Kemenkes Bicara Vaksinasi hingga Varian Baru Corona

4 Februari 2021 7:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas bersiap menyuntikkan vaksin COVID-19 produksi Sinovac kepada penerima vaksin saat pelaksanaan vaksinasi massal di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (31/1/2021). Foto: Zabur Karuru/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petugas bersiap menyuntikkan vaksin COVID-19 produksi Sinovac kepada penerima vaksin saat pelaksanaan vaksinasi massal di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (31/1/2021). Foto: Zabur Karuru/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia terus mendorong agar vaksinasi dapat dilaksanakan dengan lancar dan tepat sasaran. Untuk tahap pertama, vaksinasi diberikan kepada tenaga kesehatan dan untuk masyarakat, pemerintah menargetkan vaksinasi akan dimulai pada pertengahan Februari 2021.
ADVERTISEMENT
Salah satu kelompok yang akan disasar oleh pemerintah ada para pedagang pasar. Plt Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes, Maxi Rein Rondonuwu mengatakan, telah berkoordinasi mengenai hal itu dengan Menkes Budi Gunadi Sadikin.
Maxi mengatakan, dipilihnya pedagang pasar untuk sasaran vaksinasi setelah tenaga kesehatan karena mereka dinilai rentan terkena virus dan sering kali berinteraksi dengan banyak orang. Selain itu, mereka merupakan penggerak ekonomi nasional sehingga memang semestinya diprioritaskan.
"Jadi memang pemilihan pedagang pasar ini karena memang mereka itu merupakan sasaran yang rentan dan sering berkontak dengan orang lain," kata dia di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) Bandung, Rabu (2/2).
Pedagang kaki lima menunggu pelanggan di pasar di Jakarta. Foto: Bay Ismoyo/AFP
Maxi pun mengaku sudah mengantongi data pedagang pasar calon penerima vaksinasi yang dihimpun dari berbagai sumber. Nantinya, data itu bakal diselaraskan dengan pemerintah daerah setempat. Biarpun terdapat pedagang pasar tak terdaftar di dalam sistem, mereka tak perlu khawatir bakal terlewat karena pemerintah pun bakal berkoordinasi dengan pimpinan pasar.
ADVERTISEMENT
"Jadi nanti pelaksanaannya kita akan membuka sistem yang baru di P-Care itu sistem yang pelaksanaannya itu semua laporan vaksinasi masuk di situ, dengan cara yang manual," jelasnya.
"Saya kira tidak usah khawatir soal data yang penting yang akan kami pegang adalah pimpinan-pimpinan pasar yang ada itu harus diyakinkan bahwa dia itu memang pedagang pasar sehingga tidak akan terlewat, jadi jangan khawatir kalau nanti tak terdata," lanjut dia.
Lebih lanjut terkait vaksinasi yang sudah berjalan, Kemenkes memastikan belum ada laporan mengenai Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (KIPI) berat selama melakukan vaksinasi kepada tenaga kesehatan. Sejauh ini, laporan KIPI yang diterima adalah 90 persen gejala ringan.
Petugas kesehatan memeriksa kesehatan penerima vaksin COVID-19 saat pelaksanaan vaksinasi massal di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (31/1/2021). Foto: Zabur Karuru/ANTARA FOTO
"Sejauh mana KIPI? KIPI itu kita pantau setiap hari ada pemantauan dari laporan KIPI baik ringan dan sedang, selama ini itu 90 persen lebih masih gejala ringan jadi tidak ada yang berat gejala KIPI," ungkap Maxi.
ADVERTISEMENT
Gejala ringan yang dimaksud seperti nyeri pada bagian bekas disuntik dan demam.
"Jadi ada laporannya harian, ada surveilans yang laporan KIPI kebanyakan hanya nyeri saja dan ada demam sedikit tapi tidak ada yang fatal," ucap dia.
Namun di sisi lain, ada satu PR yang harus diselesaikan oleh Kemenkes, yaitu pemerataan tes COVID-19. Wamenkes Dante Saksono mengungkapkan, testing corona memang sudah mencapai standar WHO yakni 270 ribu per minggu.
Petugas medis mengambil sampel darah wisatawan saat rapid test di kawasan wisata Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (29/10/2020). Foto: Yulius Satria Wijaya/ANTARA FOTO
Namun, capaian testing di Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, khususnya di DKI Jakarta.
"Kendala yang dihadapi sebaran pemeriksaan tidak merata di seluruh wilayah di Indonesia, sebagian besar yaitu 44 persen masih terkonsentrasi di Jakarta," ungkap Dante dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi persoalan belum meratanya testing ini, Kemenkes akan melakukan evaluasi. Salah satunya adalah dengan menyebar lebih banyak laboratorium ke daerah-daerah yang pemeriksaan testing-nya belum terlalu banyak.
