Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Astrid bertolak ke tanah air ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU ) menggelar Bimbingan Teknis Panitia Pemilihan Luar Negeri di Nusa Dua, Bali, 29 Juli–1 Agustus 2023. Perempuan yang namanya disamarkan itu merupakan anggota PPLN di salah satu negara bagian barat Eropa yang mengikuti rangkaian acara Bimtek PPLN tersebut.
Sudah tiga pemilu sejak 2014 Astrid menjadi bagian dari PPLN. Ia menjadi panitia pemilu bukan demi mencari honor, sebab pendapatannya dari hasil bekerja di Eropa telah mencukupi kebutuhan sehari-hari. Niat Astrid bergabung dengan PPLN adalah agar bisa bersilaturahmi dengan sesama diaspora seraya mengaktualisasikan kegemarannya berorganisasi.
Namun pada Pemilu 2024, Astrid ternyata merasa sangat tidak nyaman. Sejak pelaksanaan Bimtek di Bali, ia menduga Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengincarnya alias ingin mendekatinya.
“Itu ditunjukkan, misalnya, suka dipanggil-panggil [oleh Ketua KPU], disuruh menemani,” cerita kuasa hukum Astrid dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum UI, Aristo Pangaribuan.
Dalam beberapa kesempatan di tengah-tengah waktu bekerja, Ketua KPU juga sempat meminta Astrid untuk menungguinya demi mengobrol. Namun, obrolan itu disebut tak ada sangkut paut dengan urusan pekerjaan.
Tak berhenti di situ, sekembalinya ke Eropa, Astrid lagi-lagi bertemu dengan Ketua KPU. Hasyim dan empat komisioner KPU lain memang menggelar Bimtek ke PPLN di 16 negara sekaligus melakukan sosialisasi pemilu untuk warga negara Indonesia di Belanda.
Astrid sebagai salah satu anggota PPLN di salah satu negara tersebut cukup banyak bergesekan urusan pekerjaan dengan Ketua KPU. Meski begitu, urusan itu seolah-olah kerap dibebankan kepadanya semata, padahal ia bukan penyandang jabatan tertinggi di PPLN.
Urusan mulai memanjang ketika Astrid diajak “jalan-jalan” oleh pimpinan tertinggi lembaga penyelenggara pemilu itu. Ia menyimpan rasa cemas bila menolak, sebab khawatir urusan PPLN negaranya jadi tidak lancar jika ada hubungan yang tidak baik dengan Ketua KPU.
“Nanti [khawatir] enggak jalan [urusan PPLN]. Bahkan ada bukti bahwa memang korban ini merasa seperti diumpanin (dikorbankan) gitu loh supaya semua urusan lancar,” terang Aristo.
Resistensi Astrid terhadap permintaan jalan-jalan Ketua KPU sempat ditunjukkan dengan cara mengajak teman-temannya untuk turut serta. Namun Hasyim disebut terus bermanuver sehingga akhirnya Astrid terpaksa menerima ajakan untuk jalan berdua saja.
“Ada permintaan khusus dan dia (Ketua KPU) hanya mau dengan klien saya, enggak mau ramai-ramai dengan yang lain,” kata Aristo, menjelaskan bahwa kegiatan jalan-jalan itu dilakukan lebih dari sekali.
Puncak permintaan absurd yang melibatkan relasi kuasa atasan-bawahan itu terjadi ketika Hasyim Asy’ari disebut berjanji menikahi Astrid yang berstatus single secara siri. Oleh Aristo, hal ini dianggap tak layak karena sosok pejabat itu diketahui sudah berkeluarga.
“Dia janji-janji mau kawinin. Kemudian ada persoalan bahwa dia mengatakan, ‘Ini adalah hubungan yang betul; saya juga tidak akan ngapa-ngapain kamu.’ Begitu kira-kira,” ujar Aristo.
Gerah dengan perlakuan dan permintaan itu, Astrid akhirnya memutuskan mengundurkan diri dari keanggotaan PPLN pada akhir Februari 2024. Ia mengirim surat pengunduran dirinya secara daring ke KPU.
Berikutnya kala Astrid pulang ke Jakarta untuk mengunjungi keluarga, Maret 2024 sesudah pemilu, lagi-lagi Hasyim meminta bertemu dengannya. Pada pertemuan terakhir itu, Hasyim disebut memberi penjelasan alias meluruskan soal perilakunya selama ini kepada Astrid.
Butuh waktu tak sedikit bagi Astrid untuk melaporkan kasus ini. Malahan, sebelum ke LKBH UI, ia sempat disarankan penasihat hukum lamanya untuk tak melapor agar tak membuat gaduh, apalagi Pilpres 2024 tengah digugat di Mahkamah Konstitusi.
Barulah setelah ke LKBH UI, Astrid diarahkan melapor ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) agar pelanggaran etika Ketua KPU mendapat sanksi. Keputusan melapor akhirnya bulat ia ambil usai mempertimbangkan kesiapan mentalnya yang mengalami trauma, dan setelah konsultasi dengan pihak keluarga.
