor—sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi.
Meski PP tersebut diundangkan pada 15 Mei, publik tak langsung mengetahuinya. Yang pertama kali mengendus PP itu ialah LSM pemerhati lingkungan seperti Greenpeace.
Menurut Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman, gaung PP 26/2023 ke masyarakat baru terdengar dua minggu kemudian, setelah Presiden Jokowi menyinggung aturan baru tersebut dalam pertemuannya dengan para pemimpin redaksi media massa di Istana Negara pada 29 Mei.
Sesungguhnya, empat hari sebelumnya, 25 Mei, KKP menggelar konsultasi publik untuk menyusun aturan pelaksana PP 26/2023. Acara itu digelar di Grand Keisha Hotel Yogyakarta dan diikuti 29 peserta yang terdiri dari para pejabat KKP, para pengusaha pasir laut, dan perwakilan perusahaan pengerukan.
Lokasi konsultasi publik yang digelar di Yogya itu dianggap Yusri janggal.
“Mengapa kok di sana? Itu memancing kemarahan dari stakeholder di Kepulauan Riau [yang wilayahnya kerap jadi tempat pengambilan pasir laut],” kata Yusri kepada kumparan, Rabu (31/5).
Anehnya lagi, konsultasi publik di Yogya itu juga sekaligus membahas Keputusan Menteri KKP Nomor 82 Tahun 2021 tentang Harga Patokan Pasir Laut.
Kepmen 82/2021 itu diteken Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono pada 18 September 2021. Isinya memuat harga patokan pasir laut untuk kebutuhan domestik sebesar Rp 188 ribu/meter kubik, dan untuk keperluan ekspor senilai Rp 228 ribu/meter kubik.
Hal tersebut dinilai Yusri ganjil karena aturan ekspor pasir laut dalam PP 26/2023 baru terbit 15 Mei 2023. Mengapa harga patokannya sudah lebih dulu diputuskan pada 2021?
Walau sudah dibuat Kepmen, kepastian harga acuan pasir laut rupanya masih belum mencapai titik temu, terutama soal seberapa besar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari harga jual pasir laut.
Dalam pertemuan di Yogya itu, KKP disebut mematok PNBP sebesar 35% dari harga jual. Menurut Yusri, besaran tersebut terlalu tinggi dibanding PNBP batu bara yang hanya 13,5%.
Staf Khusus Menteri KKP Bidang Komunikasi dan Kebijakan Publik, Wahyu Muryadi, menyebut harga patokan pasir laut di Kepmen KKP 82/2021 akan dikoreksi. Ia juga menegaskan bahwa hingga kini KKP belum menentukan tarif PNBP dari penjualan pasir laut.
Sementara terkait konsultasi publik di Yogya yang hanya mengundang pengusaha, Wahyu menyebut KKP akan mengadakan sosialisasi lanjutan di berbagai kota dengan mengundang pelbagai pihak.
“Nanti [sosialisasi] ke mana-mana—di Jakarta, mungkin di Riau, di Manado. Ke tempat-tempat yang berpotensi ada pengambilan sedimentasi,” kata Wahyu kepada kumparan, Jumat (2/6).
Berkedok Lindungi Laut
Meski dianggap senyap, kebijakan ekspor pasir laut disebut KKP sudah mulai disusun sejak Desember 2022. Salah satu latar belakangnya ialah tingginya permintaan izin atas Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) guna membangun infrastruktur dan reklamasi.
KKP pun mulai memikirkan sumber urukan yang—menurut mereka—tak merusak lingkungan, sebab Pasal 56 UU Kelautan mengamanatkan pemerintah untuk melindungi laut dari pencemaran.
“Kami menemukan masukan dari para ahli, ada potensi pasir laut yang kalau diambil diharapkan tidak merusak lingkungan. Pasir itu dari hasil sedimentasi,” ujar Wahyu.
