Kenapa Akun Anonim Politik Seperti Kakekdetektif Bermunculan?

24 Juni 2018 16:27 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Twitter. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Twitter. (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Indonesia tengah berada dalam tahun politik. Mulai dari Pilkada serentak yang akan diselenggarakan 27 Juni, hingga Pilpres yang akan dihelat pada 2019 mendatang. Namun menariknya, proses elektoral di Indonesia buka cuma perkara kampanye retoris, debat kandidat, maupun pemungutan suara. Lebih dari itu, peristiwa politik di Indonesia turut diwarnai kehadiran akun-akun anonim penebar tudingan di media sosial.
ADVERTISEMENT
Pada Jumat (22/6) kemarin misalnya, Tim Advokasi pemenangan Sudirman Said -Ida Fauziyah melaporkan akun Twitter @KakekDetektif ke Polda Jawa Tengah. Laporan itu dilayangkan setelah pasangan cagub-cawagub Jateng itu gerah dengan pernyataan fitnah yang menyebut diri mereka melakukan tindak asusila.
Dua pekan sebelumnya, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) juga melaporkan akun semacam itu. Ketua Umum PSI Grace Natalie melaporkan akun Twitter @Hulk_idn ke Polda Metro Jaya, Kamis (7/6). Grace tak terima dengan fitnah akun itu yang menuduh dirinya selingkuh dengan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Kasus tersebut pun kini tengah diselidiki kepolisian.
Ketua Umum PSI Grace Natalie (Foto: Cisillia Siahaan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Umum PSI Grace Natalie (Foto: Cisillia Siahaan/kumparan)
Berbagai unggahan yang diproduksi akun-akun anonim berbasis politik itu jelas merupakan tuduhan yang sangat serius. Serta memiliki daya jangkau propaganda yang sangat luas. Akun @KakekDetektif misalnya, saat ini tercatat memiliki 283 ribu pengikut. Sejak bergabung di Twitter pada 2013, akun tersebut memiliki 41,5 ribu kicauan.
ADVERTISEMENT
Menurut pakar psikologi forensik Reza Indragiri, unggahan tak berdasar dan hoaks semacam itu memiliki daya pikatnya tersendiri di kalangan warganet. Hal itu disebabkan karena manusia kerap terburu-buru menyimpulkan sesuatu dengan menggunakan perasaannya.
"Manusia secara umum lebih mudah digerakkan jika perasaan atau afeksinya tersentuh. Postingan semacam dari @KakekDetektif dikemas dengan isi dan semantik yang masuk ke dimensi psikis tersebut. Netizen yang tersentuh afeksinya, dan kognisinya tidak berfungsi sebagai filter atau critical thinking, berpotensi besar untuk terpengaruh," ujar Reza saat dihubungi kumparan, Minggu (24/6).
Reza Indragiri. (Foto: dok. RSPN)
zoom-in-whitePerbesar
Reza Indragiri. (Foto: dok. RSPN)
Tidak hanya itu, kata Reza, kecenderungan pengguna media sosial adalah berpikir sesuai dengan apa yang disukainya. Sehingga, jika dia tak suka dengan seseorang kandidat politik, dan bersamaan dengan itu dia menerima informasi buruk terhadap kandidat yag tak disukainya, bukan tidak mungkin dia akan percaya begitu saja.
ADVERTISEMENT
"Netizen menyisir informasi berdasarkan selera dan sikapnya. Kalau informasinya berdasarkan selera dan sikapnya dia telan. Kalau beda dia buang," tambahnya.
Awal Kemunculan Akun Anonim Politik
Dalam sebuah riset berjudul "Di Balik Fenomena Buzzer: Memahami Lanskap Industri dan Pengaruh Buzzer di Indonesia", disebutkan bahwa keberadaan akun-akun yang menyebarkan berita bohong itu tak bisa dilepaskan dari kebangkitan media sosial, terutama Twitter yang mencuat pada 2006 lalu. Riset itu dirilis pada 2017 dan dibuat oleh tim peneliti dari Centre for Innovation Policy and Governance.
Menurut riset tersebut, jauh sebelum akun-akun anonim semacam itu muncul, penetrasi media sosial yang luar biasa mendorong terbentuknya sebuah ruang baru di kalangan para pelaku industri. Jika dahulu pelaku industri memasarkan produknya melalui cara konvensional, maka sejak 2009 para pelaku industri mulai mengenalkan brand-nya untuk kepentingan promosi di media sosial.
Ilustrasi Twitter  (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Twitter (Foto: Reuters)
Menariknya, hal yang bermula dari korporasi itu perlahan bergeser ke dunia politik. CIPG dalam risetnya mencatat bahwa pergeseran itu pertama kali terjadi pada 2012 lalu, tepatnya ketika kontestasi Pilgub DKI Jakarta. Kala itu, kandidat yang paling kuat adalah Joko Widodo-Ahok dan Fauzi Wibowo-Nachrowi.
ADVERTISEMENT
Jika pernah mendengar akun Twitter @TrioMacan2000, itu merupakan salah satu akun anonim populer yang menghiasi jalannya Pilgub DKI 2012. Unggahannya pedas, berisi tuduhan-tuduhan tak berdasar. Baik Fauzi Bowo maupun Joko Widodo pernah diserang oleh akun tersebut.
Pada 2014, penggunaan akun anonim politik itu kembali terjadi. Kali ini skalanya jauh lebih besar. Pertarungan sengit dari pendukung Prabowo Subianto dan Joko Widodo terjadi di media sosial. Berbagai isu SARA dimainkan. Akun-akun anonim melenggang dengan bebasnya. Termasuk akun @TrioMacan2000 yang menyebut Jokowi terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI).
Hoax (Ilustrasi) (Foto: Shutter Stock)
zoom-in-whitePerbesar
Hoax (Ilustrasi) (Foto: Shutter Stock)
Namun di tahun itu pula, beberapa pengurus @TrioMacan2000 ditangkap Polda Metro Jaya. Salah satu adminstrator akun tersebut, Raden Nuh, ditangkap karena melakukan pemerasan kepada pejabat PT Telkom. Dia dijebloskan ke Nusakambangan selama hampir tiga tahun. Dia kenakan Pasal 27 ayat 2 junto Pasal 55 KUHP, yakni turut serta dalam perbuatan pidana pencemaran nama baik melalui alat elektronik.
ADVERTISEMENT
Penetrasi akun-akun anonim yang menyebarkan hoaks sendiri agaknya akan sangat sulit dibendung. Masih dalam data yang sama, tampak bahwa pertumbuhan penggunaan media sosial mencapai 34 persen pada 2017. Ada 106 juta orang yang aktif menggunakan media sosial setiap harinya. Semua orang dapat membuat akun dan menulis apa yang mereka mau sesuka hati, termasuk menyebarkan fitnah di dalamnya.
Namun demikian, hal yang patut dicatat adalah kepekaan para pengguna media sosial lebih berhati-hati. Seperti apa yang dikatakan Reza, para pengguna media sosial haruslah terbiasa menunda kesimpulan dari apa yang di dapat pada dunia maya. Berpikir ulang terhadap informasi itu adalah kuncinya.
"Jangan andalkan satu sumber informasi. Biasakan skeptis. Kalau tak sanggup jangan bermedsos," tegasnya.
ADVERTISEMENT