news-card-video
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45

KemenHAM Minta Polri Hapus Kebijakan SKCK, Ini Alasannya

21 Maret 2025 23:00 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Antrean pemohon SKCK di Mapolrestabes Bandung. Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Antrean pemohon SKCK di Mapolrestabes Bandung. Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
ADVERTISEMENT
Direktur Jenderal (Dirjen) Instrumen dan Penguatan Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian HAM, Nicholay Aprilindo, meminta Polri menghapus kebijakan penerbitan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK).
ADVERTISEMENT
Mulanya, Nicholay menceritakan dirinya menemukan narapidana yang berstatus residivis. Ia mengaku heran dan menanyakan permasalahan mereka kembali menghuni Lapas.
"Ada juga yang residivis. Saya tanya kenapa residivis? [Kemudian dijawab] 'Karena begini, Pak, ketika kami keluar, kami sudah menjalani masa hukuman, kami sudah selesai dan kami sudah mengubah hidup kami menjadi kehidupan normal, kami ingin mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan ekonomi kami. Kami terbebani dengan adanya SKCK oleh kepolisian'," kata Nicholay menirukan percakapan salah satu napi, di Kementerian HAM, Jakarta, Jumat (21/3).
"Setiap mereka mencari pekerjaan terbebani dengan SKCK yang dipersyaratkan oleh perusahaan-perusahaan atau tempat yang ingin mereka bekerja," lanjutnya.
Pemeriksaan narapidana terkena penyakit kulit di Lapas Kelas IIA Karawang. Foto: Lapas Kelas IIA Karawang
KemenHAM menjelaskan, kebijakan SKCK ini justru terkesan mendiskriminasi para eks tahanan atau narapidana saat mereka ingin memenuhi kebutuhan hidup setelah keluar dari lapas.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, lanjut dia, kebijakan itu menghalangi mereka dan justru mendorong mereka melakukan kejahatan lainnya hingga kembali menghuni lapas.
"Sehingga, mereka tidak bisa memperbaiki hidup mereka. Akhirnya, mereka memutuskan untuk melakukan kembali kejahatan, agar kembali ke penjara lagi, kembali ke lapas lagi, ke rutan lagi," ungkapnya.
"Karena bagi mereka hidup di dalam lapas, di dalam rutan, lebih enak ketimbang di luar. Karena mereka makanan terjamin, walaupun makanan seadanya dan mereka segala sesuatu yang mereka inginkan, mereka dapatkan di dalam lapas atau rutan itu," imbuh dia.
Padahal, kata dia, para narapidana itu sejatinya bukanlah seorang penjahat yang harus terhalangi hak asasinya oleh negara.
"Kalaupun mendapatkan SKCK, di dalam SKCK itu tertulis bahwa si A misalnya, si Abdul misalnya, pernah dihukum dan menjadi narapidana. Nah, kalau sudah itu, perusahaan mana, tempat kerja mana yang mau menerima mereka? Pasti akan berpikir," kata dia.
ADVERTISEMENT
Mobil pelayanan SKCK keliling. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Untuk itu, Nicholay meminta kepada Polri agar menghapuskan kebijakan SKCK tersebut karena dirasa membebankan para narapidana.
"Dari beberapa hal tersebut akhirnya saya melaporkan kepada menteri, bahwa kita harus mengambil langkah yang konkret, yaitu kita meminta kepada pihak yang berwenang dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia untuk meninjau kembali, bahkan mungkin menghapuskan SKCK," ucap Nicholay.
"Dan alhamdulillah, apa yang saya sampaikan kepada Bapak Menteri disambut baik, karena bagi saya dengan menghapuskan SKCK itu kita kembali membangkitkan semangat para mantan narapidana ini dan kita menghargai hak asasi mereka. Walaupun mereka mantan narapidana, mereka mempunyai hak asasi," pungkasnya.
Direktur Jenderal (Dirjen) Instrumen dan Penguatan Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian HAM Nicholay Aprilindo (dua dari kiri), saat berdiskusi dengan wartawan, di Kantor Kementerian HAM, Jakarta, Jumat (21/3/2025). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan