Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kemendikbud: Titip KK dan Jual Beli Bangku dari Dulu, Bukan Sejak Zonasi
17 Juli 2023 14:59 WIB
·
waktu baca 12 menitSistem zonasi diterapkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sejak 2017. Ketika pertama kali diterapkan, kuota siswa jalur zonasi mencapai 90%, kemudian berkurang jadi 80% pada 2019, dan dikurangi lagi menjadi 50% pada 2018.
Berikut petikan wawancara kumparan dengan Inspektur Jenderal Kemendikbud Chatarina Muliana Girsang di Jakarta, Kamis (13/7).
Bagaimana evaluasi Kemendikbud terhadap PPDB jalur zonasi yang diwarnai kecurangan sejak 2017?
Jadi penetapan zonasi kami serahkan ke [pemerintah] daerah. Menggunakan [hitungan] jarak silakan, penetapan geografis, kecamatan atau kelurahan silakan. Semisal 1 kelurahan ada 10 RW, bisa saja RW 9-nya enggak masuk zonasi 1, masuknya zonasi 2. Kami serahkan murni kepada Pemda karena yang tahu lokasi adalah Pemda, yang dulu sempat akan ditetapkan oleh [Pemprov] Jakarta karena saking lamanya.
Pemprov Jakarta membagi zonasi kawasan dengan nomor 1-2-3. Zonasi 1 adalah kawasan domisili calon siswa berada satu RT dengan sekolah yang akan dituju. Zonasi 2 adalah kawasan domisili calon siswa berada di sekitar RT sekolah yang akan dituju. Zonasi 3 adalah domisili siswa yang berdekatan dengan kelurahan sekolah yang dituju.
Ini (penetapan zonasi) yang kami serahkan [kepada Pemda], mungkin sosialisasi ke masyarakatnya yang kurang. Kami minta penetapan zonasi paling lama 1 bulan sebelum PPDB masyarakat harus tahu.
Karena ditetapkan Pemda, ya, harusnya Pemda yang sosialisasikan. Kalau sekolah SD, maka sosialisasi penetapan zonasi untuk SMP. Jadi anak kelas 6 SD orang tuanya dipanggil nanti kalau SMP wilayahnya masuk ke sini. Jadi bukan SD sosialisasi untuk PPDB SD, tapi PPDB SMP untuk anak-anak yang mau melanjutkan ke jenjang berikutnya. Sedangkan anak TK untuk PPDB SD. SMP [sosialisasi] tentang PPDB SMA, SMA tentang PMB [Pendaftaran Mahasiswa Baru] PTN.
Karena enggak mungkin Kemendikbud langsung ke masyarakat, cukup lewat media-media. Jadi misinformasi ini yang membuat kegaduhan karena mereka enggak tahu wilayahnya masuk ke mana. [Semisal] ‘saya kan RT-nya dekat tapi kenapa masuk zonasi ini’, itu kan kewenangan Pemda, bukan kami [Kemendikbud].
Lalu jual beli bangku, banyak kok jual beli bangku ke SMA-SMA favorit. Jadi masalah yang dulu ada, sama. Jual beli bangku, pemalsuan atau titip KK, itu ada zaman zonasi rayon sebelum 2017. Cuma karena tidak dipublikasikan secara masif, dikiranya hanya ketika zonasi PPDB saat ini ada masalah-masalah itu. Jadi harus objektif.
Tapi kalau ada problem bagaimana ada daerah yang tidak terjangkau itu sudah kami sampaikan, jangan ada blankspot. Tidak boleh ada satu RT pun yang tidak tercakup [zonasi].
Apa yang melatarbelakangi Kemendikbud tetap menerapkan zonasi walau muncul banyak masalah?
Kenapa kami ganti zonasi domisili, karena dengan zonasi [sekolah/rayon], sekolah-sekolah hanya ada di kota. Satu kecamatan enggak ada SMP itu banyak, apalagi desa-desa. Siapa yang sanggup sekolahkan anak SMP ke kota? Kota juga kekurangan sekolah, maka dilokalisir.
Di satu sisi, banyak sekolah negeri dinikmati orang kaya karena berbasis nilai UN. Dengan zonasi, mau orang kaya, orang tidak mampu dan tidak pintar sains. Mau dia pintar olahraga, semua sama, punya hak sekolah di dekat rumahnya. Tidak membedakan miskin, pintar atau tidak, itulah maka kita buat zonasi.
