Ketum PB IDI: Perlu Perubahan Kultural Top-Down Atasi Bullying Dokter PPDS

21 Agustus 2024 16:38 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr. Moh. Adib khumaidi, SpOT. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr. Moh. Adib khumaidi, SpOT. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Dr. dr. Mohammad Adib Khumaidi, Sp.OT bicara kasus bullying yang terjadi terhadap dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Di antaranya terjadi di Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, dengan sejumlah dokter yang sudah disanksi.
ADVERTISEMENT
Menurut Adib, perlu perubahan kultural untuk mengatasi kasus bullying ini.
"Perubahan kultur, kultur di dalam pendidikan kedokteran ini harus diubah mulai dari top-down-nya. Kita bicara hierarki jenjang dokter spesialis yang itu semuanya tentunya tidak terlepas tadi ada namanya institusi pendidikan kedokterannya, Fakultas Kedokteran, university base, dan RS tempat pendidikan," kata Adib dalam konferensi pers secara daring, Rabu (21/8).
Menurut dokter spesialis ortopedi dan traumatologi ini, ketika bicara bullying maka bicara sistem. Perlu ada pengubahan dalam sistem pendidikan.
"Apa yang dimaksud dengan perubahan dalam sistem pendidikan? Yang kita inginkan harapannya adalah, karena kebetulan saya, dokter Tommy (Koordinator Junior Doctor Network (JDN) IDI, dr. Tommy Dharmawan) pernah alami juga dalam proses pendidikan dokter spesialis, bagi kami ini yang kemudian perlu ada penegasan juga sehingga tidak ada parameter yang absurd, apa sih yang dimaksud dengan bullying," kata Adib.
ADVERTISEMENT
"Apakah (bullying) semua hal-hal yang kemudian terkait dengan proses pendidikan yang secara subjektif diterima peserta didik tidak nyaman tidak suka itu disebut bullying? Harus ada batasan yang jelas," sambung Adib.
"Bagi kami, kalau sudah bicara pelecehan seksual, kekerasan seksual, penganiayaan fisik, pemerasan, bahkan ada hal-hal di luar etika profesi, maka kami akan tegas itu harus dilakukan suatu sanksi," kata Adib..
Dia menyinggung kasus di Unpad Bandung. Diketahui, Unpad telah menindak 10 pelaku bullying (9 senior PPDS, 1 dosen).
"Yang kemarin ada pelaporan di Unpad itu adalah proses yang sudah dilakukan Fakultas Kedokteran Unpad 2 tahun terakhir," ucapnya.
Tommy Dharmawan Koordinator Junior doctor network IDI. Foto: Instagram/ @jdnidi_official

Working Hours

Selain itu, salah satu menghilangkan bullying juga dengan memastikan jam kerja para dokter PPDS. Menurutnya, harus ada acuan yang jelas soal itu.
ADVERTISEMENT
"Ada nggak working hours per week-nya gitu, dalam pendidikan ini. Umpamanya, sekarang ada target pelayanan di RS Pendidikan sekian, terus kemudian salah satu untuk mendorong peningkatan pelayanan SDM-nya. Peningkatan pelayanan yang berdampak pada SDM harus ada aturan. Standar WHO mungkin 50 jam per minggu, itu harus didorong juga," bebernya.

80 Jam per Minggu

Terpisah, menurut Koordinator Junior Doctor Network (JDN) IDI, dr. Tommy Dharmawan, angka jam kerja yang layak bagi PPDS adalah 80 jam per minggu.
Jumlah tersebut sebagaimana yang direkomendasikan. Hal itu agar PPDS tidak burn out dan keselamatan bagi pasien yang diobati.
JDN adalah organisasi bentukan PB IDI yang menjadi wadah bagi dokter berusia 40 tahun ke bawah.
Pernyataan RSUD Kardinah, Kota Tegal, atas meninggalnya salah satu dokternya, Agustus 2024. Foto: Instagram/@rsud_kardinah
Kasus dugaan bullying di PPDS menyeruak kembali menyusul kematian dokter Aulia yang ditugaskan tempatnya bekerja, RS Kardinah, Kota Tegal, mengambil spesialisasi anestesi di PPDS FK Undip.
ADVERTISEMENT