Bukan Kasus Perdana
Bukan kali pertama Ketua KPU Hasyim Asy’ari tersangkut kasus etik yang menyangkut urusan perempuan. Dalam catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Hasyim pernah menjadi teradu dalam urusan poligami dan pernikahan siri.
Sebelum Hasyim dilantik pada April 2022, Komnas Perempuan sudah mewanti-wanti kepada Komisi II DPR RI agar uji kelayakan dan kepatutan terhadap penyelenggara pemilu turut membahas isu tersebut. Meski demikian, Hasyim tetap melenggang ke jabatannya kini.
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menilai bahwa poligami dan pernikahan siri adalah bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Dan ini tentu menjadi masalah apalagi jika yang melakukannya merupakan pejabat publik.
“Menjadi pejabat publik itu adalah tanggung jawab moral dan harus taat pada aturan. Apalagi menjadi pejabat ada mandat dalam Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, bahwa mereka tidak boleh melakukan hal yang sifatnya diskriminatif,” kata Siti.
Isu poligami dan nikah siri Ketua KPU ini juga sempat didengar Aristo Pangaribuan. Bahkan menurutnya upaya pendekatan ke Astrid adalah pola perilaku sistematis dari Ketua KPU.
Aristo mencontohkan adanya Peraturan KPU (PKPU) yang melarang anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota menikah siri atau tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah. Aturan ini ada di pasal 90 PKPU Nomor 8/2019 dan masih juga tercantum dengan beberapa modifikasi pada perubahan pertama (PKPU 3/2020), kedua (PKPU 21/2020), dan ketiga (PKPU 4/2021).
Barulah pada masa kepemimpinan Hasyim Asy’ari, melalui PKPU 5/2022 yang ia tandatangani pada 22 September 2022, pasal 90 ayat (4) di PKPU sebelumnya yang mengatur larangan nikah siri bagi penyelenggara pemilu itu dihapus. Syahdan tiada lagi beleid yang mengatur larangan pernikahan siri.
Padahal pernikahan siri sempat membuat masing-masing seorang Komisioner KPU Kota Surabaya (2020) hingga Komisioner KPU Kabupaten Tolitoli (2022) diberhentikan dari jabatannya. DKPP sama-sama menyitir PKPU yang mengatur soal pernikahan siri sebelum diganti oleh rezim Hasyim sebagai dasar pemberhentian keduanya.
Persoalan selanjutnya menurut Komnas Perempuan ialah kelindan Ketua KPU dengan Ketua Umum Partai Republik Satu Hasnaeni Moein. Kasus pelecehan seksual oleh Hasyim terhadap perempuan berjuluk “Wanita Emas” itu sempat diadukan ke DKPP walau berakhir tak terbukti.
Tetapi selanjutnya, Ketua KPU kembali tersandung kasus dengan Hasnaeni oleh karena Hasyim melakukan perjalanan pribadi dalam rangka ziarah bersamanya dari Jakarta ke Yogyakarta pada Agustus 2022. Hasnaeni-lah yang membayar biaya tiket pesawat keduanya.
DKPP menilai kasus ini menimbulkan konflik kepentingan lantaran Hasyim merupakan ketua KPU, sedangkan Hasnaeni adalah peserta pemilu. Hasyim juga melanggar prinsip profesionalitas karena melakukan komunikasi yang tidak patut di luar urusan kepemiluan dan ini dianggap mencoreng kehormatan KPU.
Dari kasus dengan Wanita Emas itu, Hasyim disanksi peringatan keras terakhir.
Berharap Ketua KPU Dipecat
Adanya sanksi peringatan keras terakhir terhadap Ketua KPU Hasyim Asy’ari membuat Komnas Perempuan berharap DKPP tak memperlakukan kasus teranyar sebagai kasus yang berdiri sendiri, melainkan juga harus melihat rekam jejak atau histori kasus Wanita Emas.
Karenanya, menurut Komnas Perempuan, DKPP perlu menjatuhkan sanksi yang lebih tegas daripada “peringatan keras terakhir” ketika Ketua KPU terbukti menyalahgunakan relasi kuasa untuk urusan pribadinya terkait Astrid.
“Mencegah agar tidak terjadi impunitas, karena bisa jadi kemudian selesai dengan kasus ini, terus berulang (dengan kasus lain),” kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi.
Pengacara Astrid, Aristo Pangaribuan, terang-terangan berharap DKPP memutuskan Hasyim disanksi pemberhentian selaku ketua dan sebagai komisioner KPU. Apalagi tahun ini masih ada agenda akbar pilkada yang bakal dilaksanakan serentak di berbagai wilayah Indonesia.
“Karena dia akan menjalin hubungan-hubungan [berurusan] dengan misalnya, KPUD. Dan kalau ini sudah pola, takutnya berulang,” tutur Aristo.