Sebab, pemeriksaan COVID-19 ini menjadi salah satu modal kuat dalam proses pembuatan kebijakan penanganan pandemi oleh pemerintah.
Pelayanan rapid antigen gratis di Gorontalo. Foto: ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin
"Kami akan melakukan tindakan implementasi lainnya untuk buat lab-lab tersebut tersebar di Indonesia lebih merata. Sehingga coverage untuk pemeriksaan lebih terkoordinasi, efektif, luas, lebih masif akan kami kerjakan, sehingga testing di Indonesia akan lebih menggambarkan yang spesifik lagi," tutur dia.

Soal Varian Baru Virus Corona

Sementara itu, Kemenkes dan Kemenristek BRIN telah membentuk tim genomic surveillance untuk mempelajari jenis mutasi virus SARS-CoV-2 yang beredar di Indonesia. Tim ini dibentuk sebagai respons adanya varian baru virus corona yang pertama kali ditemukan di Inggris.
ADVERTISEMENT
Dante mengatakan, Kemenkes lewat Balitbangkes telah melakukan studi karakteristik virus SARS-CoV-2 hampir di seluruh wilayah Indonesia.
"Apa yang dilakukan kita kerjakan adalah studi karakteristik SARS-CoV-2 untuk mengetahui mutasi virus tersebut. Sudah dilakukan di beberapa tempat di Jawa Barat, Jawa Timur, Jakarta, Bali, Papua, Kalimantan, Sumatera, Maluku, Sulawesi," tuturnya.
Wakil Menteri Kesehatan, dr.Dante Saksono Sp.PD, Ph.D, KEMD. Foto: pbperkeni.or.id
Dante tidak merinci seperti apa studi karakteristik yang dilakukan Kemenkes. Namun hasilnya, sejauh ini pihaknya memang menemukan ada mutasi D614G, namun belum ada varian B117 dari Inggris.
"Dari mutasi yang kami evaluasi, terutama dari UK sampai kemarin sudah evaluasi dan alhamdulillah sampai saat ini belum ada varian mutasi dari UK," ungkap Dante.
Meski belum ada temuan varian corona dari Inggris, Kemenkes tetap akan melakukan evaluasi terhadap karakteristik B117 asal Inggris tersebut. Termasuk melakukan riset untuk mengetahui apakah pola sensitivitas mesin PCR akan berubah hingga kesakitan pasien, sehingga pendekatan pengobatan yang dilakukan bisa lebih efektif.
ADVERTISEMENT
"Bagian dari intervensi kita untuk riset-riset yang mendeteksi secara lebih dini. Pola-pola yang mungkin berubah dan membuat pandemi jadi berkepanjangan," kata dia.
Ilustrasi positif terkena virus corona. Foto: Shutterstock
Lebih lanjut, Dante juga memaparkan hasil sementara uji klinik terapi plasma darah (konvalesen) untuk pengobatan pasien corona. Laporan interim menunjukkan terapi plasma darah memiliki hasil yang sangat baik pada pasien corona stadium ringan dan sedang. Namun, terapi ini belum menunjukkan efektivitas bagi pasien bergejala berat dan kritis.
"Pada stadium berat, hampir semua studi evidence beberapa jurnal menunjukkan ini belum terbukti nyata, pada kasus ringan dan sedang kelihatannya menunjukkan hasil yang baik. Tetapi, ini akan menunggu konklusi uji selesai yang sekarang ini baru terkumpul 103 [sampel]. Pada tahun 2021, studi ini akan terus dikembangkan dan melengkapi kekurangan di 2020," ungkap Dante.
Infografik Sebab Calon Penerima Batal Divaksinasi Corona/ Foto: kumparan
Sejauh ini, Kemenkes telah menyebarkan 57 mesin plasmapheresis atau mesin yang menyaring plasma konvalesen di seluruh Indonesia. Meski belum menunjukkan bukti untuk pasien bergejala berat, Dante berharap terapi ini tetap berkontribusi mengurangi angka kematian.
ADVERTISEMENT
"Setelah tersebar, kami akan lakukan tindakan-tindakan pheresis dari pasien-pasien tersebut dan diberikan ke aseptor donor yang sudah diambil," ungkap Dante lagi.
Petugas PMI Kota Surabaya memeriksa kondisi plasma konvalesen hasil donor dari seorang penyintas COVID-19 di Unit Tranfusi Darah PMI Surabaya, Jawa Timur. Foto: Zabur Karuru/Antara Foto
"Selain itu, immunomodulasi terbentuk akibat kekebalan yang berubah membentuk sistem kadar kekebalan yang berubah bentuknya pada pasien-pasien yang diberikan plasma konvalesen. Jadi, mudah-mudahan akan memberikan kontribusi pada penurunan angka mortalitas yang sekarang terjadi, 2,4 sampai 2,9 [persen] pandemi COVID-19," tuturnya.
