Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kenapa Irak Mencekam saat Ulama Syiah Terkemuka Mundur dari Politik?
30 Agustus 2022 13:58 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Situasi di Irak semakin mencekam usai ulama Syiah terkemuka, Muqtada al-Sadr , mengumumkan mundur dari dunia politik pada Senin (29/8).
ADVERTISEMENT
Sebagai tanggapan, pendukungnya membanjiri jalanan dan menyerbu gedung pemerintahan di Baghdad. Bentrokan yang menyusul menewaskan sedikitnya 15 orang dan mencederai 350 lainnya.
Al-Sadr kemudian mengaku akan melakukan aksi mogok makan sampai kekerasan tersebut berhenti. Namun, pengumuman al-Sadr telah menandai fase terbaru dalam kekacauan di Irak.
Gejolak politik sebenarnya biasa terjadi di negara itu. Tetapi, tindakan al-Sadr dapat menjadi indikasi bahwa para pengikutnya akan semakin menggelar protes jalanan. Langkahnya juga memperdalam kebuntuan politik di Irak.
Irak belum membentuk pemerintahan baru sejak anggota parlemen pendukung al-Sadr memenangkan blok terbesar dalam pemilu pada Oktober 2021.
Al-Sadr sendiri pernah meninggalkan politik sebelumnya. Dia bahkan menangguhkan kantor gerakan nasionalis Syiah yang dia pimpin, yakni Gerakan Sadrist.
ADVERTISEMENT
Analisis lantas menduga, perkembangan tersebut hanyalah bagian dari taktik al-Sadr. Alhasil, dia akan merenggut pengaruh dalam negosiasi pembentukan pemerintahan mendatang.
"Dia berulang kali mengatakan dia tidak akan menjadi bagian dari politik dan kemudian pasti kembali lagi," ujar seorang peneliti di Century Foundation, Sajad Jiyad, dikutip dari The New York Times, Selasa (30/8).
Bagaimana Irak bisa sampai pada titik ini? Berikut perkembangan situasi sejak pemilu tahun lalu yang menyaksikan perebutan kekuasaan oleh faksi-faksi Syiah di Irak:
Pemilu
Memprotes korupsi, kaum muda menggelar demonstrasi besar-besaran di Irak sejak akhir 2019. Untuk meredakan unjuk rasa, Irak mempercepat pemilihan parlemen pada 10 Oktober 2021.
Gerakan Sadrist sendiri menggencarkan kampanye tentang agenda antikorupsi. Pemungutan suara itu menyaksikan jumlah pemilik yang rendah. Namun, al-Sadr meningkatkan perolehan kursinya dalam hasil awal pemilu.
ADVERTISEMENT
Al-Sadr memiliki saingan dalam Aliansi Fatah pro-Iran. Koalisi tersebut mewakili bekas aliansi paramiliter Popular Mobilization Forces (PMF). Mendapati kerugian tajam dalam pemilu itu, PMF menuduh adanya kecurangan.
Percobaan Pembunuhan Perdana Menteri
Disadur dari Reuters, hasil pemilu akhirnya memicu ketegangan selama berminggu-minggu. Pendukung PMF menduduki salah satu jalur masuk ke Zona Hijau di Baghdad. Kawasan tersebut merupakan rumah bagi gedung-gedung pemerintahan.
Bentrokan mendesak pasukan keamanan untuk menembakkan gas air mata. Kerusuhan kemudian menewaskan seorang pengunjuk rasa pada 5 November.
Pada 6 November, percobaan pembunuhan menyasar Perdana Menteri Irak, Mustafa al-Kadhemi. Pesawat nirawak (drone) berisi bahan peledak menyerang al-Kadhemi di kediamannya di Zona Hijau.
Al-Kadhemi lolos tanpa cedera dari serangan tersebut, sedangkan sejumlah anggota personel keamanannya terluka. Walaupun tidak ada yang mengaku bertanggung jawab, orang-orang menyalahkan milisi pro-Iran.
ADVERTISEMENT
Pertikaian Politik
Seiring protes memuncak, partai politik berusaha membentuk pemerintahan. Partai-partai utama Syiah mendorong koalisi, sementara al-Sadr bersikeras mendesak 'pemerintah mayoritas'.
Pada 30 November, hasil pemilu mengonfirmasikan kemenangan Sadrist. Pihaknya merebut 73 kursi dari parlemen dengan 329 kursi.
Parlemen baru lantas menunjuk politikus Sunni, Mohamed al-Halbousi, sebagai Ketua MPR Irak pada 9 Januari 2022. Namun, kelompok pro-Iran memboikot pemungutan suara tersebut.
Parlemen kemudian terus gagal dalam memilih presiden baru Irak. Pihaknya menemui kebuntuan selama tiga kali antara 7 Februari hingga 30 Maret. Pemilihan presiden biasanya mendahului penunjukan perdana menteri dan pembentukan pemerintahan baru.
Para pendukung al-Sadr semakin memperkuat usaha untuk menekan saingan mereka. Pada 10 Juni, 73 anggota parlemennya mengundurkan diri demi mendesak pembentukan pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Alhasil, 64 anggota parlemen baru dilantik pada 23 Juni. Blok pro-Iran lantas menjadi yang terbesar di parlemen.
Mereka segera mengisi jabatan perdana menteri pada 25 Juli. Pihaknya menominasikan mantan Menteri HAM Irak, Mohammed Shia al-Sudani.
Pendukung al-Sadr tidak menerima keputusan tersebut. Mereka menerobos Zona Hijau pada 27 Juli. Selang tiga hari, ribuan pengunjuk rasa kembali menyerbu parlemen. Sebagai balasan, para pendukung blok pro-Iran melakukan aksi serupa pada 12 Agustus.
Al-Sadr Mundur
Al-Sadr memboikot pembicaraan tentang krisis itu yang diadakan oleh perdana menteri sementara pada 17 Agustus. Dia mengusulkan pengunduran diri pula sepuluh hari kemudian.
Pada Senin (29/8), al-Sadr mengaku akan meninggalkan dunia politik untuk selamanya. Dia berniat menutup semua institusi terkait Gerakan Sadrist pula, kecuali situs warisan seperti monumen makam ayahnya yang dibunuh pada 1999.
ADVERTISEMENT
"Saya telah memutuskan untuk tidak ikut campur dalam urusan politik. Oleh karena itu, saya mengumumkan sekarang pensiun definitif saya," tegas al-Sadr, dikutip dari AFP.
Analis meyakini, al-Sadr sengaja mengambil langkah tersebut supaya masyarakat memohon agar dia membatalkan keputusannya. Dengan demikian, al-Sadr mengantongi pengaruh yang lebih mendalam.
"Dia bisa menduduki jalanan. Tidak ada seorang pun di Irak yang bisa melakukannya sebaik dia," terang analis dari Washington Institute for Near East Policy, Hamdi Malik.