Kemenkumham Kaji Legalitas Ganja untuk Keperluan Medis, Dilihat Baik Buruknya

29 Juni 2022 14:51 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kabag Humas Kemenkumham Tubagus Erif Faturahman. Foto: Denita BR Matondang/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kabag Humas Kemenkumham Tubagus Erif Faturahman. Foto: Denita BR Matondang/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kabag Humas Kemenkumham Tubagus Erif Faturahman menyatakan pemerintah akan mempertimbangkan legalisasi penggunaan ganja bagi dunia medis. Pertimbangan akan dilihat dari dampak baik buruknya jika ganja untuk keperluan medis dilegalkan.
ADVERTISEMENT
"Kalau memang positifnya lebih banyak, pasti pemerintah akan melegalkan ganja untuk medis. Itupun dengan mekanisme dan pengaturan ketat untuk menghindari penyalahgunaan," ujar Tubagus saat dihubungi, Rabu (29/6).
Wacana mengenai legalitas ganja untuk medis ini mencuat usai seorang ibu membentangkan spanduk bertuliskan ‘Tolong Anakku Butuh Ganja Medis’ dalam kegiatan Car Free Day di kawasan Bundaran HI, Minggu (26/6). Ibu yang bernama Santi tersebut bahkan diterima Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad.
Wakil Presiden Ma'ruf Amin juga merespons soal isu tersebut. Bahkan Ma'ruf meminta MUI untuk menerbitkan fatwa baru berkaitan dengan penggunaan ganja bagi dunia medis.
Tubagus mengatakan, sebelum memutuskan untuk melegalkannya, saat ini, pemerintah masih akan mempelajarinya baik-buruknya apabila keputusan tersebut diambil. Salah satunya dengan meminta pendapat para ahli baik dari segi medis hingga agama.
ADVERTISEMENT
"Pemerintah akan mempelajari terlebih dahulu mengenai legalitas ganja untuk tujuan medis," kata Tubagus.
"Akan dilihat baik buruknya dengan cara meminta pendapat atau pandangan para ahli dari berbagai pihak seperti kesehatan, sosial, agama dan lain sebagainya," sambungnya.
Ilustrasi ganja. Foto: Rashide Frias/AFP
Tekait dengan dorongan kepada MUI untuk membuat fatwa soal ganja untuk keperluan medis, Ma'ruf menilai itu dapat dijadikan pedoman untuk pengecualian terkait penggunaan ganja di dunia kesehatan.
"Saya kira MUI ada putusan bahwa memang kalau ganja itu memang dilarang dalam arti membuat masalah, dalam al-quran dilarang, masalah kesehatan itu MUI sebagai pengecualian, MUI harus membuat fatwanya, fatwa baru pembolehannya, artinya ada kriteria," ujar Ma'ruf beberapa waktu lalu.
"Saya kira MUI akan segera mengeluarkan fatwanya untuk bisa dipedomani oleh DPR, jangan sampai nanti berlebihan dan nanti menimbulkan kemudharatan," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Selain mengatur soal pengecualian penggunaan ganja bagi dunia medis, fatwa baru MUI itu juga diharapkan Ma'ruf dapat memberikan informasi dan klasifikasi lengkap kepada masyarakat luas terkait varietas dari ganja.
"Ada berbagai klasifikasi, saya kira ganja itu, ada varietasnya, nanti supaya MUI membuat fatwa berkaitan dengan varietas-varietas ganja itu," kata Ma'ruf.
Wakil Presiden Ma'ruf Amin kunjungi kantor MUI Pusat, Selasa (28/6/2022). Foto: KIP
Terkait penggunaan ganja, tercatat ada puluhan negara di dunia yang membolehkan ganja untuk digunakan bagi kepentingan medis. Negara besar seperti Australia, Belanda, Jerman, hingga Turki menjadi negara yang melegalkan penggunaan ganja bagi dunia medis.
Adapun dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ganja dikategorikan sebagai narkotika golongan I. Meliputi tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.
ADVERTISEMENT
Merujuk pasal 8 ayat (1) dalam UU tersebut, ganja yang masuk dalam narkotika golongan I tidak diperuntukkan bagi kepentingan medis.
Berikut bunyinya:
Pasal 8
(1) Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
(2) Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.