Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kisah Ahok Tarung di Pilgub: Gagal di DKI, Berujung di Bui
24 Januari 2019 8:27 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:48 WIB
ADVERTISEMENT
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok --yang saat ini lebih ingin dipanggil BTP--, mungkin merupakan sosok paling fenomenal sepanjang Pilgub 2017 lalu. Perputaran nasibnya sungguh drastis. Awalnya, ia jagokan dan merajai survei elektabilitas, hingga akhirnya tersandung kasus, kalah telak, dan dijebloskan ke bui.
ADVERTISEMENT
Nama Ahok sebenarnya sudah mulai masuk bursa cagub sejak ia menggantikan Joko Widodo menjadi Gubernur DKI. Saat itu, isu ia akan diusung PDIP maju di Pilgub DKI 2017 santer terdengar. Ahok tak menampik, tak juga membenarkan. PDIP hanya memberi sinyal tanpa kepastian.
Popularitas Ahok plus menguatnya isu ia akan diusung PDIP memicu sejumlah pendukungnya untuk bergerak. Mereka lalu membentuk Teman Ahok dan beramai-ramai mengumpulkan fotokopi KTP warga DKI. Harapannya, dengan 1 juta KTP, Ahok bisa maju secara independen.
Ahok kemudian memilih menggantungkan kepercayaannya kepada Teman Ahok. Ia percaya, mereka bisa mengumpulkan satu juta KTP dan membuatnya maju secara independen. Ahok pede jadi DKI-1 tanpa parpol.
Belum lagi, ucapannya soal mahar politik sempat membuat sejumlah partai gusar. Saat itu, Ahok menyebut, biasanya partai politik akan meminta mahar sekitar Rp 100 miliar hingga Rp 200 miliar untuk mengusung nama tertentu.
ADVERTISEMENT
“Daripada saya disumbang Rp 200 miliar tapi enggak berhasil, lebih baik mereka menyumbang untuk orang Jakarta. Nyumbang bus atau apalah. Saya enggak jadi gubernur pun, orang Jakarta dapat menikmati,” kata Ahok di Balai Kota Jakarta, Kamis, 10 Maret 2016.
Namun, antusiasme warga Jakarta terhadap Ahok mampu meluluhkan hati beberapa partai. NasDem menjadi partai pertama yang mendeklarasikan dukungan untuk Ahok. Mengabaikan arogansi Ahok, NasDem mendukung ayah tiga anak ini tanpa syarat. NasDem juga tidak mengajukan nama wakil.
Setelah NasDem, Hanura, dan Golkar kemudian menyusul memberikan dukungan. Dengan tiga partai tersebut, Ahok sebenarnya sudah mengantongi 24 kursi dukungan di DPRD DKI. Jumlah ini, sudah di atas persyaratan minimal yang hanya 22 kursi di DPRD.
Seolah ingin menegaskan pilihannya maju di jalur independen, Ahok memberi sinyal akan menggandeng Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Heru Budi Hartono sebagai cawagub. Kehadiran Budi dianggap bisa membantu mengelola transparansi keuangan di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Namun, di pertengahan Juli, mantan politikus Gerindra ini mulai berubah pikiran dan memutuskan maju melalui jalur partai politik. Perlahan, nama Heru mulai tergeser. Keputusan Ahok itu pun sempat dikritik karena dianggap akan menurunkan kepercayaan dan elektabilitasnya.
Belum lagi, ada 1.024.634 fotokopi KTP pendukung yang terkumpul sia-sia.
Puncaknya, satu hari menjelang pendaftaran, PDIP mengeluarkan mandat dukungannya kepada Ahok. Tak hanya itu, Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri juga menunjuk Djarot Saiful Hidayat --yang saat itu menjadi Wagub DKI-- untuk mendampingi Ahok. Nama Heru terganti, Ahok-Djarot resmi maju.
Berkampanye 'sambil' didemo
Sebagai petahana, Ahok-Djarot memulai langkah mereka dengan cukup baik. Sejak awal, berbagai lembaga survei menempatkan mereka di posisi pertama, jauh di atas kedua rivalnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)-Sylviana Murni dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
ADVERTISEMENT
Namun, kunjungan Ahok di Kepulauan Seribu pada 30 September 2016 berujung menjadi sebuah petaka. Saat itu, di depan para warga, Ahok menyinggung surat Al Maidah Ayat 51.
“Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, enggak pilih saya karena dibohongi pakai Surat Al Maidah 51, macam-macam itu. Itu hak Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa enggak bisa pilih karena takut neraka, dibodohi begitu, enggak apa-apa. Karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu,” kata Ahok saat itu.
Dalam waktu singkat, ucapan itu langsung tersebar luas di media sosial dan memantik amarah umat Islam. Hingga pada 7 Oktober 2016, Habib Novel Chaidir Hasan melaporkan Ahok ke Bareskrim Polri dengan tuduhan penghinaan agama. Laporan itu diterima dengan nomor LP//1010/X/2016 Bareskrim.
ADVERTISEMENT
Di tengah proses pelaporan, muncul demonstrasi di berbagai daerah yang mendesak kasus tersebut segera diproses. Tak jarang, Ahok-Djarot ditolak saat akan berkampanye di sejumlah tempat di Jakarta. Meskipun, Ahok sudah berusaha kooperatif dengan menjalani sejumlah pemeriksaan dan meminta maaf secara terbuka berkali-kali.
Puncaknya, muncul aksi besar-besaran pada 4 November 2016 dengan tuntutan yang sama. Karena dampak kasus yang kian masif, Presiden Jokowi akhirnya turun tangan. Ia meminta Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk segera memproses kasus Ahok secara terbuka dan transparan.
