Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Ketua KPU Jelaskan Masalah Konstitusional Jika Jokowi Jadi Cawapres di 2024
15 September 2022 18:11 WIB
ยท
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
KPU memberikan pendapat mereka terkait presiden yang sudah menjabat 2 periode bisa maju menjadi calon wakil presiden. Isu ini mencuat dari pernyataan Juru Bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono.
ADVERTISEMENT
Ia menyebut tak ada aturan secara eksplisit dalam aturan itu yang mengatur soal Presiden yang telah menjabat selama dua periode lalu mencalonkan diri sebagai cawapres.
Sehingga, menurut Fajar, jika mengacu pada bunyi Pasal tersebut, tidak terdapat larangan bagi presiden dua periode untuk menjadi wakil presiden di periode berikutnya.
Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari kemudian menjelaskan ketentuan UUD 1945 tepatnya di Pasal 7 dan Pasal 8. Dua pasal itu mengatur soal masa jabatan presiden dan wakil presiden.
Berikut bunyinya:
Pasal 7
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Pasal 8
(1) Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.
ADVERTISEMENT
Hasyim kemudian mengutip UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam Pasal 169, disebutkan syarat capres belum menjabat presiden atau wakil presiden selama dua kali dalam jabatan yang sama.
Berikut bunyinya:
Pasal 169
n. belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
Dari aturan itu, Hasyim mengatakan seseorang menduduki jabatan presiden atau wapres selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
"Seseorang dapat mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres, bila belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama," ucap doktor sosiologi politik itu.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam ukuran 1 kali masa jabatan untuk jabatan Presiden atau Wapres, terdapat dua penafsiran.
Pertama, penafsiran harfiah (literlijk) sebagaimana terdapat dalam rumusan teks Pasal 7 UUD bahwa 1 kali masa jabatan adalah 5 tahun terhitung sejak pengucapan sumpah janji (pelantikan).
Kedua, penafsiran sistematis sebagaimana terdapat dalam Putusan MK No. 67/PUU-XVII/2020 JR UU No. 10/2016 tentang Pilkada yang pada intinya bahwa seseorang yang telah menjabat sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah namun tidak sampai habis masa jabatan 5 tahun.
"Maka bila sudah menjabat selama "setengah atau lebih masa jabatan" dihitung telah menjabat 1 kali masa jabatan," ucap mantan anggota KPU Jawa Tengah itu.
Hasyim menjelaskan, dalam hal seseorang telah menjabat sebagai Presiden selama 2 kali masa jabatan dan kemudian mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden, akan terdapat problem konstitusional sebagaimana ketentuan norma Pasal 8 UUD.
Berikut urainnya:
ADVERTISEMENT
1. Bila A telah menjabat sebagai Presiden 2 kali masa jabatan mencalonkan diri sebagai cawapres, tetap sah dan tidak ada larangan dalam konstitusi.
2. Bila B sebagai capres terpilih dan dilantik sebagai Presiden, dan A dilantik sebagai wapres, maka dalam hal terjadi situasi sebagaimana Pasal 8 UUD:
"Maka A tidak dapat menggantikan kedudukan sebagai Presiden karena A telah pernah menduduki jabatan selama 2 kali masa jabatan sebelumnya," kata Hasyim.
"Dalam situasi tersebut, A tidak memenuhi syarat sebagai Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 169 huruf n UU 7/2017 tentang Pemilu," tutur Hasyim.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengklarifikasi polemik pernyataan bahwa presiden yang telah menjabat dua periode bisa kembali mencalonkan diri sebagai wakil presiden.
ADVERTISEMENT
Pernyataan tersebut sebelumnya disampaikan oleh Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri, Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal sekaligus jubir MK, Fajar Laksono.
Dalam klarifikasinya, MK menyatakan pernyataan Fajar tersebut bukan sikap atau pernyataan resmi lembaga.
"Pernyataan mengenai isu dimaksud bukan merupakan pernyataan resmi dan tidak berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi RI," kata Humas MK dalam keterangan tertulisnya, Kamis (15/9).
Dalam klarifikasi MK, disebutkan bahwa pernyataan Fajar tersebut merupakan respons atas pertanyaan yang disampaikan dalam diskusi informal. Fajar menjawab pertanyaan wartawan yang bertanya melalui chat WhatsApp, bukan dalam forum resmi, doorstop, apalagi dalam ruang atau pertemuan khusus yang sengaja dimaksudkan untuk itu.