Kilas Balik Kasus Emirsyah Satar: Dijerat KPK hingga Kejaksaan Agung

27 Juni 2022 18:05 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (30/12).  Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (30/12). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung). Dia dijerat terkait kasus dugaan korupsi yang menyebabkan kerugian negara di PT Garuda Indonesia bersama mantan Direktur Utama PT Mugi Rekso Abadi (MRA) Soetikno Soedarjo.
ADVERTISEMENT
"Kami menetapkan tersangka baru. Hasil ekspose, kami menetapkan dua tersangka baru, yaitu ES selaku Dirut Garuda. Yang kedua, SS selaku Direktur PT Mugi Rekso Abadi," kata Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam konferensi pers, Senin (27/6).
Ini merupakan kali kedua Emirsyah dan Soetikno dijerat sebagai tersangka. Keduanya pernah dijerat tersangka oleh KPK atas kasus dugaan suap di PT Garuda Indonesia. Keduanya bahkan sudah divonis bersalah oleh majelis hakim.
Bedanya, di KPK keduanya dijerat dengan pasal suap dan pencucian uang. Kini di Kejagung, keduanya dijerat dengan pasal perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara.

Kasus Suap di KPK

Eks Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar (kedua kanan) mengenakan rompi tahanan seusai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Pada 2017, Emirsyah Satar dan Soetikno dijerat sebagai tersangka kasus dugaan suap dan pencucian uang oleh KPK. Saat itu, penyidikan KPK melibatkan Serious Fraud Office (SFO) Inggris (atau KPK Inggris) dan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB/KPK Singapura). Sebab, kasus ini melibatkan perusahaan internasional, dan tempat kejadian perkaranya tak hanya di Indonesia saja.
ADVERTISEMENT
Dalam sidang dakwaan, Emirsyah diduga menerima suap yang berasal dari pihak Rolls-Royce Plc, Airbus, Avions de Transport Régional (ATR) melalui PT Ardyaparamita Ayuprakarsa milik Soetikno Soedarjo, dan Bombardier Kanada.
Emirsyah diduga menerima suap Rp 46,3 miliar dengan mata uang berbeda. Rinciannya yakni Rp 5.859.794.797, USD 884.200 atau setara Rp 12.321.327.000 (1 USD= Rp 13.935), EUR 1.020.975 atau setara Rp 15.910.363.912 (1 EUR= Rp 15.583), dan SGD 1.189.208 atau setara Rp 12.260.496.638 (1 SGD= Rp 10.309).
Suap diberikan karena Emirsyah memilih pesawat dari 3 pabrikan dan mesin pesawat dari Rolls Royce untuk Garuda Indonesia dalam kurun 2009-2014, yakni:
ADVERTISEMENT
Perbuatan Emirsyah dilakukan bersama-sama dengan Hadinata Soedigno dan Agus Wahjudo. Agus dan Hadinoto merupakan anak buah Emirsyah saat menjabat sebagai direktur utama pada tahun 2009. Ketika itu, Agus Wahjudo menjabat Executive Project Manager, sedangkan Hadinoto menjabat Direktur Teknik Executive Vice President Engineering.
Selain dijerat sebagai tersangka suap, Emirsyah juga dijerat sebagai tersangka pencucian uang. Nilainya mencapai Rp 87 miliar. Uang itu ia belikan sejumlah aset, salah satunya rumah mewah di kawasan Pondok Indah dan satu unit apartemen di Singapura.
Berikut deretan pencucian uangnya:
ADVERTISEMENT
Pada sidang tuntutan, jaksa penuntut umum KPK menuntut Emirsyah selama 12 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar subsider 8 bulan penjara. Emirsyah dinilai jaksa terbukti menerima suap serta melakukan pencucian uang.
Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta kemudian memutus Emirsyah bersalah atas kasus tersebut. Emirsyah dihukum 8 tahun penjara. Ditambah denda Rp 1 miliar dan membayar uang pengganti sebesar SGD 2.117.315,27.
Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tetap menghukum Emirsyah selama 8 tahun penjara, sama seperti putusan Pengadilan Tipikor. Begitu juga uang pengganti.
Ia sempat mengajukan kasasi tapi ditolak. Saat ini, kasusnya telah inkrah. Namun merujuk pada situs pengadilan, sedang ada upaya hukum PK.
Sementara dalam sidang terpisah, Soetikno dihukum 6 tahun penjara. Kemudian Hadinoto divonis 8 tahun dan denda Rp 1 miliar dan uang pengganti USD 2.302.974,08 dan 477.540 euro.
Jaksa Agung RI, Burhanuddin saat di di Kejaksaan Agung RI, Jakarta pada Senin (27/6/2022). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan

Kasus di Kejagung, Kerugian Negara Rp 8,8 Triliun

Proses hukum terhadap Emirsyah dan Soetikno belum usai. Meski sudah diproses KPK, keduanya kini dijerat Kejaksaan Agung.
ADVERTISEMENT
Kasus ini masih beririsan dengan penanganan perkara oleh KPK, sehingga Kejagung akan berkoordinasi dengan lembaga antirasuah agar tak terjadi pengusutan kasus korupsi yang sama secara berulang.
Kasus di Kejagung ini terkait pengadaan pesawat pada PT. Garuda Indonesia tahun 2011-2021. Pengadaan terkait 18 unit pesawat Sub 100 seater tipe jet kapasitas 90 seat jenis Bombardier CRJ-100 pada tahun 2011. Serta proses pengambilalihan pengadaan pesawat ATR72-600.
Rangkaian proses pengadaan pesawat CRJ-1000 tersebut, baik tahap perencanaan maupun tahap evaluasi, diduga tidak sesuai dengan Prosedur Pengelolaan Armada (PPA) PT Garuda Indonesia.
Dalam tahapan perencanaan, diduga tidak terdapat laporan analisa pasar, laporan rencana rute, laporan analisa kebutuhan pesawat, serta tidak terdapat rekomendasi BOD dan Persetujuan BOD. Sementara dalam tahap evaluasi, diduga dilakukan mendahului RJPP dan/atau RKAP dan tidak sesuai dengan konsep bisnis “full service airline” PT Garuda Indonesia.
ADVERTISEMENT
Lantaran pengadaan pesawat CRJ-1000 dan pengambilalihan pesawat ATR72-600 diduga dilakukan tidak sesuai dengan PPA, prinsip-prinsip pengadaan BUMN, dan prinsip business judgement rule, mengakibatkan performance pesawat selalu mengalami kerugian saat dioperasikan.
Penyidik menilai hal ini menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar USD 609.814.504,00 atau senilai ekuivalen Rp. 8.819.747.171.352. Namun, tidak dirinci komponen apa saja dalam kerugian keuangan negara itu.
JAMPidsus Kejagung Febrie Ardiansyah menyatakan ada konstruksi yang berbeda kasus yang ditangani KPK dan Kejaksaan Agung.
“Mengenai objek penyidikannya pun ada perluasan. Kita juga menyangkut pesawat ATR72-600 dan Bombardier CRJ-100. Nah itu ada beda, ya,” kata Febrie.
“Apakah ini ne bis in idem atau tidak. Itu ada objek yang berbeda. Ada konstruksi perbuatan yang berbeda,” sambungnya yang tidak merinci lebih detail konstruksi perkaranya.
Suasana Konferensi Pers terkait penetapan tersangka dalam perkara PT. Garuda Indonesia dan peningkatan status perkara impor garam dari tahap penyelidikan menjadi tahap penyidikan di Kejaksaan Agung RI, Jakarta pada Senin (27/6/2022). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Sementara dari keterangan tertulis Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, terdapat beberapa poin yang ditulis sebagai peran Emirsyah dan Soetikno dalam kasus ini. Berikut poinnya:
ADVERTISEMENT
Peran Emirsyah Satar
Peran Soetikno Soedarjo
Pengusaha, Soetikno Soedarjo menjalani sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tipikor. Foto: Nugroho Sejati/kumparan

