Kisah 8 Bocah Lumpuh Otak Hidup Bertetangga di Kota Denpasar

13 Agustus 2020 14:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
I Wayan Sudarma (23) dan Kadek Sudarsana (21) saat mendengarkan radio Foto: Denita br Matondang/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
I Wayan Sudarma (23) dan Kadek Sudarsana (21) saat mendengarkan radio Foto: Denita br Matondang/kumparan.
ADVERTISEMENT
Delapan orang dari tiga keluarga hidup bertetangga di Kota Denpasar, Bali, dalam kondisi lumpuh otak alias cerebral palsy. Sebagian masih bisa beraktivitas dan menyalurkan hobi, sedangkan sebagian lainnya menghabiskan sepanjang waktu di kamar.
ADVERTISEMENT
Mereka dirawat sepenuhnya oleh orang tua masing-masing. Keluarga pertama adalah Wayan Suastika (27), I Komang Supartika (23), dan Luh Ayu Sukarini (7) yang merupakan anak dari Nyoman Sadra (55) dan Nengah Sumerti (47). Keluarga ini memiliki tiga anak lain yang sehat dan tinggal di rumah yang sama.
I Ketut Surtama (19) saat hendak dibawa berkeliling. Foto: Denita br Matondang/kumparan.
Keluarga kedua adalah I Wayan Sudarma (23), Kadek Sudarsana (21), I Ketut Surtama (19), dan Ni Luh Nanda Tebri Astari (11) yang merupakan anak dari I Nyoman Darma (47) dan Ni Nyoman Sarmini (40). Ada 2 anak lain dari keluarga ini yang sehat dan tinggal di rumah yang sama.
Sedangkan keluarga ketiga adalah Nih Luh Indah (27) yang merupakan anak dari Made Kari (44) dan Nyoman Simpan (50). Keluarga ini juga memiliki 2 anak lain yang sehat.
ADVERTISEMENT
"Dari lahir memang gini, enggak bisa apa-apa," kata Nyoman Simpan menceritakan kondisi Nih Luh Indah kepada wartawan di kediamannya, Senin (16/9).
Anak-anak penyandang disabilitas ini tinggal di Jalan Tantular, Gang Kehutanan, Denpasar Timur, Kota Denpasar. Mereka tinggal dalam satu kompleks sejak tahun 2014 di tanah milik Pemprov Bali.
Luh Nanda Tebri Astari (11) sedang bermain di rumah Luh Indah Foto: Denita br Matondang/kumparan.
Masing-masing keluarga tinggal dalam satu rumah berukuran 5x6 meter. Meski cukup layak, tapi kondisi rumah cukup mengiris hati. Sebab, ruang tamu yang sempit harus dihuni 5 sampai 8 orang. Kamar tidur yang pengap, kamar mandi kumuh, dan memakai tungku berbahan bakar kayu untuk memasak. Aroma rumah juga agak berbau.
"Kami semua masih bersaudara, bersepupu, dari Desa Ulakan, Kabupaten Karangasem," kata Simpan.
ADVERTISEMENT
Dulu memang bantuan lancar dari Pemprov. Mulai dari dibangunkan rumah tahun 2014, uang Rp 1 juta setiap tahun, dan beras 50 kg per tiga bulan.
Lambat laun bantuan tersendat. Bahkan, sejak tahun lalu tak ada bantuan. "Kalau saya dapat bantuan cuma tahun 2015 itu aja," kata Simpan.
Simpan dan Sumerti menceritakan, saat masa hamil tak ada tanda keanehan dengan kandungan. Semua tampak normal. Lalu, memasuki usia tiga bulan, anak-anak ini mulai memberikan tanda-tanda aneh.
Kasusnya semua sama. Diawali dengan mata tak fokus, tubuh kejang-kejang, demam tinggi. Tangis juga memenuhi rumah keluarga ini, siang dan malam, di Karangasem kala itu, sebelum mereka kemudian pindah ke rumah bantuan di Denpasar.
ADVERTISEMENT
"Sudah dibawa berobat ke dokter, lain-lain ke mana saja, tapi semakin besar tubuhnya makin mengecil, enggak bisa apa-apa, makan di kasur,buang air di kasur," kata Sumerti menceritakan kondisi Suastika.
Seluruh keluarga besar ini cuma bisa pasrah dengan keadaan anak-anaknya. Bapak mencari nafkah dengan menjadi pekerja kebun dengan gaji Rp 2,5 juta di Pemprov Bali. Ibu menjadi perawat anak-anak ini. Sementara itu, Simpan juga harus merawat suaminya, Made Kari, yang stroke sejak empat tahun lalu.
"Kami masih kesulitan membayar air, listrik, beli pampers, dan uang makan untuk satu keluarga. Sementara Bapak stroke. Kami berharap bisa bayar uang makan, listrik, biaya sekolah anak saya yang nomor dua,โ€ kata Simpan.
ADVERTISEMENT