Keseharian Slamet Jenggot: Sesekali Mentas dan Terima Tamu di Rumah

12 Juli 2018 19:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Selamet Wiyono atau Slamet Jenggot pembuat instrumen musik dari spare part otomotif bekas. (Foto: Ferry Fadhlurrahman/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Selamet Wiyono atau Slamet Jenggot pembuat instrumen musik dari spare part otomotif bekas. (Foto: Ferry Fadhlurrahman/kumparan)
ADVERTISEMENT
Slamet Wiyono atau yang lebih dikenal dengan Slamet Jenggot sedang membetulkan pintu rumahnya ketika kumparan menemui seniman asal Banyuwangi tersebut di kediamannya di daerah Kelurahan Jatiranggon, Kota Bekasi, Kamis (12/7).
ADVERTISEMENT
Slemet bercerita, inilah kesehariannya saat tidak sibuk pentas di luar kota.
“Sebenarnya minggu depan saya mau ke Bali ada pentas lagi. Untung saja aku ada di rumah pas kamu datang,” ujar Slamet pada kumparan.
Hanya saja, akhir-akhir ini ia sedang lebih senang diam di rumah mengurusi rumah yang ia bangun sendiri sejak tahun 1997. Dibanding ketika masih muda, sekarang jumlah pementasan yang dilakukan lebih sedikit. Selain karena faktor usia, ia merasa sudah berkecukupan sebagai seniman.
Dahulu tak hanya seni musik yang ia geluti, seni lukis, teater bahkan sampai pekerjaan pembuatan properti film ia lakukan.
Selamet Wiyono atau Slamet Jenggot pembuat instrumen musik dari spare part otomotif bekas. (Foto: Ferry Fadhlurrahman/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Selamet Wiyono atau Slamet Jenggot pembuat instrumen musik dari spare part otomotif bekas. (Foto: Ferry Fadhlurrahman/kumparan)
“Salah kalau seniman itu harus jadi orang susah, seniman itu harus jadi orang kaya. Siangnya kerja malamnya lukis. Generasinya saya itu dulu salah promosiin seniman, makanya ada omongan ‘jangan nikah sama seniman’, salah promosi generasinya saya itu,” tutur Slamet sambil tertawa.
ADVERTISEMENT
Saat ini, ia lebih senang banyak diam di rumah, menerima tamu dan mengobrol di rumah. Sesekali ia tampil di pementasan seni musik dengan instrumen yang ia bangun sendiri.
Bertahun-tahun malang melintang di dunia seni, membuatnya dapat menikmati hasil kerjanya sebagai seniman.
“Kadang kalau di dunia seni itu kita enggak boleh terbawa oleh arus. Enggak di dunia seni aja deng, di semua profesi. Jadi kalau diumpakan milih buah, yang sintetis tapi cepet atau nunggu menjadi buat yang matang. Kalau saya mending yang matang,” ujar Slamet mencoba menjelaskan perjalanannya sebagai seniman.
Di waktunya yang luang, lelaki kelahiran 1958 ini juga membangun ornamen yang ia jadikan sebagai hiasan rumah. Seperti instrumen musik yang ia bangun, nyaris semua alat dan pajangan rumah juga dibuat menggunakan barang bekas.
ADVERTISEMENT
“Yang dipajang di depan pintu itu saya buat dari velg sepeda kecil sama jari-jari kursi kantor. Itu tinggal saya nyari magnet besar nanti muter nggak berhenti-berhenti,” ungkap Slamet sambil menunjuk ke pintu rumahnya.
Bangun Instrumen dari Barang Bekas, Bentuk Ekspresi dan Keresahan Sosial
instrumen musik milik Slamet Jenggot. (Foto: Ferry Fadhlurrahman/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
instrumen musik milik Slamet Jenggot. (Foto: Ferry Fadhlurrahman/kumparan)
Bagi Slamet, membangun instrumen dari spare part dan barang bekas adalah bentuk ekspresinya sebagai seniman.
Bahan-bahan yang dipakai kebanyakan diperoleh hasil memburu barang di pasar loak, memulung di jalan atau meminta ke bengkel atau toko-toko.
“Saya paling sering itu minta, biasanya telepon bengkel besar, terus mereka suka nanya saya butuh apa, terus saya ambil aja ke tempat mereka kalau memang ada,” kata Slamet.
Bagi Slamet sendiri, membuat instrumen adalah bentuk keresahannya terhadap keadaan di sekelilingnya.
ADVERTISEMENT
“Banyak yang nanya kenapa saya buat ini, ya saya bilang ini cara saya mendeskripsikan kecintaan saya sama seni dan cara unik saya buat menyuarakan keresahan saya terhadap dunia,” ucap Slamet.
Ia mencontohkan timbangan pasar di instrumen musik yang ia buat adalah sebuah representasi dari timbangan hukum manusia.
Meskipun instrumen miliknya banyak dilirik oleh seniman-seniman lain, ia mengaku tidak punya keinginan untuk menjual instrumennya, karena ia tidak mencari uang dari pembangunan instrumen yang memakan waktu 5 tahun tersebut.
“Kalau saya jual banyak yang mau itu. Ini udah banyak yang nawar, cuman saya enggak mau jual,” pungkas Slamet.