

Tato Dena pernah menyaksikan kumpulan tengkorak dan tulang belulang berserakan di satu tempat. Dulu, jasad-jasad itu ditinggalkan begitu saja di atas tanah. Mereka tak dikuburkan dalam liang lahat ataupun liang tebing layaknya penguburan adat Toraja.
Sisa jasad itu adalah bekas penguburan massal pasien pandemi influenza tahun 1918 atau yang kerap disebut Flu Spanyol.
Tato Dena, yang kini tokoh adat Toraja yang kerap memimpin upacara adat animisme dinamisme, mendengar cerita dari ayahnya bahwa kala itu penduduk yang bersentuhan dengan jasad orang yang meninggal karena influenza, akan ikut meninggal. Oleh sebab itu jasad orang-orang yang sakit ditaruh begitu saja.
Kakek Tato Dena juga meninggal karena tertular penyakit itu.
“Kata ayah saya, ‘Udara bagai diracuni.’ Tidak ada satu keluarga pun yang tak kehilangan anggotanya,” ucapnya seperti dikutip dalam buku Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda. Ia berusia 71 tahun ketika bercerita pada tim penulis buku itu pada 3 April 2009.
Kengerian pandemi Flu Spanyol juga diceritakan oleh Kun Masora, pemuka adat Toraja sekaligus Anggota Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Suku Toraja. Tiga bibinya meninggal padai waktu bersamaan.
“Mereka semua meninggal setelah demam tinggi berhari-hari,” ucap dia.
Orang-orang tua di Toraja menuturkan cerita pandemi ini turun-temurun. Mereka menyebut pandemi itu dengan nama ra’ba biang yang berarti pohon atau dahan yang berjatuhan. Ingatan mereka soal gelombang kematian pandemi itu sangat kuat.
Kematian akibat pandemi Flu Spanyol di Toraja memang tergolong tinggi. Berdasarkan catatan Collin Brown dalam The Influenza Pandemic of 1918 in Indonesia, angka kematian mencapai 10 persen dari 3.000 populasi.
Namun, Ibu Masora dalam buku Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda menyebutkan bahwa kematian mencapai setengah populasi. Kabar kematian ini terjadi hampir di seluruh Hindia Belanda.
Pegiat sejarah Syefri Luwis yang menjadi tim penyusun buku itu menyebutkan bahwa pangkal tingginya kematian itu ada dua sebab. Pertama, pemerintah mengesampingkan informasi soal pandemi. Kedua, kepentingan ekonomi mendominasi kebijakan.
Laporan atas pandemi itu dilayangkan oleh Konsul Belanda di Hong Kong kepada Konsul Belanda di Singapura pada Januari 1918. Penguasa Koloni Inggris di Hongkong menyebutkan influenza terdeteksi di Hong Kong.
Pada April 1918, Konsul Belanda di Singapura memperingatkan Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia agar mencegah merapatnya kapal-kapal dari Hong Kong. Namun peringatan ini hanya ditanggapi dengan pengetatan pengawasan kapal dari Hong Kong, terutama yang transit di Singapura.
“Konsul Jenderal di Hong Kong dan Singapura sudah bilang harus hati-hati, sepertinya bisa masuk ke Hindia Belanda, ada penyakit baru. Nah, dia bilang enggak mungkin masuk,” ucap Syefri ketika berbincang dengan kumparan, Rabu (13/5).
Kabar penyakit ini mulai merebak pada Juli 1918. Pasien influenza dilaporkan muncul di beberapa rumah sakit. Laporan ini tak hanya berasal dari wilayah yang memiliki pelabuhan, tetapi juga kawasan pelosok, seperti Rembang bagian selatan. Diduga, minimnya fasilitas kesehatan membuat penyakit tak terkendali di kawasan pinggir hutan jati itu.
Koran Malaya Tribune edisi 11 Desember 1918 menyebutkan bahwa pesan dari Hindia Belanda ke Amsterdam, Belanda, menuliskan angka satu juta kasus influenza. Collin Brown dalam The Influenza Pandemic of 1918 in Indonesia menyebutkan jumlah korban meninggal dalam pandemi itu diperkirakan mencapai 1,5 juta jiwa.