Menurutnya, potensi pemanfaatan pasir laut tanpa merusak lingkungan sudah dikaji secara ilmiah di sejumlah jurnal. Namun Wahyu tak merinci judul kajian ilmiah tersebut.
Wahyu melanjutkan, ada sekitar 23 miliar metrik ton pasir hasil sedimentasi di Indonesia yang harus dibersihkan. Jika didiamkan, sedimentasi itu justru akan mengganggu jalur pelayaran dan ekosistem kelautan.
Argumen tersebut ditampik para ahli maritim dan lingkungan, termasuk Greenpeace Indonesia. Greenpeace menuding pembukaan keran ekspor pasir laut di PP 26/2023 sebagai upaya greenwashing—argumen yang seolah-olah berbasis lingkungan namun dengan niat sebaliknya.
Dr. Suhana, dosen ekonomi kelautan Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta sekaligus Wakil Sekretaris Pandu Laut Nusantara, komunitas yang bergerak di bidang konservasi ekosistem laut, juga sependapat bahwa PP 26/2023 sekadar akal bulus.
“Untuk menyehatkan laut bagaimana? Kebijakan ini justru bertentangan dengan maksud itu. [Penambangan pasir laut] akan menghilangkan budi daya laut karena laut jadi keruh. Fungsi laut sebagai carbon storage juga akan hilang. Rekreasi bahari turis pun hilang. Ini semua berlawanan dengan parameter indeks kesehatan laut,” kata Suhana kepada kumparan, Minggu (4/6).
Penumpang Gelap di Belakang Layar
Jika para pegiat dan ahli lingkungan lantang bersuara bahwa PP tersebut merugikan lautan dan nelayan, lantas siapa yang diuntungkan?
Sumber-sumber kumparan menyebut bahwa PP 26/2023 bakal menguntungkan sekaligus memprioritaskan empat pengusaha kakap—TW, HD, SG, RG. Mereka disebut mengincar cuan dari ekspor pasir laut ke Singapura yang kini dihargai hingga SGD 21 per meter kubik.
Kelindan empat pengusaha itu dengan PP 26/2023 terdengar sampai kalangan legislator, termasuk Slamet di Komisi IV DPR. Meski tak tahu detail soal itu, ia menyebut bahwa memang ada penumpang gelap dalam perancangan PP. Itu sebabnya ia meminta pemerintah bersikap jujur.
“Saya melihat ada penumpang gelap yang ingin memanfaatkan [PP ini] dari sisi bisnis. Nanti kami telusuri. Kalau [dari sisi] anggaran kan jelas, dia buat [kebijakan] ini anggarannya dari mana? Kalau tak muncul anggaran, berarti itu ada sponsornya,” ucap Slamet.
Yusri Usman menilai PP 26/2023 memang berpotensi mengakomodir kepentingan pengusaha besar di luar pemilik Izin Usaha Pertambangan yang diterbitkan gubernur dan Menteri ESDM.
Pasal 1 ayat 7 PP 26/2023 mengatur izin pemanfaatan pasir laut diterbitkan oleh Menteri KKP. Namun Pasal 10 ayat 4 PP itu mengatur bahwa pengusaha yang mendapat izin ekspor mesti mengantongi izin dari Kementerian ESDM atau gubernur sesuai kewenangannya.
“Artinya ini barangnya (aktivitas penambangan) miliknya ESDM. Jadi ada tarik-menarik, merasa kewenangannya diambil,” ujar Yusri.
Data yang dihimpun kumparan dari laman Minerba One Map Indonesia Kementerian ESDM menunjukkan, sedikitnya ada 138 perusahaan dan perorangan yang mengantongi izin usaha pertambangan (IUP), izin pertambangan rakyat (IPR), dan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) pasir laut di Indonesia. Total luasan izin itu sebesar 119.298 hektare.
Sebanyak 100 di antaranya adalah izin yang diberikan di Kepulauan Riau.
