Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Ketuk Palu Hakim untuk Duo Sindoro yang Terbukti Korupsi
7 Maret 2019 8:56 WIB
Diperbarui 20 Maret 2019 20:08 WIB
ADVERTISEMENT
Eddy dan Billy Sindoro adalah kakak beradik yang kompak. Keduanya memiliki banyak kesamaan: eks petinggi Lippo Group, koruptor, lalu dibui.
ADVERTISEMENT
Sidang vonis juga berlangsung di bulan yang sama. Eddy Sindoro, si mantan pemangku jabatan Presiden Komisaris Lippo Group, divonis 4 tahun penjara dengan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan.
Sidang putusan dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Kamis (6/3), sehari setelah Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Bandung menghukum Billy, yang menjabat Direktur Operasional Lippo Group, dengan 3,5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 2 bulan kurungan.
Mereka sama-sama dihukum lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK. Duo Sindoro itu sebelumnya dituntut 5 tahun penjara.
Bahkan perannya pun serupa: penyuap. Yang membuat beda hanyalah kasusnya.
Eddy terbukti menyuap mantan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, sebesar Rp 877 juta.
ADVERTISEMENT
"Menyatakan terdakwa Eddy Sindoro terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama," kata Ketua Majelis Hakim Hariono saat membacakan vonis Eddy di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (6/3).
Suap dilancarkan untuk dua perkara yang ditangangi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pertama, untuk memuluskan perkara gugatan perdata yang melibatkan PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) melawan PT Kwang Yang Motor (PT Kymco). PT MTP merupakan salah satu anak perusahaan Lippo yang bergerak di bidang penyertaan modal.
PT MTP diwajibkan membayar ganti rugi USD 11,1 juta kepada Kymco berdasarkan putusan Singapore International Abitration Centre (SIAC) terkait wanprestasi (debitur mengingkari perjanjian). Namun, PT MTP tak kunjung membayar hingga akhirnya Kymco mendaftarkan gugatan aanmaning (peringatan) di PN Jakpus.
ADVERTISEMENT
Tak ada itikad baik dari PT MTP. Perwakilan perusahaan tak kunjung hadir dalam setiap persidangan.
Di akhir, PT MTP meminta agar sidang aanmaning ditunda. Di saat itulah, Eddy beraksi menyuap Edy Nasution agar penundaan sidang dikabulkan. Melalui seorang perantara, Dody Aryanto, uang Rp 100 juta diberikan ke Edy Nasution.
Tak berhenti sampai di situ, praktik penyuapan kembali terjadi. Pada kasus kedua, suap dilancarkan Eddy agar PN Jakpus menerima pendaftaran upaya peninjauan kembali (PK) perkara niaga yang diajukan PT Across Asia Limited (AAL) --anak perusahaan Lippo, melawan First Media, pada 15 Februari 2016.
Padahal, jika merujuk Pasal 295 ayat (2) UU Kepailitan, batas waktu pengajuan PK sudah lewat, yakni selama 180 hari sejak putusan kasasi diterima PT AAL pada 7 Agustus 2015. Untuk itu, Eddy Sindoro melalui Dody Aryanto, kembali menyuap Edy Nasution sebesar Rp 50 juta dan USD 50 ribu.
Gara-gara kasus ini, Eddy Sindoro sempat melarikan diri dari kejaran KPK. Saat ditetapkan tersangka pada 21 November 2016 silam, Eddy, dengan saran rekannya yang berprofesi advokat, Lucas, membuat paspor palsu dan kabur ke Malaysia.
ADVERTISEMENT
Selama proses pelarian diri dua tahun dari Thailand hingga Malaysia, Eddy akhirnya menyerahkan diri di Singapura pada 12 Oktober 2018.
Billy terbukti menyuap Bupati Bekasi, Neneng Hasanah Yasin, dan sejumlah kepala dinas Kabupaten Bekasi, untuk melicinkan perizinan proyek hunian Meikarta. Segala printilan, mulai dari Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), hingga Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT), 'dibuat lancar' oleh Billy dengan suap Rp 16.182.020.000 dan SGD 270.000.
"Mengadili dan menyatakan Billy Sindoro telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut,” ucap majelis hakim Pengadilan Tipikor Bandung, Selasa (5/3).
Tak sendiri, Billy melakukan perbuatan itu bersama pegawai Lippo Group, Henry Jasmen, serta dua konsultan Lippo Group, Taryudi dan Fitradjaja Purnama.
ADVERTISEMENT
Sedangkan para pihak yang menerima suap selain Neneng, yakni Jamaludin selaku Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi, Sahat MBJ Nahor selaku Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Pemkab Bekasi, Dewi Tisnawati selaku Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (DPM-PPT) Kabupaten Bekasi, dan Neneng Rahmi selaku Kepala Bidang tata ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi.
"Ia itu residivis (pernah dipenjara) dalam kasus suap, makanya punya keahlian dalam penyuapan," ucap Jaksa KPK, Yadyn, kepada pewarta usai persidangan di Pengadilan Negeri Tipikor Bandung, Senin (11/2).
Pernyataan Yadyn merujuk pada kasus Billy sebelumnya. Pada 2008, Billy, yang dulu menjabat eksekutif Lippo Group, menjadi terpidana kasus suap Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), M. Iqbal. Suap Rp 500 juta diberikan untuk Iqbal agar hak siar Barclays Premiere League tak berpindah ke Aora TV.
ADVERTISEMENT
Saat itu, KPPU tengah memeriksa laporan PT Indosat Mega Media, PT Indonusa Telemedia, dan PT Media Nusantara Citra Sky Vision dalam perkara dugaan pelanggaran UU Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan PT Direct Vision (anak usaha Lippo Group), Astro All Asia Networks, Plc, All Asia Multimedia Networks (AAMN), dan ESPN Star Sports.
Namun dalam perjalanannya, PTT AAMN ingin mengalihkan hak siar Barclays Premiere League ke Aora TV. Billy yang tak sepakat permintaan itu, memerintahkan Iqbal untuk memasukkan klausul injunction yang memerintahkan AAMN untuk tidak memutuskan hubungan kerja sama dengan PT Direct Vision. Atas perbuatannya, Billy divonis tiga tahun penjara.
Dan kini, duo Sindoro itu meringkuk di jeruji besi.