Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kehadiran pelajar menengah atas dalam aksi unjuk rasa bukan kali ini saja terjadi. Mereka pertama kali terjun dalam unjuk rasa tercatat pada akhir September 2019. Saat itu, aksi dilakukan dalam momen menolak sejumlah RUU yang dianggap kontroversial, seperti RUU KPK, RUU KUHP, hingga mendukung pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Mereka turun ke DPR pada 25 September 2019, sehari setelah para mahasiswa menggelar aksi. Meski begitu, sebagian dari mereka tidak paham permasalahan yang ditentang mahasiswa. Kehadiran mereka hanya sebagai bentuk solidaritas.
"Semua orang tahu, kok, kita mau lanjutin perjuangan kakak-kakak," ucap salah satu peserta aksi yang berasal dari SMK di Rawamangun kepada kumparan, Rabu (25/9).
Tagar #STMmelawan sempat jadi trending topic di Twitter pada hari itu. Pengguna Twitter menggunakan tagar itu untuk membagikan aksi para anak STM yang berunjuk rasa.
Namun, niat baik menyuarakan kritik berujung kericuhan. Massa tidak mau dibubarkan oleh polisi hingga akhirnya ditembakkan gas air mata. Para pelajar itu pun balas menyerang, sebagian bahkan berlarian ke Tol Dalam Kota hingga membuat jalan tersebut harus ditutup sementara.
ADVERTISEMENT
Kerusuhan itu bahkan menimbulkan korban jiwa. Satu orang pelajar atas nama Akbar Alamsyah meninggal dunia.
Masih dalam momen yang sama, pada 30 September 2019, mereka kembali turun ke jalan. Kali ini ikut serta dalam aksi yang digelar mahasiswa.
Lagi-lagi unjuk rasa berujung rusuh. Saling serang antara massa dan polisi kembali terjadi.
Usai kejadian itu, polisi menetapkan 12 tersangka terkait grup WhatsApp yang berisi ajakan agar para pelajar ikut dalam demo. Grup itu disebut yang memobilisasi para pelajar untuk demo hingga berujung kericuhan. Para tersangka dijerat Pasal 160 KUHP.
Satu tahun berlalu, aksi unjuk rasa besar kembali terjadi di Jakarta pada 8 Oktober 2020. Kali ini, isu yang dibawa adalah menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja. Anak STM kembali mengambil bagian.
Namun, sama seperti sebelumnya, demo berujung ricuh. Bahkan lebih parah dari sebelumnya, karena terjadi pembakaran fasilitas umum seperti halte Transjakarta.
ADVERTISEMENT
Usai kericuhan, polisi menahan 1.192 orang. Sebanyak 50 persen yang ditangkap adalah anak STM.
Saat diperiksa polisi, mereka mengaku tidak tahu terkait tuntutan aksi. Mereka datang karena ada ajakan demo di media sosial.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Yusri Yunus, mengatakan, mereka dijanjikan uang jika ikut demo dan berbuat rusuh. Saat ini, polisi masih menyelidiki orang yang memberikan janji tersebut.
"Nanti dapat duit di sana, dapat makan, tiket kereta sudah disiapin, truk sudah disiapin, bus sudah disiapin, tinggal datang ke sana, lempar-lempar saja," kata Yusri mengingat pernyataan para pelajar tersebut.
Pada kesempatan yang berbeda, Yusri mengatakan, pihaknya tengah melakukan patroli siber gua meredam hoaks yang provokatif di media sosial. Hal itu untuk menghindari massa seperti anak STM turun demo dan berbuat onar.
ADVERTISEMENT
"Kita polisi tetap meningkatkan patroli siber untuk memantau provokator-provokator yang melakukan provokasi di dunia maya. Kita juga koordinasi dengan Menkominfo dan platformnya," kata Yusri, Selasa (13/10).
Yusri juga meminta agar orang tua berperan serta dalam mengawasi anak-anak mereka. Hal itu demi mencegah anak-anak dimanfaatkan untuk melanggar hukum.
"Karena kemarin kan banyak anak-anak STM tuh, kita imbau cegah ke orang-orang terdekat keluarga agar mereka tidak dimanfaatkan oleh orang-orang yang mereka ingin menciptakan kerusuhan," kata Yusri.
Demo menolak Omnibus Law juga kembali digelar pada 13 Oktober 2020. Anak STM kembali ikut serta. Lagi-lagi mereka terlibat dalam kerusuhan yang pecah pada sore hari.
Larangan Pelajar Demo
Terkait tren pelajar dalam aksi unjuk rasa, sebenarnya Kemendikbud saat dipimpin oleh Muhadjir Effendi pada Oktober 2020 pernah mengeluarkan surat edaran larangan pelajar ikut demo.
ADVERTISEMENT
"Sudah saya terbitkan Surat Edaran Nomor 9/September 2019 tentang tidak diizinkannya para siswa untuk terlibat di dalam kegiatan kegiatan unjuk rasa atau sejenisnya yang bisa mengancam jiwa dan keselamatannya," jelas Muhadjir usai mengikuti Upacara Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya, Jakarta Timur, Selasa (1/10).
Muhadjir mengatakan, anak didik harus dilindungi dari berbagai kegiatan unjuk rasa. Menurut Muhadjir, hal ini telah dipertegas dalam UU Perlindungan Anak.
"Menurut UU Perlindungan Anak, mereka bukan subjek yang diperbolehkan untuk melakukan unjuk rasa sebagaimana mereka yang sudah usia dewasa," jelasnya.
***
Saksikan video menarik di bawah ini: