Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
KemenPPPA dan Ulama Usulkan Pencegahan Sunat Perempuan, Minta MUI Pertimbangkan
20 November 2021 2:47 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA ) menggandeng para ulama pesantren menggelar Musyawarah Ulama Pesantren ke-II dengan tema 'Membangun Komitmen Ulama Dalam Pencegahan FGM/C Atau P2GP', Kamis (18/11).
ADVERTISEMENT
Musyawarah ini membahas masalah praktik FGM/C (female genital mutilation/cutting) atau P2GP (pemotongan dan perlukaan genitalia perempuan) atau yang biasa dikenal sebagai sunat perempuan .
Hasil musyawarah disepakati praktik sunat perempuan merupakan tindakan non-medis, bukan bagian dari perintah agama, dan dibuktikan dengan fakta dari perkembangan dunia medis. Hal ini dibuktikan secara cukup meyakinkan oleh sebagian ulama.
Pimpinan Pondok Pesantren Dar at-Tauhid Arjawinangun, Husein Muhammad, menyampaikan Islam hadir dalam sebuah kebudayaan dan selalu melakukan transformasi kebudayaan. Hal tersebut juga berkenaan dengan tradisi khitan perempuan yang membutuhkan langkah gradual untuk memperbaiki realitas tersebut menjadi ideal.
Dari sisi medis, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan perhimpunan dokter spesialis anak dan obstetri telah sepakat, FGM/C atau P2GP merupakan tindakan yang tidak memiliki keuntungan sama sekali dari sisi kedokteran, berbeda dengan sunat laki-laki. Hal ini ditegaskan dokter spesialis obstetri, Muhammad Fadli.
ADVERTISEMENT
“Ada 200 juta perempuan dari 30 negara yang telah dikhitan, setengahnya, 100 juta perempuan berasal dari 3 negara, yakni; Indonesia, Mesir, dan Ethiopia. Padahal P2GP tidak mempunyai keuntungan dari sisi kedokteran, berdasarkan jurnal ilmiah dunia kedokteran yang dipublikasi FGM/C dan P2GP ini tidak memiliki keuntungan dan bahkan kemudaratan," jelasnya dikutip dari siaran pers Kementerian PPPA, Sabtu (20/11).
"Berbeda dengan khitan laki-laki yang membawa kemaslahatan. Oleh karenanya organ reproduksi laki-laki dan perempuan tidak bisa disamakan untuk dilakukan khitan,” tambahnya.
Meski begitu masih ada segelintir tenaga kesehatan baik dokter maupun bidan yang masih melakukan praktik tersebut. Oleh karenanya, selain dari fakta secara medis, akan lebih kuat efeknya jika ditambahkan penekanan dari sisi agama kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Minta MUI Pertimbangkan dalam Penetapan Fatwa
Sementara itu, pimpinan Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan Jombang, Ali Muhsin, menekankan rumusan rekomendasi dari ulama sebagai tokoh yang dipercaya masyarakat menjadi hal yang sangat penting terkait pencegahan sunat perempuan.
“Rekomendasi tersebut diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi penetapan fatwa oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan pembuat kebijakan dari Kementerian Kesehatan dan Kementerian Agama. Hal itu diharapkan dapat menjadi payung hukum bagi para tenaga kesehatan dan masyarakat," ujarnya.
Dalam mengupayakan pencegahan sunat perempuan, Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Iffatul Umniati Ismail, menegaskan fokus bahasan yang dapat dilakukan dalam memberikan rekomendasi.
Yakni; melalui penentuan kecenderungan MUI dalam fatwa P2GP, menentukan kemungkinan adanya fatwa baru, mempertimbangkan kemungkinan mengeluarkan qanun terkait hukuman bagi pelaku, apa yang bisa dilakukan sebagai upaya pencegahan dan pengentasan P2GP baik secara jangka pendek dan jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Musyawarah Ulama Pesantren II secara khusus memperhatikan fenomena dari praktik berbahaya sunat perempuan yang dijumpai pada sejumlah kelompok masyarakat. Musyawarah merumuskan Tausiah Bogor yang terdiri dari lima poin, di antaranya:
Fatwa MUI soal Hukum Pelarangan Khitan terhadap Perempuan
Masalah sunat perempuan memang masih menjadi polemik. Berdasarkan Fatwa MUI yang dikeluarkan pada 7 Mei 2008 tentang Hukum Pelarangan Khitan terhadap Perempuan, disebutkan sunat bagi laki-laki dan perempuan adalah aturan dan syiar Islam.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, sunat perempuan adalah salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan. Meski demikian, sunat perempuan tak bisa sembarangan. Dalam fatwa tersebut, juga dijelaskan standar sunat perempuan, yaitu sebagai berikut:
Kemenkes Cabut Permenkes soal Sunat Perempuan
Terkait sunat perempuan, Kemenkes beberapa kali mengeluarkan aturan. Pada 2010, Kemenkes mengeluarkan Permenkes Nomor 1636 tahun 2010 tentang Sunat Perempuan.
Dikutip dari kesmas.kemkes.go.id , permenkes ini bukan dimaksudkan untuk mewajibkan sunat perempuan, bukan pula melegitimasi atau melegalisasi sunat perempuan.
Pada saat itu, Permenkes Nomor 1636 tahun 2010 digunakan sebagai standar operasional prosedur (SOP) bagi tenaga kesehatan apabila ada permintaan dari pasien atau orang tua bayi untuk melakukan sunat perempuan pada diri atau bayinya. Pun harus menjamin keamanan dan perlindungan sistem reproduksi perempuan.
ADVERTISEMENT
Namun, empat tahun berlalu, permenkes tersebut dicabut dengan diterbitkannya Permenkes Nomor 6 tahun 2014. Dalam aturan terbaru ini dijelaskan sunat perempuan dipandang tidak sesuai lagi dinamika perkembangan kebijakan global.
Sunat Perempuan juga dipandang tidak merupakan tindakan kedokteran karena pelaksanaannya tidak berdasarkan indikasi medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan.