Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Akhir Februari 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menemukan lima kontainer berbagai jenis sampah rumah tangga dalam impor limbah kertas bekas. Muatan sampah impor ilegal itu akhirnya dikembalikan ke negeri asalnya, Amerika Serikat, dari Pelabuhan Tanjung Perak, Jawa Timur, pada pertengahan Juni.
Empat bulan berselang, Bea Cukai Batam bekerja sama dengan KLHK, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Batam, dan Sucofindo melakukan pemeriksaan fisik terhadap 65 kontainer limbah plastik impor. Berdasarkah hasil pemeriksaan, diketahui 38 kontainer mengandung Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan 11 kontainer tercemar sampah domestik.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016, importir wajib mengekspor kembali limbah yang mengandung B3 dan tercampur sampah. Namun apakah sanksi tersebut cukup untuk menghalau serbuan sampah impor ilegal yang meningkat sejak 2018?
Peraturan mengenai impor limbah merupakan kerja sama tiga kementerian, yakni Kementerian Perindustrian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan yang paling utama adalah Kementerian Perdagangan. Sementara Kemenperin dan KLHK bertugas dalam memberi rekomendasi bagi importir terkait standar pengolahan dan pengelolaan limbah. Maka Kemendag memiliki peran penting dalam mengatur secara lebih terperinci, termasuk audit limbah sebelum masuk ke Indonesia.
Berulang kali menemukan sampah dan limbah B3 dalam impor limbah bahan baku membuat KLHK tak tinggal. Menteri LHK, Siti Nurbaya, pun meminta agar menegakkan aturan yang berlaku yakni Permendag No. 31 Tahun 2016. Untuk mempersempit celah penyelundupan, Siti juga meminta revisi Permendag tentang Ketentuan Impor Limbah Non-B3 tersebut.
Lalu bagaimana upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah Indonesia menjadi tong sampah dunia? Berikut petikan wawancara kumparan bersama Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah B3 (PSLB3) LHK, Rosa Vivien Ratnawati, di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, pada Jumat (5/7).
Bagaimana tanggapan KLHK terkait penyelundupan sampah lewat impor limbah Non-B3?
Kami menyampaikan bahwa pemerintah secara tegas sudah mengatur melalui Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009. Ada mandat yakni dilarang memasukkan Limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3) ke wilayah NKRI.
Kedua, UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah secara tegas mengatur bahwa dilarang memasukkan sampah ke wilayah NKRI. Dapat dikatakan bahwa sampah maupun limbah B3 tidak boleh masuk ke wilayah NKRI. Itu sudah secara tegas diatur dalam undang-undang.
Kejadian-kejadian yang terjadi belakangan ini memang sampah atau limbah B3 yang masuk ke wilayah NKRI itu tersusup ke dalam material-material bahan baku yang diimpor dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 tahun 2016 tentang Impor Limbah Non-B3. Itu diperbolehkan untuk kertas dan plastik.
Akan tetapi ada peraturan ketat yang mengatur bahwa impor tersebut bisa dilakukan, tapi barangnya bukan sampah, bukan dalam bentuk plastik kresek, atau kemasan bekas. Melainkan dalam bentuk plastik atau kertas yang sudah berbentuk skrap atau dicacah, dan dalam kondisi bersih. Tidak boleh tercampur dengan sampah, misalnya sampah rumah tangga, dan tidak boleh tercampur dengan limbah B3.
Memang yang menjadi temuan adalah di dalam kontainernya itu ada barang-barang rumah tangga. (Ada) sampah, ada bekas bungkusan, ada popok, ada juga ditemukan limbah medis, seperti jarum suntik, infus dengan selang yang masih ada darahnya.
Jadi untuk hal tersebut, pemerintah Indonesia dengan tegas menolak adanya hal itu dan kita tidak memperbolehkan masuk ke wilayah indonesia.
Apakah dari kasus yang terkuak, yaitu di Tanjung Perak, Batam, dan Tanjung Priok, ketiganya memiliki modus yang serupa?
Nampaknya (modus) hampir serupa. Masuk ke dalam kontainer-kontainer bahan baku. Memang dalam hal ini Bea Cukai yang bisa memberikan keterangan bagaimana mereka bisa menemukan hal itu. Ketika temuan itu terjadi, KLHK dihubungi untuk membantu mereka untuk memeriksa kontainer tersebut, apakah betul sudah terkontaminasi dengan sampah atau limbah B3.
Karena yang punya kewenangan untuk memeriksa sampah dan limbah B3 adalah KLHK. Sehingga untuk reekspor terhadap kontainer-kontainer yang bercampur sampah dan limbah B3 tadi, Bea Cukai bekerja sama dengan kami untuk mendapatkan rekomendasi. Mana kontainer yang bersih, mana yang terkontaminasi dengan sampah dan limbah B3.
Kepada siapa biaya untuk reekspor dibebankan?
Untuk proses reekspor dilakukan oleh Bea Cukai. Mereka pasti koordinasi dengan importir untuk memulangkan kembali. Dan sekarang Bea Cukai sudah membangun mekanismenya. Mereka akan mereekspor kalau ada rekomendasi dari kami.
Kasi Humas Dirjen Bea Cukai Sudiro mengatakan bahwa beban biaya reekspor merupakan, “Kewajiban importir, sesuai dengan ketentuannya seperti itu.”
Apakah importir akan dikenakan sanksi?
Kami masih melakukan koordinasi tentang hal itu. Akan tetapi kalau impor limbah plastik yang rekomendasinya berasal dari KLHK, kami dapat mencabut rekomendasi itu. Sementara izinnya dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan.
Kami sedang melihat banyaknya atau berapa kali dia (perusahaan) seperti itu (melanggar peraturan). Kalau memang berkali-kali, kami bisa mencabut rekomendasinya sehingga izinnya juga tidak bisa terpakai.
Jadi, masing-masing perusahaan, seperti PT Adiprima Suraprinta yang ketahuan impor sampah ilegal untuk kasus di Tanjung Perak dan 4 perusahaan importir lain di Batam, sedang dievaluasi?
Kami melakukan evaluasi untuk hal tersebut. Sebelum mendapat perizinan ini standar apa yang mesti dipenuhi perusahaan untuk mendapat izin impor limbah. Kalau untuk impor limbah kertas dan logam, memang tidak membutuhkan rekomendasi dari kami. Dia masuk jalur hijau dan izinnya dari Kementerian Perdagangan.
Tapi kalau untuk impor limbah plastik itu mendapatkan (izin) dari KLHK dengan persyaratan bahwa yang diimpor itu adalah plastik yang sudah bersih, sudah tercacah, berbentuk pelet, dan tidak boleh tercampur dengan limbah B3 atau sampah domestik
Kemudian syaratnya adalah si perusahaan yang mengimpor itu harus mempunyai alat pengolahnya. Barang yang diimpor tidak boleh diperjualbelikan lagi di dalam negeri.
Soal sistem kepemilikan pengolahan limbah oleh para importir itu terlebih dahulu dievaluasi KLHK?
Iya, betul. Ketika menerima permohonan untuk mendapatkan rekomendasi, memang kami cek. Bahkan kami panggil perusahaannya untuk presentasi. Tidak menutup kemungkinan kami cek ke lapangan untuk melihat kesiapan dari perusahaan tersebut menerima barang-barang material dari luar negeri.
Seperti apa proses penelitian dan pengawasan oleh KLHK kemudian?
Kami di Kementerian LHK berhenti di rekomendasi, karena kami hanya melihat apakah layak atau tidak layak secara lingkungan dia (perusahaan tersebut) menerima barang material itu. Dan kami melihat apakah dia sudah punya cukup kesiapan untuk mengantisipasi apabila terjadi dampak lingkungan.
