Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Ki Hadjar Dewantara dan Mimpinya Menjadi Belanda
2 Mei 2017 15:14 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Kamu pasti tahu kalau hari ini Hari Pendidikan Nasional. Kamu juga pasti tahu kan kenapa tanggal hari ini dipilih untuk peringatan tersebut? Oke bagi kamu yang belum tahu akan dijelaskan dalam tulisan ini.
ADVERTISEMENT
Di hari itu Raden Mas Soewardi Soerjadiningrat lahir. Kamu masih asing dengan namanya? Oke.
Kalau Ki Hajar Dewantara kamu pasti tahu kan? Ya, dia adalah seorang pendidik yang namanya harum karena aktivitasnya menantang pemerintah kolonial.
Ki Hadjar termasuk sedikit dari anak pribumi beruntung yang hidup pada masa itu. Ia bahkan bisa masuk ke sekolah Dokter Jawa yang notabene hanya bisa dimasuki orang-orang priyayi. Ki Hadjar tak senang sekolah di sana. Ia menemukan ada banyak aturan yang tak sesuai dengan konsep keadilan sosial.
Cukup sampai di situ.
Pembahasan tulisan ini tak fokus pada hal itu. Mari kita coba pelajari bagaimana perjuangan Ki Hadjar usai keluar dari sekolah.
ADVERTISEMENT
Aktivitas Ki Hadjar setelah keluar dari sekolah Dokter Jawa, antara lain, bergerak di bidang jurnalisik, politik dan pendidikan. Dalam bidang jurnalistik, ia bergabung dengan surat kabar Sedoyo Utomo (berbahasa Jawa) di Yogyakarta, Midden Java (berbahasa Belanda) di Bandung dan De Expres berbahasa Belanda di Bandung, Oettoesan Hindia, Tjahaja Timoer dan Poesara.
Tulisan Ki Hadjar Dewantara begitu banyak. Yang terkenal , “Seandainya Aku Seorang Belanda”, yang dimuat dalam surat kabar De Expres milik Douwes Dekker. Ia menulis ini ketika bergabung dengan Komite Boemiputra yang merupakan tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda.
Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
ADVERTISEMENT
Ki Hadjar begitu menentang sikap Belanda yang ingin berfoya-foya di atas penderitaan kaum pribumi. Mungkin yang ada dalam benak Ki Hadjar saat itu adalah:
"Sopo kuwi? wani wani mewah mewahan neng omah uwong".
Berikut tulisan Ki Hadjar seperti dikutip kumparan (kumparan.com) dari dokumen di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".
ADVERTISEMENT
Muatan nilai yang disuarakan di tulisan tersebut adalah “soal kepatutan dan kepantasan”, soal harga diri. Apakah pemerintah Belanda merasa terhormat kalau berpesta pora merayakan kemerdekaan negerinya di daerah jajahan dan didanai oleh rakyat jajahannya?
Maka, ia mengajak seluruh anak negeri untuk menjaga kewibawaan moral, kehormatan bumi pertiwi. Semangat Ki Hadjar begitu tinggi layaknya disulut api.
Akibat kritiknya tersebut, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman untuk Ki Hadjar tanpa proses pengadilan. Ia dijatuhi hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Bahasa mudahnya, diasingkan.
Ia dibuang ke Pulau Bangka. Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Dekker menulis di harian De Expres dengan judul “Pahlawan Kita: Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Surjaningrat". Pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerintah kolonial.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, keduanya juga terkena hukuman internering. Tak cuma dia, dua kawannya di Tiga Serangkai yakni Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang. Dekker dibuang ke Kupang, sedangkan Cipto dibuang ke Pulau Banda.
Namun ketiganya kompak melawan. Mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda. Mereka punya alasan kuat.
Mereka menyebut di negeri Kincir Angin mereka bisa mempelajari banyak hal dari pada di daerah terpencil. Akhirnya pemerintah kolonial mengizinkan mereka untuk pergi ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.