Kemenkes Belum Terima Kajian KPK soal Bobroknya Sistem PPDS di Indonesia

22 Desember 2024 13:19 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi dokter. Foto: PopTika/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dokter. Foto: PopTika/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut bahwa belum menerima laporan kajian dari KPK terkait bobroknya sistem Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Adapun laporan itu dirilis oleh Direktorat Monitoring KPK bertajuk 'Identifikasi Risiko Korupsi pada Program Pendidikan Dokter Spesialis di Indonesia'.
Kajian itu dimulai sejak April 2023 hingga September 2023, dengan ruang lingkup kajian yakni tata kelola pada PPDS yang diselenggarakan pada tahun 2020–2022.
Kajian tersebut melakukan analisis risiko korupsi dan kecurangan yang ada dalam proses PPDS mulai dari proses seleksi, pembiayaan, serta pelaksanaan perkuliahan program PPDS.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Aji Muhawarman, menyebut pihaknya mengapresiasi temuan kajian KPK terkait bobroknya PPDS di Indonesia, terutama dalam aspek bullying di lingkungan pendidikan.
"Kemenkes belum menerima secara resmi hasil kajian KPK tentang risiko perundungan pada PPDS," ujar Aji saat dikonfirmasi, Minggu (22/12).
ADVERTISEMENT
"Kami mengapresiasi kajian yang dilakukan oleh pihak KPK," lanjutnya.
Adapun dalam hasil laporan kajian itu, KPK mengungkapkan adanya sejumlah permasalahan terkait pembiayaan hingga praktik bullying dan senioritas di PPDS.
Bahkan, muncul temuan adanya biaya tambahan hingga lebih dari Rp 25 juta terkait perilaku senioritas tersebut.
"Perilaku favoritisme, senioritas, dan diskriminasi memberi dampak sistemik dalam memunculkan biaya tambahan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya mulai dari Rp 1 juta hingga lebih dari Rp 25 juta," demikian dikutip dalam laporan kajian KPK tersebut, Jumat (20/12).
Ilustrasi KPK. Foto: Shutterstock
Disebutkan bahwa ada sejumlah informasi pengaduan masyarakat di KPK mengindikasikan adanya biaya tidak resmi yang tidak jelas akuntabilitas harus dikeluarkan peserta PPDS selama mengikuti proses pendidikan. Budaya senioritas dan favoritisme sering juga memperburuk proses pendidikan PPDS yang berdampak hingga para peserta berpraktik sebagai dokter spesialis.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, dalam salah satu survei, sebanyak 17,64% responden menyatakan bahwa mereka mengeluarkan biaya untuk entertainment senior maupun dosen. Kisarannya Rp 1 juta hingga di atas Rp 25 juta setiap semesternya.
Adanya biaya tambahan yang tak dapat dipertanggungjawabkan itu juga menyebabkan keengganan bagi calon dokter spesialis untuk mengikuti pendidikan dokter spesialis yang masih memiliki budaya senioritas yang kuat.
Laporan kajian itu juga menjelaskan bahwa sejumlah pihak fakultas yang ikut di-sampling juga mengakui adanya praktik bullying tersebut. Bahkan, mereka mengeklaim telah berupaya mencegah praktik tersebut.
Akan tetapi, praktik itu justru makin langgeng. Sehingga, laporan kajian itu menyebut bahwa memang masih membutuhkan waktu untuk menghilangkan praktik perundungan secara keseluruhan dalam PPDS khususnya, maupun pendidikan kedokteran pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Atas temuan itu, KPK menyarankan ada dua rekomendasi, yakni:
1. Menyediakan kanal pengaduan whistleblowing system dan mekanisme tindak lanjut aduannya.
2. Memberikan sanksi bagi:
Adapun dalam melakukan kajian ini, KPK melakukan survei kepada peserta PPDS. Dilakukan melalui platform daring dengan Google form.
Pemilihan responden menggunakan teknik snowball sampling dalam jangka waktu 30 hari hingga data mencapai saturasinya. Kuesioner disebarkan melalui Asosiasi Fakultas Kedokteran Negeri Seluruh Indonesia (AFKNI) yang menurunkan kepada seluruh dekan fakultas kedokteran penyelenggara PPDS. Serta melalui jejaring mahasiswa dan alumni PPDS di tiap program studi.
Jumlah sampel yang mengisi serta selesai diolah adalah sebanyak 1.417. Proporsinya adalah 1.366 responden peserta yang lulus seleksi PPDS baik sebagai mahasiswa maupun alumni. Jumlah sampel +/-10% dari estimasi total populasi residen/peserta didik sebanyak 13.000, berdasarkan data residen Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia per 2020. Dengan tingkat kepercayaan sebesar 95% maka didapatkan margin of error sebesar +/- 2.58% yang diharapkan hasil dari survei ini dapat merepresentasikan populasi.
ADVERTISEMENT
Kajian ini menggunakan metode pendekatan campuran (mixed methodology) dari pendekatan kuantitatif dengan kualitatif.
Metode kuantitatif yang digunakan dalam kajian ini dilakukan dengan pengumpulan data primer melalui penyebaran kuesioner survei melalui kanal aplikasi google form yang menggunakan metode snowball sampling.
Bersamaan dengan pengumpulan data primer, dilakukan pendekatan kualitatif dengan pengumpulan keterangan dan data dukung yang berasal dari focus group discussion, interview, serta telaah dokumen dan regulasi terkait.