Kesederhanaan yang Membalut Hidup Sukarno, Hatta, dan Agus Salim

16 Agustus 2019 13:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketum PAN, Zulkifli Hasan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat (22/7). Foto: Paulina Herasmarinandar/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketum PAN, Zulkifli Hasan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat (22/7). Foto: Paulina Herasmarinandar/kumparan
ADVERTISEMENT
Ketua MPR Zulkifli Hasan mengajak semua elite politik di Indonesia untuk meneladani kesederhanaan para founding fathers negeri ini. Dari mulai Sukarno, Mohammad Hatta, hingga Agus Salim.
ADVERTISEMENT
Seperti apa bentuk kesederhanaan ketiganya di masa lampau?
Sukarno
Jauh sebelum blusukan populer di dekade ini, Bung Karno telah melakukannya berpuluh-puluh tahun lalu. Menyambangi petani, tukang sate, pedagang obat, dan para sopir di sudut-sudut kota maupun desa merupakan kegemarannya.
Bung Karno kerap menyamar agar bisa melebur dengan rakyat kecil yang tengah bergumul di desa. Ia juga dengan santainya bercakap, bercanda, serius, dengan mereka. Tanpa pengawal.
"Rakyat adalah roti kehidupan. Aku ingin bercampur dengan rakyat. Itulah yang menjadi kebiasaanku," kata Bung Karno dalam buku 'Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat' karya Cindy Adams, yang terbit pertama kali tahun 1965.
Presiden Sukarno (tengah) didampingi Wapres Mohammad Hatta (kanan) membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan RI di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, 17 Agustus 1945. Foto: ANTARA FOTO/IPPHOS
Kesederhanaan seseorang, salah satunya bisa diukur dari makanan sehari-harinya. Nah, menurutmu, apa makanan favorit proklamator RI Bung Karno?
ADVERTISEMENT
Dikutip dari "Menyusuri Kenang-kenangan Perjuangan Masa Mudaku” yang merupakan bagian Bunga Rampai Soempah Pemoeda yang terbit pada 1978, makanan favorit Bung Karno adalah sate ayam.
Di buku tersebut dijelaskan, setelah penetapan Bung Karno sebagai presiden pertama dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), tanggal 18 Agustus 1945 yang bertepatan dengan bulan Ramadhan, Bung Karno pulang berjalan kaki.
Santapan berbuka puasanya adalah sate ayam yang dibelinya sendiri di pinggir jalan dari seorang pedagang tanpa pakaian atas, alias bertelanjang dada.
Selain sate, Bung Karno juga menggemari sambal pecel. Di meja makan keluarganya, bumbu itu selalu tersaji.
Sambal pecel selalu menemani santap siang Bung Karno, biasanya disajikan bersama lele plus lalapan daun singkong dan pepaya. Ia akan mencomot langsung dari cobek dan menyantapnya dengan tangan tanpa sendok dan garpu.
ADVERTISEMENT
“Kalau enggak ada, pasti Bapak menanyakan. Kalau lagi makan pecel lele, Bapak seperti tidak ingat sekitarnya,” ujar Muslih (70), bekas pelayan pribadi keluarga Sukarno, Muslih bin Risan, dikutip dari Historia.
Itu tadi cuma contoh saja, ya.
Mohammad Hatta
Memiliki sepatu Bally merupakan salah satu impian Bung Hatta yang tidak tercapai hingga dia mengembuskan napas terakhirnya pada 1980.
Pada tahun 1950-an, Bally adalah merek sepatu yang bermutu tinggi, harganya pun mahal. Ia pun sangat menginginkan sepatu tersebut.
Saking penginnya, Bung Hatta kemudian menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjual sepatu Bally di sebuah tempat. Bertahun-tahun ia menabung untuk bisa membeli sepatu idamannya itu.
Maklum saja, di masa Revolusi, gaji seorang wakil presiden tentu bukanlah idaman. Beban kerja berat tak berarti membuat seorang wapres digaji besar.
ADVERTISEMENT
Namun dengan posisinya, Hatta bisa saja meminta kepada siapa pun. Termasuk dengan para duta besar negara lain yang merupakan sahabatnya.
Presiden Sukarno (tengah), Wapres Mohammad Hatta (keempat kanan), bersama para menteri kabinet pemerintahan RI pertama di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, 4 September 1945. Foto: ANTARA FOTO/IPPHOS
Hatta tetaplah Hatta. Di balik keinginan besarnya itu, ada sifat penolongnya yang jauh lebih terlihat. Saat ada saudara, kerabat, dan sahabatnya meminta pertolongan, Hatta tak pernah menolak membantu.
Uang tabungan pun tidak pernah mencukupi. Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena tabungannya kurang.
Bahkan, guntingan iklan sepatu Bally itu masih tersimpan hingga Hatta meninggal dunia.
Agus Salim
'Memimpin adalah menderita'.
Begitulah kutipan Agus Salim yang sangat diingat hingga kini. Seorang diplomat ulung, penguasa 9 bahasa, tetapi tetap bersahaja.
Bahasa asing yang dikuasainya antara lain Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Arab, Turki, dan Jepang. Agus Salim pernah jua menjabat Menteri Luar Negeri periode 3 Juli 1947 - 20 Desember 1949.
ADVERTISEMENT
Di masa jabatannya, Agus Salim menjadi ketua delegasi Indonesia dalam Inter Asian Relation Conference di India dalam rangka pembukaan hubungan diplomatik dengan negara Arab, terutama Mesir dan Arab Saudi.
Di balik segala prestasinya, ekonom Faisal Basri pernah menyebut, tidak ada tokoh bangsa yang lebih bokek dari Agus Salim. Itu semua karena lelaki asal Sumatera Barat itu tidak memiliki rumah sampai akhir hayatnya.
"Sangat bokek jadi tidak ada tokoh bangsa yang semelarat namun sebahagia Haji Agus Salim. Hatta masih punya rumah di kawasan Menteng. Agus Salim boro-boro punya rumah. Sampai wafat ia tetap berstatus “kontraktor”," kata Faisal dalam situs pribadinya.
Sukarno (kiri) bersama Agus Salim. Foto: Wikimedia Commons
Jangan bayangkan kontrakan Agus Salim seperti rumah-rumah yang ada di kawasan elite seperti Pondok Indah, Menteng, dan sebagainya. Agus Salim hanya tinggal di rumah kecil, di gang sempit di berbagai kawasan kumuh Jakarta.
ADVERTISEMENT
Dari Tanah Abang, Jatinegara, Petamburan, Agus Salim pernah tinggal di sana. Yang paling terkenal adalah saat Agus Salim tinggal di Gang Listrik bersama istrinya, Zaianatun Nahar.
Bahkan, ironis, di Gang Listrik Agus Salim pernah hidup tanpa dialiri listrik. Sebab, saking bokeknya dia tak sanggup bayar listrik sehingga harus diputus.
Di kontrakan tersebut hanya ada kasur gulung, ruang makan, dapur, dan tempat menerima tamu bersatu dalam satu ruangan besar. Ketika para tetamu datang ke rumahnya, Agus Salim menyediakan makanan nasi goreng kecap.
.