Komnas Perempuan dan NGO Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia memantau pada rentang 2017-2022 terdapat 25 kasus kekerasan terhadap perempuan melibatkan penyelenggara pemilu yang disidangkan di DKPP.
Sebanyak 22 di antara pihak yang teradu di kasus-kasus tersebut berujung pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatan penyelenggara pemilu di tingkat daerah provinsi maupun kabupaten/kota, baik oleh ketua maupun komisioner anggota.
“Tidak ada toleransi, ketika ada dugaan pelecehan seksual langsung diberhentikan. Saya kira ini menjadi progresif, dan hari ini putusan DKPP mengalami kemunduran, tidak serius dalam putusan dan banyak kepentingan politis,” ujar Direktur DEEP Indonesia, Neni Nur Hayati.
DKPP menjelaskan bahwa etika internal lembaganya tidak akan mengomentari kasus-kasus yang sudah diputus sebelumnya. Sebab, putusan sebelumnya bisa jadi memiliki jumlah pengaduan berbeda dengan kasus terkini. DKPP menegaskan sumber perkara ialah aduan dari pengadu.
“Jadi tidak bisa disandingkan apple to apple dengan (kasus) sekarang ya. Harus dilihat kasus konkretnya, tapi fakta dalam periode kami penyelenggara pemilu terbukti melanggar (pelecehan seksual) sudah diambil putusan untuk pemberhentian,” terang anggota DKPP I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi.
Dalam peraturan etik penyelenggara pemilu dan DKPP juga tidak terdapat aturan yang spesifik soal pelecehan seksual. Namun menurut Komnas Perempuan dan DEEP, bukan berarti DKPP tak bisa memutus kasus ini dengan putusan yang tegas dan progresif.
Bisa saja sebenarnya, menurut Siti Aminah, ke depan DKPP membuat aturan spesifik soal kekerasan terhadap perempuan, “Tapi bukan berarti ketika kode etik tidak menyebut larangan itu tidak bisa diperiksa. Kan itu bisa masuk ke dalam konteks integritas, jujur, adil, kewibawaan lembaga, taat pada aturan perundang-undangan.”
DKPP mengakui penilaian pelanggaran etika oleh penyelenggara pemilu oleh DKPP memang selalu merujuk kepada fakta di persidangan yang akan ditimbang dengan prinsip umum yang diatur di peraturan perundang-undangan dan pedoman penyelenggara pemilu.
“Misalnya mandiri, jujur, adil, profesional, proporsional, kepentingan umum, dan itu indikator umumnya. Saya memandang prinsip-prinsip ini sangat relevan, yang jadi batu uji menilai peristiwa konkret,” kata Raka.
Tetapi perlu dicatat bahwa DKPP putusannya tidak akan mempengaruhi legitimasi hasil pemilu. Itu karena putusannya bersifat etik dan menyanksi perilaku pribadi penyelenggara pemilu.
Berkaca dari dugaan asusila Ketua KPU, Komnas Perempuan memberi 3 evaluasi di ranah penyelenggara pemilu. Pertama, proses rekrutmen mesti memperhatikan latar belakang mengenai bebasnya calon penyelenggara pemilu dari kekerasan terhadap perempuan. Plus perlunya pertimbangan untuk keterwakilan perempuan.
“Kalau ada kasus kekerasan terhadap perempuan di lingkungan penyelenggara pemilu itu bisa direspons dengan lebih baik, dengan asumsi komisioner perempuan lebih memahami pengalaman perempuan atau kekerasan terhadap perempuan,” jelas Siti Aminah.
Kedua, perlunya membangun prosedur operasi standar (SOP) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan penyelenggara pemilu. Sebab penyelenggara pemilu perempuan rentan mendapat kekerasan dari kolega, atasan, parpol, hingga juru kampanye.
Ketiga, lembaga penyelenggara pemilu juga perlu memperhatikan bahwa kekerasan terhadap perempuan juga dapat menurunkan kredibilitas pemilu dan kualitas demokrasi. Terbukti, dengan mundurnya Astrid jadi PPLN, hal itu berdampak pada hak seseorang untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemilu.
kumparan telah bersurat kepada Ketua KPU Hasyim Asy’ari, mengontak nomor teleponnya, hingga mencoba mewawancarainya usai sidang DKPP pada Jumat (26/4) untuk memohon tanggapan terkait tudingan yang menderanya, akan tetapi tak ada respons.
Saat ditanya wartawan pada Kamis (18/4) soal kasus dugaan asusila terhadap Astrid, Hasyim hanya menjawab, “Nanti saja saya tanggapi pada waktu yang tepat, mohon maaf ya.”
Faktanya, kelindan permasalahan etika Hasyim yang eks dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian itu tidak berhenti pada kaitannya dengan urusan asusila semata. Ia juga diputus berkali-kali “peringatan keras terakhir” dalam pelanggaran lain dan tetap mempertahankan jabatannya.
Simak selengkapnya di artikel selanjutnya “Deret Cacat Etik Ketua KPU”.