Tapi kalau dengan nilai, maka yang punya hak itu orang yang pintar di bidang tertentu. Ada yang tes, apakah semua bidang di tes? Kalau matematika sains, anak yang bakatnya olahraga pasti kalah. Tapi orang-orang tertentu gak mau, pokoknya harus negeri karena murah. Kalau saya lihat, sama masalahnya sebelum PPDB online, cuma masalah tidak terungkap karena pemerintah enggak intervensi.
Zonasi membuat orang tua murid menitipkan anaknya di Kartu Keluarga yang sedekat mungkin dekat sekolah, apakah tidak ada verifikasi faktual?
Cara berlombanya harus sesuai aturan dong. Masa 1 KK isinya 10 [orang], tahun lahirnya sama semua. Masa ada orang 1 tahun melahirkan 3 kali.
Artinya tidak ada verifikasi faktual?
Harusnya ada verifikasi, Pemda yang melakukan. Jadi NIK [Nomor Induk Kependudukan] ada nomer sendiri pada anak dan kartu keluarga. NIK KK kan ada. Nah kalau itu ada, akhirnya bisa terdeteksi. Kok yang NIK sekian-sekian anaknya ada lima, atau dari KK-nya bisa keliatan tahun lahirnya kok sama semua, misalkan.
Jadi kalau di Jakarta tahun 2019 saya dapat informasi, kalau nama anak dan orang tua gak ikut berpindah akan didiskualifikasi. [Pindah KK] harus sama orang tua, kecuali ada keterangan orang tuanya meninggal.
Sehabis cek NIK lalu verifikasi faktual ke lapangan?
Tidak usah ke lapangan, anak suruh kasih KK-nya, melampirkan dokumen apa yang diisi. Tinggal dilihat antara yang diinput [online] dengan dokumen [yang dilampirkan]. Cek benar tidak nilainya sekian, sekolahnya di sini, nama orang tuanya di akta kelahiran, nama orang tua di rapor, beda nama harusnya didiskualifikasi. Itu yang sudah kami sampaikan berulang kali dalam setiap sosialisasi. Cuma ada yang gak mau capek, ada yang memang oknum sengaja memanfaatkan itu untuk bisa meminta sesuatu yang bukan aturan.
Pernyataan demikian memunculkan tudingan Kemendikbud cuci tangan atas segala masalah dan melempar ke Pemda, tanggapannya?
Enggak, sekali lagi, tugas pemda apa, tugas pemerintah pusat apa. Tugas kami [Kemendikbud] regulator. Dengan zonasi ini pemda bisa melihat oh ternyata di wilayah saya ada anak-anak yang tidak tertampung, jadi kekurangan sekolah, kekurangan kelas. Jadi mereka akan berpikir harus tambah sekolah.
Data KPAI dulu sudah ada penambahan SMP di Bekasi 7 [sekolah], Tangsel 9, jadinya tahu karena selama ini disalahkan siswa gak masuk sekolah [negeri] karena nilainya jelek. Padahal pendidikan dasar itu pemerintah wajib menyediakan dan membiayai, harusnya enggak boleh ada kekurangan sekolah.
Kami tidak menyalahkan pemda, tidak melempar [tanggung jawab]. Tapi ini tugas siapa, sekolah punya siapa, yang menyelenggarakan siapa, ya pemda yang punya kewajiban. Karena tujuan kami dengan zonasi pemda tahu oh ternyata kami masih butuh sekolah. Ternyata dari SD ke SMP belum semua tersedia.
Anak-anak yang lahir dan besar di wilayah mereka harus dilayani dulu. Maka pada 2020, Pemprov DKI tidak menerima anak dari wilayah Bekasi, Tangerang, karena anak di DKI belum semua terlayani.
Rasio ketersediaan SD-SMP-SMA juga tidak seimbang?
Iya karena kebijakan puluhan tahun ini [sebelum zonasi]. Semakin tinggi jenjang sekolah, semakin sedikit sekolahnya, lalu pemerintah enggak bangun-bangun [sekolah], akhirnya putus sekolah.
Data BPS, jumlah SD pada tahun ajaran 2021/2022 adalah 148.992 sekolah, sedangkan jumlah SMP 41.402 sekolah. Lalu SMA 14.007 sekolah dan SMK 14.199 sekolah.
Apakah memungkinkan siswa yang tidak tertampung sekolah negeri ditampung sekolah swasta dan dibiayai penuh?
Itu yang kami atur di Permendikbud. Zonasi paling banyak di daerah urban atau kota besar di mana sekolah swasta banyak. Sehingga pelibatan sekolah swasta untuk zonasi paling banyak di kota-kota besar. Karena untuk menambah sekolah mungkin sulit. Jadi pelibatan-pelibatan itu sudah dimulai oleh Pemprov DKI dengan membiayai anak-anak yang gak mampu [di sekolah swasta]. Karena ini proses seleksi, pasti ada yang diterima ada yang enggak.
Pemprov DKI menyediakan 6.909 bangku sekolah swasta gratis tingkat SMA/SMK bagi siswa yang tak diterima PPDB 2023.
Bagaimana pendanaannya?
Dari pemerintah daerah bagi [siswa] yang tak mampu, karena kalau masuk sekolah negeri kan gratis.
Tapi pemda tak diwajibkan menyediakan kursi gratis di sekolah swasta?
Konstitusi sudah menjelaskan pendidikan dasar wajib, pemerintah wajib membiayainya. Tapi enggak mungkin sampai sekolah swasta, hanya di sekolah negeri yang dimungkinkan.
Mengapa tidak memungkinkan seluruh biaya siswa di sekolah swasta dibiayai negara?
Masalahnya anggaran fungsi APBN sekarang untuk bantu gaji guru. Kalau tidak bayar gaji guru mungkin bisa, sanggup, tapi kan ini sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk bayar gaji guru. Maka negara ada keterbatasan. Kalau negara terbatas, kita lihat siapa yang paling gak mampu.
Pada 2008, MK memutuskan gaji guru dimasukkan ke dalam APBN untuk memenuhi anggaran pendidikan sebesar 20 persen.
Tujuan zonasi untuk menghapus stigma sekolah favorit dan non favorit, tapi modus kecurangan titip KK justru demi masuk sekolah favorit. Apakah kebijakan ini gagal menghapus stigma tersebut?
Kami bukan menghapus sekolah favorit, tapi meluruskan apa sih yang disebut sekolah favorit. Sekolah favorit seharusnya menjadikan anak yang biasa-biasa jadi luar biasa. Kalau inputnya[siswa yang masuk] sudah bagus, ya gurunya enggak usah capek-capek, gak usah ngajar, kan bukan itu [sekolah favorit]. Tapi kalau anaknya biasa saja dan semangat belajarnya jadi lebih tinggi itu favorit.
Dengan zonasi banyak [siswa] yang masuk dengan berbagai macam latar belakang, itu inklusif. Dengan cara belajar yang berbeda dan minat yang berbeda, masa anak harus pintar dulu baru dapat sekolah. Kami ingin meluruskan apa itu sekolah yang baik. Kalau ada sekolah yang dulu favorit kemudian ada zonasi tetap favorit, ya, berarti memang sekolahnya bagus.
Kecurangan PPDB zonasi banyak ditemukan di sekolah negeri favorit. Misalnya, temuan KK palsu. Kasus ini ditemukan di Bogor dan Yogyakarta.
Kesimpulannya apakah zonasi gagal menghapus stigma sekolah favorit?
Ini kan karena ada pemalsuan tadi. Kalau lempeng saja, tertampung sesuai dengan fakta, dengan pemalsuan tadi kan berarti [siswa] nilai-nilai bagus masuk. Sekolah sekarang banyak yang enggak mau pusing, ngajarin capek kalau [siswa] yang gak mampu kan.
Itu pelan-pelan bergeser, kalau lihat data survei SMA-SMA terbaik masuk PTN kebanyakan sekolah swasta. Sekolah negeri yang dulu-dulu bergeser.
Dari data Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) pada 2022, SMA Negeri ada di urutan ke-5 dari 1.000 SMA di Indonesia berdasar rata-rata nilai Ujian Tulis Berbasis Komputer. Berikut urutannya 1. MAN Insan Cendekia (Serpong), 2. SMA Katolik St. Louis, 3. SMA Pradita Dirgantara, 4. MAN Insan Cendekia (Pekalongan), 5. SMAN 8 Jakarta.
Kalau inputannya baik ya bukan sekolah, masa anak disuruh pintar dulu baru sekolah. Apakah cukup 5 tahun, enggak cukup menghapus sistem yang puluhan tahun, gak mungkin 5 tahun menggantikan 50 tahun. Kita ukurlah nanti, jadi penyesuaian sampai 10 tahun kalau sesuai dengan aturan sudah alhamdulilah, tapi karena banyak yang berbuat curang, banyak yang mengakali, makin lama lihat hasilnya.
Tapi mengapa Kemendikbud membuat program sekolah penggerak yang dianggap memunculkan stigma sekolah favorit baru?
Tidak. Sekolah penggerak tidak diambil dari sekolah favorit, tapi kesiapan mereka mau melakukan perubahan. Kesiapan sarana dan prasarana. Kami sudah mengantisipasi jangan sampai muncul stigma sekolah favorit.
Dikutip dari laman Kemendikbud, Program Sekolah Penggerak berfokus pada pengembangan hasil belajar siswa secara holistik yang mencakup kompetensi (literasi dan numerasi) dan karakter, diawali dengan SDM yang unggul (kepala sekolah dan guru). Jumlah sekolah penggerak kini mencapai 14.237 di seluruh Indonesia.
PPDB zonasi juga dianggap menurunkan motivasi belajar siswa. Sebab jika dahulu siswa bersaing mendapatkan nilai terbaik untuk masuk sekolah favorit, saat ini tidak lagi karena bisa menggunakan modus titip KK, bagaimana tanggapan Kemendikbud?
Karena selama ini kita selalu menganggap anak yang pintar semua harus bergabung di situ [sekolah favorit]. Maka belajar harusnya dianggap sebagai budaya anak-anak, bukan sebagai beban. Mengapa perlu belajar, karena kalau gak belajar kamu gak bisa jadi bermanfaat, orang yang sukses adalah orang yang bermanfaat.
Bakat kamu apa pun, memasak, menggambar, olahraga, itu yang harus dilihat. Jadi anak dengan bakat-bakat tertentu, untuk sisi tertentu (akademik -red) enggak bisa sampai tinggi maksimal. Sama anak yang itu [pandai akademik] mungkin gak jago olahraga. Tapi bagaimana dia bisa bermanfaat dengan kepintaran yang Tuhan berikan, itu yang harus diubah.
Apa iya anak yang tidak pintar matematika gak bisa jadi anak yang bermanfaat, kan gak juga. Layanan pendidikan harus inklusif, bukan hanya bicara disabilitas, tapi anak dengan berbagai ragam bidang kepintaran mereka.
Apakah Kemendikbud pernah menegur atau memberi sanksi pihak yang terlibat kecurangan PPDB zonasi?
Yang bisa menegur kan Pemda. Jadi oknum guru di dalam pasti ada lah keterlibatan itu.
Ada yang dimintai wartawan, LSM, itu dari laporan ya, karena untuk cari buktinya susah.
Ada yang ditawarin Rp 6-10 juta untuk masuk ke SMA Negeri di Bekasi. Ada yang nanti kalau enggak lulus uang kembali. Itu harusnya ditindak, tapi harus ada proses pembuktian dulu, karena sebetulnya sudah masuk ranah pidana walau nilainya kecil-kecil. Itu ranah Saber Pungli yang harus rajin melakukan pencegahan.
Kita juga akan melihat sistem PPDB online di mana celahnya. Kami sedang melakukan audit forensik terhadap sistem online, di Depok, Bekasi, daerah-daerah penyangga Jakarta.
Terus berulangnya kecurangan jalur zonasi dan permintaan untuk mengevaluasi total, apa langkah mitigasi Kemendikbud untuk PPDB 2024?
Kami kemungkinan dari sisi regulasi apakah celah-celah ini bisa ditutup. Minimal bisa mengunci, semisal KK yang dimaksud harus KK bersama orang tua kandung atau wali yang sama pada jenjang sebelumnya. Atau sesuai dengan akta kelahiran. Harus detail begitu.
Seharusnya sudah begitu, tapi ada yang memanfaatkan. Yang paling cukup parahnya, yang susah dibuktikan atau dicegahnya, yaitu ketika mereka menginput nama-nama orang yang sebenarnya enggak ada. Jadi memalsukan nama-nama yang masuk. Nanti kan gak ada yang daftar ulang, jadi kursi kosong, itulah yang diperjualbelikan, titipan-titipan.
