Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Suara mesin monitor di rumah sakit memecah keheningan malam. Ibnu, seorang pensiunan berusia 62 tahun, terbaring lemah di ranjang perawatan.
Istrinya, Ayu, berdiri di sisi tempat tidur, berusaha menenangkan pikirannya yang terusik oleh dua hal: kesehatan suami dan tagihan rumah sakit yang semakin hari semakin menumpuk.
"Ini baru minggu pertama, sudah habis puluhan juta," cerita Ayu kepada kumparan.
Bukan hanya rasa sakit yang dirasakan Ibnu, keluarganya pun harus menghadapi beban finansial yang menggunung. Bagi keluarga Ibnu, ini adalah realitas yang pahit. Sakit bukan hanya soal mengobati fisik, tapi juga berurusan dengan tekanan finansial yang terasa seperti luka tak terlihat.
Lonjakan Biaya Kesehatan yang Tak Terbendung
Apa yang dialami keluarga Ibnu bukanlah cerita langka. Ini adalah kenyataan yang semakin umum terjadi di tengah masyarakat Indonesia. Mengingat biaya kesehatan yang semakin sulit dijangkau menjadi salah satu penyebab kekhawatiran masyarakat.
Pandemi COVID-19, misalnya, merupakan contoh nyata bagaimana situasi kesehatan yang buruk bisa mengubah segalanya. Menurut laporan WHO dan Bank Dunia pada Desember 2021, lebih dari 500 juta orang di seluruh dunia jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem akibat harus membayar biaya layanan kesehatan dari kantong mereka sendiri selama masa krisis ini.
Di Indonesia, dampak pandemi memperburuk ekonomi keluarga. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan meningkat dari 9,22 persen pada Maret 2020 menjadi 10,14 persen pada Maret 2021, yang berarti sekitar 1,3 juta orang jatuh miskin akibat dampak langsung dari pandemi.
Kekhawatiran masyarakat ini tidaklah berlebihan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan, inflasi biaya layanan kesehatan di Indonesia memang semakin meroket. Berdasarkan data dari Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), inflasi medis pada 2023 diperkirakan tumbuh sebesar 13,6 persen (yoy), angka yang lebih tinggi dibandingkan inflasi tahun sebelumnya yang tercatat 12,3 persen (yoy).
Lonjakan ini jelas lebih besar jika dibandingkan dengan inflasi umum yang hanya tercatat 2,61 persen (yoy) pada tahun lalu.
Beban tersebut tidak hanya dirasakan oleh keluarga Ibnu, melainkan juga oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang membuat mereka tidak yakin tentang kesejahteraan finansial mereka di masa depan jika salah satu anggota keluarga sakit keras.
Bukan Derita Fisik Saja
Sakit sering kali datang tanpa pertanda. Dalam hitungan hari, keluarga yang tadinya merasa aman secara finansial bisa kehilangan stabilitas. Masih segar dalam ingatan Ayu, bagaimana ia dan Ibnu pernah berencana menggunakan tabungan untuk pensiun, namun rencana itu musnah karena sekarang semua fokus tertuju pada membayar biaya perawatan Ibnu.
“Saya pikir kami sudah cukup siap. Tapi ternyata biaya rumah sakit seperti ini benar-benar di luar perkiraan kami,” ujarnya.
Ibnu dan Ayu pun kini merasa tertekan memikirkan cara mereka bisa bertahan di masa sulit ini.
Ya, ketika seseorang menderita penyakit fisik, dampaknya sering kali lebih dari sekadar rasa sakit di tubuh, tetapi orang yang merawat mereka—seperti keluarga atau kerabat—juga dapat mengalami tekanan mental yang berat. Terutama ketika beban finansial datang bersamaan dengan kondisi kehidupan yang memburuk.
Dilansir Psychology Today, perawatan untuk anggota keluarga yang sakit dapat memberikan beban "objektif" dan "subjektif" pada pengasuh. Beban objektif termasuk biaya nyata seperti pengeluaran untuk pengobatan dan waktu yang dihabiskan untuk merawat. Sementara beban subjektif mencakup stres emosional yang dialami pengasuh, yang bisa mempengaruhi kesejahteraan mereka secara keseluruhan.
Mencari Jalan Keluar di Tengah Ketidakpastian
Di tengah ketidakpastian ekonomi yang semakin terasa, menjaga kesehatan tubuh dan melakukan perencanaan keuangan menjadi langkah yang semakin penting.
Ketidakpastian ini, ditambah dengan inflasi biaya layanan kesehatan, dapat membuat siapa pun merasa terperangkap dalam tekanan finansial. Tanpa perencanaan yang tepat, biaya perawatan medis bisa dengan cepat menguras tabungan atau bahkan kehilangan aset yang sudah lama dibangun.
Hal tersebut merupakan realitas yang kini dihadapi banyak keluarga, seperti yang dialami oleh keluarga Ibnu, yang harus merelakan impiannya karena menghadapi biaya medis yang tak terduga.
Meskipun kita tidak dapat menghindar dari risiko kesehatan, tetapi kita dapat mempersiapkan diri dari biaya medis tak terduga. Salah satunya dengan memiliki asuransi kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan.
Program asuransi kesehatan bukan hanya tentang meringankan beban finansial di saat sakit, melainkan juga memberikan rasa aman dan ketenangan saat kondisi tak terduga terjadi.
“Di tengah ketidakpastian ekonomi serta inflasi biaya medis yang meningkat, kesehatan tubuh dan ketahanan finansial adalah dua pilar yang utama yang harus kita jaga. Dengan perencanaan keuangan yang matang, termasuk memiliki asuransi kesehatan yang tepat, kita tidak hanya melindungi diri dari tekanan biaya medis tak terduga, tetapi juga memberikan rasa aman untuk terus melangkah percaya diri,” ungkap Shafira, Direktur Distribusi Manulife Syariah Indonesia.
Lebih dari itu, melalui asuransi kesehatan yang tepat kita bisa saling berbagi untuk memberikan dukungan finansial terhadap sesama ketika sakit. Seiring dengan berkurangnya kekhawatiran akibat ketidakpastian biaya kesehatan, dengan langkah tersebut kita akan bertumbuh lebih optimal dan berdampak dalam mewujudkan ketahanan finansial secara kolektif di masyarakat.
Artikel ini dibuat oleh kumparan Studio