Namun Siddharta Chandra dari Michigan State University mencatat dalam penelitiannya yang berjudul Mortality from The Influenza Pandemic 1918-19 in Indonesia di jurnal Population Investigation Committee, jumlah kematian di Jawa saja mencapai 2,5 juta jiwa.
Tingginya angka kematian ini juga karena pemerintah Hindia Belanda terjebak dengan permasalahan birokrasi dan kepentingan ekonomi. Permasalahan birokrasi terungkap ketika Asisten Residen Surabaya menyebutkan jumlah kematian karena influenza mencapai 1,5 juta jiwa dalam beberapa pekan saja.
Kepala Kantor Dinas Kesehatan Rakyat dr. de Vogel pun bertandang ke Surabaya karena laporan itu. Angka itu disebut tak tepat, tetapi jumlah korban hasil lawatan de Vogel ke Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, hingga Lombok—mengejutkan pejabat di Batavia— mencapai puluhan ribu. Jumlah orang terinfeksi influenza melebihi jumlah pasien terdaftar di rumah sakit.
Koordinasi antara pemerintah pusat dengan daerah berjalan buruk. Instruksi pemerintah pusat tak berjalan di tangan pejabat daerah. Namun pemerintah daerah ini pun tak dapat disalahkan karena tidak memiliki landasan hukum untuk bertindak.
Kondisi inilah yang memantik de Vogel mengajukan usulan rancangan perundangan khusus penanganan dan penanggulangan influenza. Gubernur Jenderal van Limburg Stirrum menerima rancangan ini pada awal 1919.
Namun pada Maret 1919, reaksi sengit muncul atas rancangan perundangan ini. Reaksi itu di antaranya dilontarkan oleh Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM), perusahaan yang mendominasi pelayaran Hindia Belanda. Mereka keberatan karena aturan itu membatasi aktivitas mereka.
“Waktu itu Hindia Belanda negara ekspor, dan pasca-Perang Dunia I Belanda sebagai negara netral sedang gencar-gencarnya meraup untung dari perdagangan. Makanya mereka keberatan karena aturan itu bisa menghambat ekonomi dan merugikan perkapalan,” ucap Syefri.
Rancangan de Vogel memang memberikan pembatasan soal kegiatan perkapalan barang maupun penumpang. Kewajiban karantina, fasilitas kesehatan di kapal dan pelabuhan, serta pelarangan penggunaan kuli pelabuhan, ada dalam draf itu.
Reaksi penolakan juga muncul dari Direktur Kehakiman Rutger. Menurutnya, aturan itu berlebihan dan menghambat penyampaian pendapat dan pendidikan. Rancangan peraturan de Vogel pun tak mendapat tanggapan positif dari instansi lain.
Perdebatan pemerintah Hindia Belanda berlarut hingga ditetapkan pada 20 Oktober 1920 sebagai sebuah perundang-undangan dan dimuat dalam Staatsblad No. 723 tahun 1920. Namun, pelaksanaan beberapa keberatan dilayangkan oleh beberapa instansi.
Setelah melalui proses negosiasi, pemerintah Hindia Belanda memberlakukan peraturan ini pada 1 Januari 1921. Itu pun karena Flu Spanyol kembali merebak di Makassar hingga kawasan Indonesia Timur.
Syefri beranggapan, simpang siur penanganan Flu Spanyol di Hindia Belanda ini menyebabkan pandemi Flu Spanyol di nusantara mengendap selama tiga tahun, dari 1918 hingga 1921. Walaupun ada catatan bahwa puncak pandemi terjadi akhir 1918, menurutnya, itu usaha pemerintah Hindia Belanda untuk menutupinya.
Kini, seratus tahun lebih kemudian, Indonesia—dan seluruh dunia—kembali dilanda pandemi. Kali ini virus corona COVID-19. Peristiwa seabad lalu mengingatkan pemerintah saat ini agar tak berkubang di lubang yang sama.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
Yuk, bantu donasi untuk mengatasi dampak wabah corona.