Ketika kami lihat dan oke, maka kami keluarkan rekomendasi ke Kementerian Perdagangan. Selanjutnya Kementerian Perdagangan yang akan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan itu.
Menurut KLHK, apakah yang bermasalah itu dari segi law enforcement atau memang ada regulasi yang bolong sehingga bisa disalahgunakan?
Kalau menurut saya itu memang banyak faktor. Yang jelas, evaluasi terhadap peraturan perundangan-undangan yang ada, itu harus dilakukan dari kami sendiri dan Kemendag. Nah, oleh karena itu dengan kejadian-kejadian seperti ini memang bisa membuat atau menjadikan evaluasi.
Bagaimana KLHK melakukan pengawasan terhadap pabrik-pabrik itu?
Kalau yang di kami kan terkait pengendalian pencemaran. Jadi, bagaimana mereka memproses kertas tersebut, bagaimana mereka tidak mencemari lingkungan, bagaimana pengelolaan limbah B3-nya.
Ternyata sekarang 50 persen dari impor limbah kertas itu adalah sampah yang kemudian dibuang ke masyarakat, apakah ada sanksi dari KLHK?
Kalau yang dirilis ke masyarakat dan terbukti demikian menjadi pencemaran itu bisa dilakukan penegakan hukum, melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kalau terbukti bahwa yang diserahkan ke masyarakat itu mencemari lingkungan, dapat kena pencemaran. Tapi kalau kemudian itu diserahkan ke masyarakat dikelola, persoalannya itu nggak bisa (ditindak hukum) karena nggak ada larangan untuk itu sebenarnya (mengelola sampah).
Tapi persoalannya ini sampah impor. Tidak ada regulasi untuk masyarakat yang mengelolanya, lalu dihukum. Tapi kalau kemudian sampahnya dibuang oleh perusahaan ke lingkungan dan tidak dikelola, nah itu yang bisa kena pencemaran. Yang harus diselesaikan ya dari hulunya.
Jika 50 persen impor limbah Non-B3 merupakan sampah domestik, apakah hal tersebut menyalahi aturan?
Menyalahi aturan. Kesalahannya di hulu, kesalahannya di importir. Kalau importir itu kemudian membuang ke lingkungan, ya dia bisa kena pencemaran. Tapi kalau dikasih ke masyarakat untuk dikelola, dipakai lagi, nah itu memang nggak ada dasar hukum untuk menghukum masyarakat yang memakai itu (sampah).
Menteri LHK Siti Nurbaya pernah meminta pengetatan Permendag Nomor 31 Tahun 2016. Apakah KLHK melihat adanya celah hukum yang harus direvisi?
Yang kami sampaikan di dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan memang salah satunya adalah dihapuskannya HS Code lain-lain. Jadi, HS Code itu memberikan label kepada plastik-plastik yang bisa masuk, itu ada di lampirannya Peraturan Menteri Perdagangan itu.
Yang saya dengar sih HS Code lain-lain itu tetap akan dipertahankan, tapi dia ada penjelasannya. Jadi, “Lain-lain” itu maksudnya apa dan sebagainya. Itu yang sekarang sedang kami koordinasikan terus-menerus.
Yang lain sih kami ingin benar-benar barang yang masuk ke Indonesia itu bersih, tidak tercampur sampah, limbah, dan kalau bisa berbentuk pelet.
Menteri LHK Siti Nurbaya sudah mengirim surat kepada Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita untuk merevisi Permendag nomor 31 tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun. Siti mendorong revisi Permendag tersebut agar bisa lebih spesifik dalam mengatur limbah non-B3 yang bisa diimpor ke Indonesia.
“Kita sudah minta ke Menteri Perdagangan untuk melakukan revisi Permendag 31 tahun 2016 tentang penegasan secara spesifik HS Code. Jadi jangan sampai ada ruang di mana bisa masuk barang apa gitu,” kata Siti, Senin (10/6).