Kini, dengan terbitnya PP 26/2023, perusahaan yang sudah memiliki izin penambangan pasir laut mesti mengurus izin lagi ke KKP, yakni izin pemanfaatan pasir laut. Menurut KKP, hal itu untuk menertibkan penerbitan izin pemanfaatan pasir laut agar tidak ugal-ugalan.
Dasar argumen KKP bahwa semua izin pemanfaatan pasir laut harus melalui mereka merujuk pada UU Cipta Kerja dan aturan turunannya, PP 5/2021. Dalam dua beleid tersebut, KKP berwenang memberikan izin usaha.
Namun, menurut Yusri, KKP tidak bisa asal menertibkan izin penambangan pasir laut yang sudah dikantongi sejumlah perusahaan, sebab sesuai Pasal 3 PP 26/2023, wilayah izin pertambangan dikecualikan dari lokasi pengelolaan sedimentasi laut.
Dalam rapat di Komisi VII DPR pada Januari 2022, Ridwan Djamaluddin, Dirjen Minerba Kementerian ESDM saat itu, menyatakan terdapat 33 perusahaan yang sudah mendapat izin operasi dan produksi pasir laut. Namun, perusahaan-perusahaan itu sudah tidak beroperasi karena tak ada pembeli imbas proyek-proyek reklamasi di dalam negeri yang mandek.
"Semula IUP diberikan atas proyek-proyek nasional, antara lain pembangunan pulau-pulau buatan di utara Jakarta, beberapa proyek reklamasi, juga [reklamasi untuk lokasi] refinery (kilang minyak) di Tuban. Tapi tidak ada proyek yang jalan,” ucap Ridwan.
Kelindan Rumor Investasi di IKN dan Dana 2024
Dibukanya keran ekspor pasir laut juga dikait-kaitkan dengan tukar guling investasi Singapura di Ibu Kota Negara Nusantara yang sedang dibangun di Kalimantan Timur.
Rumor tersebut beredar karena pada pekan lalu, 30 Mei dan 1 Juni 2023, terdapat rombongan pengusaha Singapura yang terbang ke IKN. Mereka berasal dari 69 perusahaan asal Singapura yang berencana menanamkan modal di IKN.
Sumber kumparan di internal KKP yang mengetahui proses pembahasan PP 26/2023 tak menampik isu tukar guling investasi Singapura di IKN dengan ekspor pasir laut. Namun, menurutnya, hal tersebut bukan faktor utama yang mendorong terbitnya PP itu.
Sebaliknya, kabar tersebut dibantah Deputi Pengembangan Iklim Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Yuliot Tanjung dan Stafsus Menteri KKP Wahyu Muradi. Menurut mereka, momen datangnya investor Singapura ke IKN yang berdekatan dengan terbitnya PP 26/2023 hanya kebetulan.
“Tidak ada kaitannya,” tegas Yuliot.
Ia menjelaskan, Indonesia menawarkan investasi atas IKN ke Singapura lantaran negara itu adalah investor terbesar di Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Setahun terakhir misalnya, nilai investasi Singapura di Indonesia mencapai lebih dari USD 13 miliar.
Menurut sumber kumparan, penerbitan PP 26/2023 juga ditengarai terkait upaya pengumpulan dana logistik Pemilu 2024. Namun hal ini dibantah KKP.
“Enggak ada urusan dengan kepentingan politik. Ini betul-betul untuk penataan ulang dengan memanfaatkan sedimentasi dengan cara yang proper dan benar,” ujar Wahyu.
Menurutnya, pendapatan dari hasil pengelolaan sedimentasi akan digunakan untuk kepentingan negara. Selain itu, Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono menegaskan bahwa ekspor hasil sedimentasi baru dilakukan apabila kebutuhan dalam negeri untuk proyek-proyek reklamasi sudah terpenuhi.
Namun, Yusri menilai ucapan Trenggono tersebut mengecoh publik, seolah-olah PP 26/2023 untuk kebutuhan domestik. Padahal tanpa adanya PP tersebut, pemanfaatan pasir laut untuk kebutuhan proyek dalam negeri bisa berjalan lewat UU Minerba.
“Pernyataan itu menyesatkan publik, hanya untuk menutupi tujuan utamanya: ekspor pasir laut ke Singapura,” tuding Yusri.
Pengalaman Pahit untuk Dihindari—atau Diulangi?
Tenggelamnya pulau, rusaknya ekosistem laut, terpuruknya nelayan karena hasil tangkapnya berkurang, dan jatuhnya harga pasir adalah deretan kerugian yang ditanggung Indonesia karena ekspor pasir laut di masa lalu.
Tak heran banyak pihak melontarkan protes keras atas terbitnya PP 26/2023. Namun, KKP meminta masyarakat tidak berburuk sangka.
Wahyu Muryadi mengeklaim bahwa rezim saat ini bukanlah rezim penambangan. Ia menyebut pemerintah menekankan pada faktor lingkungan berupa tata kelola dan pembersihan sedimentasi pasir laut. Ia juga menjamin pemerintah tak bakal merusak alam yang ujung-ujungnya merugikan dari sisi ekologi dan ekonomi.
Kerugian ekonomi nyata terlihat pada kasus ekspor pasir laut terdahulu yang hanya mendatangkan PNBP Rp 52 miliar setahun.
Jumlah tersebut jadi tak seberapa dibanding kerusakan wilayah yang pasirnya ditambang. Pulau Nipah di Kepulauan Riau misalnya perlu dikonservasi sampai Rp 368 miliar. Pulau di Selat Malaka yang berbatasan dengan Singapura itu hampir tenggelam karena pasir lautnya dikeruk.
“Yang didapat Riau [dari ekspor pasir laut] tak lebih dari SGD 70 juta (sekitar Rp 770 miliar), sedangkan rehabilitasi Pulau Nipah habis ratusan miliar. Itu pun yang terdampak bukan cuma pulaunya, tapi masyarakatnya yang kehilangan mata pencaharian—nelayan susah cari ikan, wisata bahari hilang karena siapa juga yang mau berwisata di air keruh?” ujar Suhana dari Pandu Laut Nusantara.
KKP meyakinkan bahwa dibukanya keran ekspor pasir laut berbasis pemanfaatan sedimentasi bukan sekadar kamuflase atas niat mengeksploitasinya. PP 26/2023 pun tak bisa serta-merta diimplementasikan.
Implementasi ekspor pasir laut bakal diatur dalam peraturan menteri dan keputusan menteri KKP. Dalam penyusunan permen dan kepmen itu, Menteri KKP akan mempertimbangkan pendapat dari Tim Kajian.
Tim Kajian itu bakal diisi oleh akademisi dari sedikitnya lima perguruan tinggi terbaik di Indonesia. LSM seperti Greenpeace dan Walhi juga ditawari masuk ke tim tersebut, tetapi menolak.
Tim Kajian juga bakal menentukan lokasi mana saja yang bisa diambil pasir lautnya dengan jumlah volume tertentu; mengatur cara-cara apa yang dibolehkan untuk mengambilnya; atau menolak memberikan rekomendasi pengambilan pasir jika ternyata itu merusak lingkungan.
“Pak Menteri sudah berkali-kali mengatakan, ‘Kalau dari tim kajian enggak, ya sudah,’” kata Wahyu.
Slamet mengingatkan agar dampak ekonomi dan lingkungan dari kebijakan ekspor pasir laut dipikirkan, sebab kebijakan itu pernah dilarang karena terbukti berimbas buruk di dua aspek itu.
“Kita bicara sedimentasi itu kan ada tumbuh plankton di situ [yang terancam rusak]. Jika tidak ada pangan untuk ikan, maka ikan enggak ada. Nelayan juga enggak bisa dapat ikan, akhirnya mereka termiskinkan. Artinya target pemerintah jadi bias. Kebijakan ini menguntungkan siapa?” tandas Slamet.