Pada 16 November 2016, dalam gelar perkara di Mabes Polri, Ahok resmi menjadi tersangka kasus dugaan penistaan agama. Namun, karena dianggap bersikap kooperatif dan tidak akan kabur, Ahok tidak ditahan.
ADVERTISEMENT
Meski telah ditetapkan sebagai tersangka, namun empat partai pengusung Ahok tetap solid dan tidak mencabut dukungannya. Mereka optimistis, Ahok tetap bisa memenangkan Pilgub 2017.
Berkas perkara Ahok pun dinyatakan lengkap dan siap untuk masuk sidang pada 25 November 2016. Awalnya, sidang akan digelar di PN Jakarta Utara. Namun, karena masalah keamanan, lokasi sidang dipindah ke Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan.
Di sisi lain, sejumlah massa merasa geram karena Ahok tidak ditahan meski telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka lalu menggelar aksi damai dengan ‘memutihkan’ area Monumen Nasional pada 2 Desember 2016.
Dalam aksi yang dikenal dengan Aksi 212 itu, ratusan ribu massa --di beberapa sumber disebut jutaan, namun tidak ada jumlah pasti-- berkumpul dan berdoa bersama. Presiden Jokowi, Wapres Jusuf Kalla, menteri kabinet kerja, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian ikut hadir. Sementara Ahok, ia memilih diam di rumah bersama keluarga.
ADVERTISEMENT
Meski tuntutannya agar Ahok ditahan tidak terpenuhi, aksi tersebut tetap berjalan dengan damai dan mendapat sorotan dari berbagai negara. Isu Pilgub DKI, tak hanya menjadi perhatian nasional saja, tetapi internasional.
Setiap pekan, Ahok tetap menjalani sidangnya sambil berkampanye. Namun, isu tersebut rupanya tidak meruntuhkan elektabilitasnya hingga putaran pertama Pilgub DKI 2017 berakhir.
Pada hari pencoblosan putaran pertama Pilgub DKI, 15 Februari 2017, Ahok-Djarot mendapatkan 42,99 persen suara. Keduanya unggul dari Anies-Sandi (39,95 persen) dan AHY-Sylvi (17,02 persen). Karena tidak ada yang mendapat suara lebih dari 50 persen, putaran kedua pun digelar tanpa memasukkan AHY-Sylvi yang langkahnya kandas di awal.
Menang di putaran pertama, bukan berarti Ahok bisa bernapas lega. Ia masih punya PR merebut 17,02 persen pemilih AHY-Sylvi agar bisa menang dari Anies-Sandi. Di sisi lain, ia masih punya rangkaian sidang yang harus ia ikuti setiap pekannya.
ADVERTISEMENT
Sidang Ahok tidak pernah sepi. Baik massa pro maupun kontra selalu berkumpul di area depan Kantor Kementerian Pertanian dan menggelar aksi. Pada sidang ke-21, Ahok diberi kesempatan membela diri melalui pembacaan pledoi sepanjang lima halaman.
Dalam pledoi itu, Ahok menilai seluruh dakwaan soal penistaan agama tidak benar. Ia juga menyinggung pengalamannya bercerita tentang Finding Nemo di depan anak-anak TK. Ahok menggambarkan dirinya sebagai Nemo yang berjuang melawan arus demi kebaikan.
“Saya hanya seekor ikan kecil Nemo di tengah Jakarta yang akan terus menolong yang miskin dan membutuhkan. Walaupun saya difitnah dan dicaci maki, dihujat karena perbedaan iman dan kepercayaan saya, saya akan tetap melayani dengan kasih,” kata Ahok dalam pledoinya.
ADVERTISEMENT
Menjelang putaran kedua, persaingan suara Ahok-Djarot dan Anies-Sandi semakin ketat. Banyak yang menilai, Ahok akan tetap menang meski hanya terpaut suara tipis dari Anies-Sandi.
Di tengah gencarnya kampanye, kubu Ahok-Djarot kembali diguncang prahara. Di masa tenang kampanye, beberapa hari jelang pencoblosan, timses Ahok-Djarot dilaporkan ke Bawaslu karena diduga melakukan operasi pembagian sembako secara masif.
Menurut Peneliti LSI Denny JA, Rully Akbar, rumor tersebut memberikan dampak cukup signifikan pada perolehan suara Ahok-Djarot. Sebab, pembagian itu dinilai melukai sikap rasional warga Jakarta dan merusak simpati warga. Apalagi, Ahok-Djarot selama ini muncul dengan citra yang bersih dan jujur.
“Faktor gerilya sembako yang dilakukan oleh simpatisan pasangan Ahok-Djarot akhirnya menjatuhkan mereka sendiri atau menjadi blunder besar bagi pasangan Ahok-Djarot,” kata Rully.
ADVERTISEMENT
Ditambah dengan isu penistaan agama yang belum rampung, kekalahan sudah membayangi pasangan Ahok-Djarot. Isu ini, menurut Rully, rupanya menjadi salah satu pertimbangan bagi pemilih yang sebelumnya mendukung AHY-Sylvi.
Pada Pilgub DKI putaran kedua yang digelar pada 19 April 2017, pasangan petahan pun tumbang melawan si kuda hitam. Ahok hanya mendapat 42,04 persen sedangkan Anies-Sandi 57,96 persen.
Satu bulan kemudian, kasus penistaan agama Ahok pun rampung. Ahok dianggap terbukti bersalah dan divonis hukuman 2 tahun penjara pada 9 Mei 2017 lalu. Karier politik Ahok harus terhenti sementara.Gagal pertahankan kursi nomor satu di DKI, lalu masuk bui.