Keterbatasan Fisik Tak Halangi Windari Melukis, Karyanya Mendunia

4 Oktober 2019 21:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Windari di Taman Budaya Art Center, Denpasar, Bali. Foto: Denita br Matondang/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Windari di Taman Budaya Art Center, Denpasar, Bali. Foto: Denita br Matondang/kumparan.
ADVERTISEMENT
Semangat Kadek Windari (28), perempuan asal Singaraja, Kabupaten Buleleng, tak pernah padam. Dia terlahir dengan kondisi muscular disthropy (distrofi otot).
ADVERTISEMENT
Distrofi otot adalah sejenis penyakit yang menurunkan fungsi otot progresif. Orang yang mengidap penyakit ini memiliki kelemahan otot bahu dan lengan yang tak mampu mengangkat.
Meski memiliki penyakit itu sejak kecil, Windari justru bisa melukis dengan sempurna. Lukisannya bahkan mampu menembus pasar internasional. Motto hidupnya tak hanya sekadar menjual lukisan, dia ingin dunia mengenal Bali dan karyanya.
Winda di Taman Budaya Art Center, Denpasar, Bali. Foto: Denita br Matondang/kumparan.
“Bali itu adalah seni. Bali hidup dengan seni yang indah dilengkapi dengan adat dan istiadatnya. Lewat lukisan orang bisa kenal dan mengenang Bali,” kata perempuan yang akrab disapa Winda ini di Taman Budaya Art Center, Denpasar, Bali, Jumat (4/10).
Windari menuturkan tak sengaja jatuh cinta pada lukisan. Dia betah duduk berlama-lama sejak pagi hanya untuk melukis hingga pukul 23.00 WITA.
ADVERTISEMENT
Karena menurut dia, melukis itu memiliki makna penting. Pertama, melukis adalah terapi menenangkan pikirannya. Ke dua, hasil karyanya bermanfaat bagi banyak orang. Ke tiga, lukisan memberi biaya hidup dan sekolah adik bungsunya, Bunga Ayu Lestari (9) serta sedekah bagi sesama penyandang disabilitas.
“Dengan badan seperti ini kita masih bisa memberi manfaat. Saya tidak punya banyak materi tapi lewat karya saya berbagai ke panti ke yayasan sosial. Lukisan dilelang, lukisan disumbang ke yayasan,” kata perempuan yang mengidolakan seniman Srihadi Soedarsono ini.
Jatuh cinta pada lukisan juga bukan perkara mudah. Ada kisah duka menyelimutinya. Waktu itu, sekitar tahun 2014, ayahnya bernama Ketut Punia tutup usia. Tulang punggung yang bekerja sebagai tukang ukir pintu, pergi untuk selamanya.
Salah satu lukisan di Taman Budaya Art Center, Denpasar, Bali. Foto: Denita br Matondang/kumparan.
ADVERTISEMENT
Windari lalu tak sengaja bertemu dengan seorang pemerhati penyandang disabilitas. Dia disarankan untuk belajar melukis. Move on dari suasana duka dan mencari penghasilan. Sejumlah alat lukis disumbangkan. Enam bulan dia belajar melukis.
Sejumlah tatanan kehidupan, adat istiadat, seni Bali dipelajari, dituang dalam kanvas. Karya dijual lewat media sosial. Duit Rp 5 juta dalam sebulan masuk dalam kantongnya.
“Ini adalah sumber pendapatan saya sejak ayah meninggal. Dulu ramai di Bali di Facebook, sekarang Jakarta, Surabaya, Medan sampai ke Amerika dan Australia,” kata perempuan yang juga menjual karyanya di Tokopedia, dengan bekerja sama dengan yayasan The Able Art.
Menurut perempuan yang juga mengidolakan desainer Rinaldy Yunardi ini, melukis dengan tema Bali cukup sulit. Sebab, Bali memiliki terikat pada banyak properti. Misalnya, pakaian adat atau bangunan yang memiliki desain sendiri.
ADVERTISEMENT
“Melukis Bali karena ciri khas tempat kelahiran saya, dan lukisan Bali itu harus detail dan membuatnya rumit.
Kalau bikin busana kita harus bikin titik bunga, tunggu kering baru bisa lagi, dilanjutkan,” kata dia.
Berkat keuletannya, kini Windari bak minum air bila ada pesanan. Satu lukisan ukuran 1 meter dalam seminggu bisa tuntas. Bahkan, lukisan tema dewa-dewa Hindu banyak memesan pada dirinya.
“Setiap pelukis kan ada ciri khasnya, kalau lihat lukisan saya, pasti orang langsung kenal, ini pasti lukisan Windari, karena saya suka melukis dengan warna yang cerah dan cerita dan mendetil,” ujar dia.
Meski demikian, Windari sadar, suatu saat, tubuhnya tak lagi bisa diajak kerja sama. Mungkin, tangannya enggan memegang kuas. Tapi, Windari berpikiran positif. Dia memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Berkarya dan memberi sedekah selagi masih bisa.
ADVERTISEMENT
“Saya tulang punggung keluarga saya harus kerja untuk cari makan, untuk ditabung, kan enggak tahu nanti ke depan gimana, untuk beli alat lukis, karena saya beli yang berkualitas, dan saya berbagi juga, kita enggak tahu waktu itu kapan, enggak tahu kapan lancar terus sebisa mungkin, selama masih bisa disisihkan waktu untuk kerja dan berbagi,” ujar dia.
Windari juga berbagi cerita tentang keluarganya. Windari memiliki seorang kakak bernama Agus Setiawan (32). Agus juga memiliki penyakit yang sama. Kini, hanya jari telunjuk Agus yang bisa bergerak.
Senada dengan Windari, Agus juga berkarya. Dia berhasil menerbitkan dua buku yang dijual melalui media sosial. Buku tentang kehidupan mereka dan motivasi.
“Kakak sama sekali enggak bisa bergerak yang bisa bergerak cuma jari telunjuknya. Jadi, dia ketik pakai satu jari. Bikin buku. Satu bukunya diselesaikan dalam 8 bulan,” ujar dia.
ADVERTISEMENT
Lalu, ada adik bungsu yang masih bersekolah dan seorang ibu bernama Komang Warsiki (50). Ibu yang tak bekerja demi mengurus Windari dan kakaknya. Bagi yang berminat dengan karya Windari dapat mengakses Facebooknya dan Instagramnya dengan akun @windasatyagraha.