Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0

ADVERTISEMENT
Tulisan “mesin tempur es goyang jadul” tertempel di atas gerobak Aden (30). Di tengah keramaian car free day (CFD) kawasan Sudirman-Thamrin, Jakarta Pusat, Aden terus sibuk melayani pembeli.
ADVERTISEMENT
Di kala jajanan hits dan modern menguasai pasar jajanan kaki lima, Aden masih bertahan memilih berjualan es goyang. Jajanan yang kini sudah jarang ditemukan di tengah majunya ibu kota.
Harganya murah, dengan merogoh kocek Rp 5 ribu, pengunjung CFD sudah bisa menikmati manis segar es goyang. Bak tak dikasih napas, suara ‘bang mau beli’ terus mendatangi telinga Aden.
Aden bukan baru menjual jajanan legenda ini. Pria asal Garut, Jawa Barat itu sudah merantau ke Jakarta dari tahun 2008 lalu. Bukan mencari kerja kantoran, Aden secara khusus ke Jakarta mau berjualan es goyang.
“Karena kalau dari tempat saya tuh turun temurun,” ujarnya saat ditemui, Minggu (11/5).
“Iya (warisan), dari zaman Belanda kali,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Aden tampak semringah ketika pembeli terus menerus berdatangan kepadanya. Dari remaja, pria, wanita, keluarga, hingga orang tua mengantar anaknya, semua ingin membeli jajanan Aden.

“Kalau saya sih pembelinya bukan anak kecil. Dewasa semua,” ujar Aden.
“Nah, iya (karena yang dulu suka beli es goyang sekarang sudah besar),” tambahnya.
Aden ke Jakarta untuk mencari kehidupan baru ditemani istri dan empat anaknya.
“Yang paling gede kelas 3 SMP,” katanya.
Aden tak mengeluh dengan keadaan. Meski es goyang andalannya sudah mulai dilupakan, Aden masih terus bersyukur karena katanya, masih ada saja yang membeli.
“Alhamdulillah (cukup untuk hidup),” ucap Aden sambil tersenyum.
Ia mengaku tak tergiur dengan jenis dagangan lainnya yang mungkin lebih cuan daripada sederhana stik esnya.
ADVERTISEMENT
“Milih ini (es goyang),” tegasnya.
Warga Senen, Jakarta Pusat ini rupanya membuat es goyangnya sendiri. Semua racikan es ia buat di rumahnya. Ia bekerja setiap hari di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat hingga CFD.
“(Sabtu-Minggu habis) 500 lidi paling,” ucapnya.
“(Hari kerja habis) paling 250,” tambahnya.
Meski menurut Aden penghasilannya itu tak seberapa, namun Aden tetap senang dengan apa yang dilakukannya sehari-hari.
“Setidaknya tidak hanya mewarisi harta orang tua,” ucapnya dengan nada bangga.
Sehari-hari, Aden bisa ditemukan di kawasan JIExpo, Kemayoran. Ia akan berada di sana dari pukul 10 pagi hingga malam menggerus staminanya menggoyangkan gerobak birunya.
“Kalau hari biasa saya keluar jam 10 pulang Isya. Kalau hari minggu bentar lagi juga pulang,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
“Hari libur Senin,” tandasnya.