Selain uji klinis terapi plasma darah, Kemenkes juga tengah melakukan uji klinis sejumlah obat ternomenklatur. Pengujian dilakukan untuk menyeragamkan terapi pengobatan pasien corona.
"Untuk memberikan keseragaman bagi seluruh dokter, terapi secara seragam. Untuk memberikan kepercayaan kepada para dokter untuk keseragaman pengobatan, implementasi obat yang baik, karena masing-masing negara memiliki karakteristik pola dari virulensi COVID-19 yang berbeda-beda," kata dia.
ADVERTISEMENT
"Ada [negara] yang aktif berikan angka kematian tinggi, ada yang berikan mutasi penyebaran yang kuat, inflamasi yang kuat, yang menyerang orang tua, kelompok muda, dan lain-lain. Makanya uji klinik yang kita lakukan ini akan berikan kontribusi muatan lokal yang tinggi, memberikan keseragaman dan kepercayaan pada masyarakat dan terutama para dokter untuk mengobati secara efektif, baik, dan menurunkan kematian," sambungnya.
Obat pertama adalah Remdesivir. Awalnya, antivirus ini dikembangkan oleh perusahaan bioteknologi Gilead Sciences sebagai pengobatan untuk infeksi penyakit virus Ebola.
Remdesivir. Foto: Shutter Stock
"Kami melakukan berbagai uji klinik, seperti uji klinik remdesivir dengan berbagai macam kolaborasi dengan rumah sakit di PT, antara lain remdesivir pengobatan antivirus di stadium mana diberikan, model pasien seperti apa, dan seberapa efektif nanti akan memberikan kontribusi pada penurunan kematian," kata Dante.
ADVERTISEMENT
Obat selanjutnya adalah Intravenous immunoglobulin (IVIG). Obat ini biasanya digunakan untuk mengobati kekurangan antibodi dan penyakit autoimun.
"Pengujian IVIG adalah suatu model bentuk imunnogulobulin buatan, kita tahu pasien COVID-19 bukan meninggal akibat infeksi virusnya, tapi karena reaksi autoimun yang berlebihan menimbulkan inflamasi di seluruh tubuh. Kalau memberikan inflamasi secara cepat, maka pasien akan rusak paru-parunya, ginjal, jantung dan lain-lain," tutur Dante.
"Sehingga dengan immunimodulator, reaksi kekebalan yang diatur bentuknya akan memberikan reaksi ke seluruh inflamasi pada pasien yang berujung kematian bisa ditekan, salah satunya dengan uji klinis IVIG," imbuh Dante.
Uji klinik lainnya adalah ivermectin. Obat ini merupakan anthelmintik yang berfungsi untuk mengobati infeksi akibat cacing.
ADVERTISEMENT
"Ini bahan pembicaraan hangat para scientific, karena ini sesungguhnya obat cacing, tapi ternyata punya efek antiimflamasi atau anti-peradangan pada pasien COVID-19, ini diuji juga dilakukan di RS Adam Malik dan RS Soedarso," ujar Dante.
ADVERTISEMENT
Ada juga obat jenis tocilizumab. Obat ini kerap digunakan untuk pasien yang mengalami gejala radang sendi.
"Salah satu yang menyebabkan badai sitokin, badai sitokin atau badai inflamasi. Jadi pasien meninggal karena di dalam tubuhnya badai peradangan yang sangat kuat, itu hanya bisa ditekan berbagai macam perubahan yang dimodulasi dengan obat-obat antiinflamasi dan salah satunya tocilizumab. Tolicizumab kita lakukan juga uji kliniknya," tutur Dante.
Obat selanjutnya adalah deksametason. Ini adalah obat untuk mengatasi peradangan, reaksi alergi, dan penyakit autoimun.
ADVERTISEMENT
"Lagi-lagi obat antiinflamasi, murah dan banyak di pasaran. Tetapi bagaimana menggunakannya secara efektif tergantung pada stadium pengobatannya. Kalau diberikan lebih dini akan memberikan efektivitas lebih baik daripada tunggu badai inflamasi yang lebih berat. Maka dari itu deksametason juga kita lakukan," kata Dante.
"Camostat dan niclosamide, hipermunoglobulin juga kita lakukan, acalabrutinib dan recombinan ace-2 juga pada pasien COVID-19 kita lakukam uji klinisnya," pungkas Dante.
Namun patut diingat, belum ada satu pun merek dan jenis yang diakui sebagai obat COVID-19. Pengobatan yang diberikan hingga saat ini bersifat terapi dan untuk membantu proses penyembuhan.