Keraton Yogyakarta Gelar Labuhan Merapi Secara Terbatas di Masa Pandemi Corona
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Berlangsung di Kinahrejo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, upacara tersebut digelar secara terbatas dengan diikuti hanya 30 orang.
"Yang bisa naik dan diwajibkan naik hanya orang 30,” kata juru kunci Gunung Merapi, Mas Wedana Suraksohargo Asihono atau Mas Asih, kepada wartawan di Pendopo Petilasan Mbah Maridjan, Kinahrejo, Senin (15/3).
Selain karena kondisi pandemi, upacara dilangsungkan secara terbatas karena kondisi Gunung Merapi yang saat ini masih berstatus Siaga atau level lll. Untuk itu, abdi dalem yang mengikuti upacara ini harus benar-benar sehat, baik fisik maupun mental.
“30 yang ikut upacara ini pokoknya badan harus sehat. Baik sehat jasmani maupun rohani, fisik harus sehat supaya nanti tidak mengganggu perjalanan labuhan,” jelasnya.
Putra Mbah Maridjan ini mengatakan, prosesi upacara dengan protokol kesehatan telah dilakukan sejak tahun lalu saat pandemi corona mulai terjadi di Indonesia
ADVERTISEMENT
“Jadi ini menjalankan protokol kesehatan sehingga kita tetap menjaga protokol dan menjaga kesehatan semua," terangnya.
Dengan demikian, pada tahun ini juga tidak diadakan gelaran wayang kulit semalam suntuk. Kemudian untuk tahlilan juga tidak mengundang banyak orang.
Prosesi Labuhan Merapi ini dimulai pada pagi hari di petilasan rumah Mbah Mardijan di Kinahrejo. Kemudian, pukul 06.40 WIB rombongan abdi dalem menuju lokasi labuhan di Bangsal Sri Manganti yang berada di Pos 1 Merapi.
Di lokasi tersebut, ubarampe dilabuh. Ubarampe sebelumnya telah didiamkan selama satu malam. Ubarempe itu berisi sinjang cangkring, sinjang kawung kemplang, semekan gadhung, semekan gadhung melati, semekan banguntulak, kampuh poleng ciut, dhestar daramuluk, paningset udaraga, serta arta tindih.
Kemudian, Mas Asih memimpin doa kepada Tuhan di sana. Upacara ii juga sebagai bentuk penghormatan bagi leluhur Keraton Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Jika menengok sejarah, Labuhan Merapi digelar sebagai syarat penepatan janji antara Sultan Hamengku Buwono I kepada sosok yang mendiami Gunung Merapi, Eyang Sapu Jagad. Diceritakan keduanya menyepakati upacara ini digelar turun menurun.