Jadi misalkan 1 kelas isi 36 siswa, sengaja diisi 35. Misalnya kelas 10 SMA rombongan belajar kelasnya 10 A, B, C, nah masing-masing (kelas) harusnya diisii 36 siswa. Tapi ini enggak, dibikin 34, 35, 30. Celah-celah itu bisa diperjualbelikan.
Maka kami meminta tolong diumumkan jumlah kapasitas kelas atau rombongan belajarnya, sampai segitu kita mengaturnya. Tapi implementasi itu kan gak mungkin kami awasi 100%, perlu bantuan masyarakat, perlu inspektorat daerah, jumlah sekolah ratusan ribu, anak buah saya cuma 30 orang.
Kami sudah dapat laporan itu, tapi membuktikannya tidak semudah itu. Karena itu harus pada saat kejadian, kalau sudah kejadian banyak data yang terhapus. Kami bukan penegak hukum yang bisa melakukan geledah, penyitaan atau upaya fakta.
Bagaimana mitigasi PPDB jalur prestasi yang juga tak luput dari kecurangan?
Rapor memang bisa dimainkan. Maka kami minta nilai rapor dilampirkan dengan keterangan. Misalkan siswa dari SMPN 1 mau masuk ke SMAN 1. Maka harus ada keterangan dari kepala sekolah SMPN 1 bahwa benar nilai rapornya sekian dengan melampirkan data anak SMPN 1 yang lulus.
Sampai sedemikain kami atur dalam Permendikbud 1/2021, karena kami tahu rapor bisa dipermainkan. Ketika nilai diumumkan ‘kok nilai dia sekian, saya sekian’. Jadi fungsi kontrolnya dari masyarakat.
Apakah perlu menerapkan tes akademik lagi bagi siswa yang masuk lewat jalur prestasi?
Kalau tes akademik bisa ada titipan-titipan lagi kalau gak terbuka. Saran saya tetapkan saja perlombaan tingkat kota, kabupaten, provinsi, nasional, internasional. Misalnya menang juara matematika, lihat saja nilai rapor matematikanya sebagai penambah nilai, jangan nilai rata-ratanya. Karena siapa tahu yang pintar matematika nilai olahraganya jelek, jadi nilai rata-ratanya lebih jelek dibanding nilai matematika. Mencari prestasi kan enggak mungkin di segala bidang, paling 2-3 bidang.
Harus bikin cluster. Misal [juara] tingkat nasional poinnya 50%, internasional 75%, kabupaten/kota 25%. Lembaga-lembaga yang menyelenggarakan juga harus dicek akurasi. Jangan sekolah yang menyelenggarakan, banyak sekolah yang menyelenggarakan, itu sama saja, akal-akalan. Maka kami atur maksimal umur sertifikat prestasinya berapa tahun. Jangan sampai prestasi SD dipakai untuk SMA.
Jadi Kemendikbud akan lebih mendetailkan aturan agar meminimalisir kecurangan PPDB khususnya jalur zonasi?
Kami akan mendetailkan itu [aturan]. Apakah melalui peraturan menteri atau cukup peraturan dirjen nanti kami detailkan.
Artinya Kemendikbud tidak ada rencana mengurangi kuota zonasi atau bahkan menghapusnya?
Enggak, jangan. Misal anak berprestasi itu, katakanlah Jakarta itu SMAnya punya 10 zonasi. Setiap zonasi ada 2-3 SMA, jadi ada 30 SMA misal. Jadi anak yang di zonasi 1 lalu gak masuk, ketika pakai prestasi, dia bisa pilih semua SMA yang dianggap bagus atau favorit dari zonasi 1-10, dia bisa pilih lebih dari 1. Jadi bukan anak yang berprestasi tidak kita beri kesempatan luas.
Kita buka kesempatan sebanyak-banyaknya, sudah fair kan. Akademik atau non akademik silakan. Kami gak ngatur akademik dan non akademik berapa persen, silakan Pemda. Tapi minimal dibuka bidang prestasi olahraga, seni, dan budaya. Sudah clear ya tujuannya baik, permasalahan bukan karena kebijakan, tapi implementasi dan law enformencement.