Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.0
Ketika Ogoh-ogoh Turut Hadir sebagai Kritik Sosial
15 Maret 2018 17:37 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
![Ogoh-ogoh Paksi Ireng perwujudan Garuda Hitam (Foto: Marmar Herayukti)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1521109769/tszgj9dxzkffowgsaqo1.jpg)
ADVERTISEMENT
Pada perkembangannya, Ogoh-ogoh tak hanya tampil dengan sosok Bhuta Kala, atau mengambil cerita atau tokoh-tokoh Mahabarata, Ramayana dan cerita rakyat lainnya. Namun Ogoh-ogoh juga hadir dengan filosofi yang menjadi cerminan kondisi saat ini, yakni berupa kritik sosial sebagai pesan yang ingin diangkat.
ADVERTISEMENT
Made Bandem, seorang Budayawan Bali menyampaikan, tidak ada masalah jika Ogoh-ogoh hadir sebagai dengan pesan atau kritik sosial. Karena itu merupakan cermin ekspresi para pemuda dan masyarakat akan kondisi yang ada di sekitarnya.
“Ya saya rasa bisa saja, lewat Ogoh-ogoh bisa sebagai kritik sosial, tapi mungkin tidak terlalu ekstrem secara visualnya, menyindirnya secara halus,” kata Bandem kepada kumparan (kumparan.com), Kamis (15/3).
Selain itu, menurut Bandem, hal tersebut juga merupakan sebuah inovasi dari Ogoh-ogoh itu sendiri. Di mana dulu menurutnya memang ada permintaan, agar Ogoh-ogoh tak hanya menampilkan sosok raksasa Bhuta Kala, agar semakin menarik.
Satu diantara Ogoh-ogoh yang mengandung kritik sosial tersebut yaitu Ogoh-ogoh setinggi 6 meter dengan rupa burung garuda berwarna hitam bernama Paksi Ireng. Ogoh-ogoh ini menjadi karya para pemuda STT Gemeh Indah di Banjar Gemeh, Denpasar Barat, Kamis (15/3). Paksi Ireng sendiri diambil dari kisah rakyat yang menurutnya cocok dengan kondisi masyarakat di Bali hari ini.
ADVERTISEMENT
“Jadi sekarang ini manusia sering terjebak dengan pilihannya sendiri dan kerap menyalahkan alam jika sesuatu tidak sesuai. Seperti di Bali sendiri saat Gunung Agung meletus, bukannya introspeksi, tapi malah sibuk menyalahkan karena mengakibatkan sepinya turis yang datang ke Bali," kata Marmar Herayukti, arsitek ogoh-ogoh Paksi Ireng.
![Ogoh-ogoh Akuru Sunia (Foto: Cisilia Siahaan/kumparan)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1521109769/jhy4bo15xplwnffwbntf.jpg)
"Mereka terlalu nyaman, bergantung pada satu hal, menyalahkan yang lain. Orang-orang sering menyebut bencana alam, padahal itu adalah siklus alam,” sambungnya.
Tak hanya di Banjar Gemeh, Ogoh-ogoh lainnya yang juga turut menyuarakan kritik sosial yang ditampilkan para pemuda dari STT Acarya Perkasa, Banjar Blungbang, Desa Penarungan, Mengwi, Badung. Ogoh-ogoh setinggi kurang lebih 4 meter dengan visual satu badan dengan 3 kepala binatang itu diberi nama Akuru Sunia.
ADVERTISEMENT
Tiga kepala hewan pada Ogoh-ogoh antara lain, orangutan, gajah dan harimau. I Gede Agustinus Dharmawan (32), konseptor dari ogoh-ogoh ini menyampaikan, bahwa Ogoh-ogoh menggambarkan hewan-hewan yang terancam punah di Indonesia. Tujuannya, menurut pria yang akrab disapa Timbul ini adalah, berekspresi sambil menyuarakan isu lingkungan lewat karya seni dan tradisi.
“Kalau yang lain 'kan kebanyakan tentang dewa-dewa, atau cerita rakyat, yang umum-umumlah. Tidak salah juga. Hanya saja kami ingin berekspresi dengan konsep yang lain, sambil menyuarakan tentang lingkungan lewat karya seni Ogoh-ogoh,” ujar Timbul.
“Sebenarnya ini kelanjutan dari tahun kemarin. Tahun kemarin kan manusia pohon, yang sekarang ini sambungannya. Jadi tradisi Bali kami suarakan dalam lingkup nasional dan dikemas dengan isu lingkungan,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Perkembangan Ogoh-ogoh Ramah Lingkungan
![Ogoh-ogoh Akuru Sunia (Foto: Cisilia Siahaan/kumparan)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1521109771/pnd0eu4g0dsgcaebavmj.jpg)
Marmar Herayukti yang juga salah satu penggagas dikembalikannya pembuatan Ogoh-ogoh dengan teknik ngulat (merangkai) tidak lagi dengan Styrofoam seperti yang sempat marak beberapa tahun yang lalu. Dia menyampaikan, untuk di Denpasar sudah hampir 90 persen Ogoh-ogoh dibuat sesuai pakemnya.
Ia menilai sudah ada kesadaran dari masyarakat untuk menggunakan bahan yang lebih ramah lingkungan ketimbang dulu saat menggunakan styrofoam.
Namun memang belum bisa 100 persen menggunakan bambu seperti milik STT Acarya Perkasa di Banjar Blungbang, Desa Penarungan, Mengwi, Badung. Di mana ogoh-ogohnya dari konstruksi utama dan keseluruhan menggunakan bambu. Selain kemudahan akses mendapatkan bambu, disampaikan Marmar, ada teknik TERsendiri untuk membentuk kerangka Ogoh-ogoh dari bambu.
“Perkembangannya orang-orang mulai sadar dalam berkarya, memilih bahan-bahan yang ramah lingkungan. Awalnya karena ikut-ikutan saja, tapi sekarang sudah sendiri. Kalau untuk bambu kebanyakan belum tahu tekniknya, tapi kalau bisa full bambu seperti yang di Penarungan, akan jadi bagus,” kata Marmar.
![Ogoh-ogoh Akuru Sunia (Foto: Cisilia Siahaan/kumparan)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1521109769/jaholewbr0xsxm7lalab.jpg)
Sementara menurut Timbul, untuk di Banjar Blungbang, selain menggunakan bambu secara keseluruhan, untuk pewarnaan juga menggunakan warna-warna alami yang dibuat dari berbagai jenis daun.
ADVERTISEMENT
Pria yang juga menggagas komunitas Gadgad Organic, sebuah komunitas yang mengampanyekan warna alami, menyampaikan bahwa untuk pewarnaan Ogoh-ogoh dengan pewarna alami menggunakan daun mahoni, daun mangga, daun jati belanda hingga kulit kayu mengkudu.
Selain menggunakan bambu, rencananya Timbul dan para pemuda di STT ini juga akan mengembalikan bambu-bambu yang sudah digunakan dengan cara menanamnya kembali.
“Saya bersama STT di sini berniat untuk menanam bibit bambu sebagai ganti bambu yang telah kami gunakan untuk ogoh-ogoh ini,” pungkasnya.