Bantahan Emirsyah Satar

Emirsyah Satar sudah diminta keterangan Kejaksaan Agung dalam pengusutan kasus ini beberapa waktu lalu. Namun, pihak Emirsyah menilai dirinya tidak dapat dijerat dalam perkara ini.
ADVERTISEMENT
Kuasa hukum Emirsyah, Afrian Bondjol, menilai kliennya tidak dapat dituntut dalam kasus yang sedang diusut Kejaksaan Agung ini. Sebab, menurut dia, Emirsyah sudah dihukum dengan kasus serupa yang sebelumnya ditangani KPK.
"Berkaitan dengan asas Ne bis In Idem di mana seseorang tidak dapat dituntut kedua kali dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan dan berkekuatan hukum tetap," kata Afrian saat jumpa pers, Senin (17/1).
Afrian berpendapat demikian berdasarkan penjelasan dari Emirsyah yang sudah diperiksa Kejaksaan dalam pengusutan kasus ini.
"Kami sebagai profesional, kami berpendapat hukum, lewat pendapat hukum kami ini Ne bis In Idem, kalau pendapat hukum dari yang lain itu boleh saja, ini sebagai bentuk advokasi kami terhadap klien kami dan asas hukum yang berlaku," kata Afrian.
ADVERTISEMENT
Afrian menjelaskan kliennya saat menjabat jadi Direktur Utama PT Garuda Indonesia selalu mengedepankan prinsip good corporate governance. Ia membantah adanya korupsi yang melibatkan Emirsyah.
Ia pun menjelaskan soal pengadaan pesawat ATR 72-600 yang kemudian jadi fokus kejaksaan. Menurut dia, pengadaan itu awalnya dilakukan oleh PT Citilink Indonesia tetapi kemudian dialihkan ke Garuda Indonesia.
"Pengadaan pesawat ATR 72-600 di mana di dalamnya termasuk pemilihan lessor, diadakan oleh PT Citilink Indonesia dan kemudian dilakukan pengalihan ke PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Alasan dialihkannya ATR 72-600 ke PT Garuda Indonesia dikarenakan pihak ATR dan lessor meminta jaminan kepada PT Garuda Indonesia dan hal tersebut tidak disetujui oleh Dewan Komisaris PT Garuda Indonesia. Maka kemudian, atas persetujuan dan kesepakatan dari Dewan Komisaris PT Garuda Indonesia melakukan pengambilalihan atas pesawat ATR 72-600 dari PT Citilink Indonesia," papar Afrian.
ADVERTISEMENT
Ia berdalih bahwa keputusan itu telah mendapat persetujuan dari rapat direksi dan dewan komisaris. Menurut dia, tindakan pengambilalihan tersebut dilakukan juga atas dasar program pemerintah yang tengah melakukan percepatan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI).
Afrian menyebut keputusan itu merupakan bisnis murni untuk kepentingan PT Garuda Indonesia dengan mengacu pada Rencana Kerja Anggaran Perusahaan dan Rencana Kerja Jangka Panjang Perseroan.
Terkait pemberitaan soal biaya leasing pesawat tersebut merugikan, Afrian menjelaskan satu tahun setelah Emirsyah pensiun, yakni pada 2015 dan 2016, PT Garuda Indonesia meraih keuntungan USD 71 juta dan USD 59 juta. Yakni dengan menggunakan skema sewa leasing pesawat.
Masih menurut Afrian, utang PT Garuda Indonesia semakin bertambah sejak Emirsyah pensiun sebagai dirut pada Desember 2014. Ia menyebut posisi utang PT Garuda pada saat Emirsyah pensiun ialah USD 2,2 miliar. Setahun kemudian pada Desember 2015, utang itu menjadi USD 2,3 miliar.
ADVERTISEMENT
"Posisi utang PT Garuda Indonesia pada September 2021 adalah sebesar USD 13 miliar," kata Afrian.
"Sehingga dapat kita nilai bahwa hutan PT Garuda Indonesia setelah klien kami selesai menjabat meningkat 6 kali lipat," lanjutnya.
Sementara Soetikno Soedarjo belum berkomentar terkait penyidikan Kejaksaan Agung ini.