Kisah Aiptu Kania Dewi, 'Kartini' Pencari Keadilan Korban Kekerasan Seksual

21 April 2025 14:18 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aiptu Kania Dewi saat ditemui wartawan di Mapolrestabes Bandung, Senin (21/4/2025).
 Foto: Robby Bouceu/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Aiptu Kania Dewi saat ditemui wartawan di Mapolrestabes Bandung, Senin (21/4/2025). Foto: Robby Bouceu/kumparan
ADVERTISEMENT
Nyaris seperempat abad Aiptu Kania Dewi mendedikasikan hidupnya sebagai anggota di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Bandung. Wanita 44 tahun itu telah menjadi saksi dari begitu banyak luka yang tak tampak di permukaan.
ADVERTISEMENT
Luka-luka itu bukan miliknya, tapi milik anak-anak dan perempuan korban kekerasan seksual. Tapi justru dari sanalah ia memahami peran dalam tugasnya. Menangani kasus kekerasan seksual, tak sebatas soal memberi keadilan bagi korban, tapi bagaimana merangkul kelompok rentan itu dengan hati.
Terlebih, tak jarang yang menjadi korban kejahatan tersebut ialah anak yang masih di bawah umur.
“Memang model pemeriksaannya itu dari hati ke hati, empatinya dikedepankan gitu. Sehingga si anak ini tuh terbuka,” ucap dia saat ditemui di Polrestabes Bandung, Senin (21/4).
"Saya pernah menangani kasus di mana, korban itu anak yang tidak bisa bicara sama sekali. Kemudian saya juga pernah mendapat kasus, korbannya anak juga mendapatkan kekerasan seksual dari keluarganya, korban kondisinya tidak bisa berjalan sama sekali," katanya.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa kasus, dia bilang korban bahkan tak mampu berkata apa pun. Oleh karena itu, kelihaian dalam melakukan pendekatan yang tepat terhadap korban perlu diketahuinya.
Ilustrasi anak korban pencabulan . Foto: ChameleonsEye/Shutterstock
"Pernah ada anak yang sama sekali tidak mau bicara. Akhirnya kami gunakan metode lain. Misalnya lewat menggambar atau menulis. Tentu tetap didampingi psikolog dari P2TP2A," jelasnya.
Selama 24 tahun bertugas di PPA Satreskrim Polrestabes Bandung, Dewi melihat sendiri bagaimana angka kekerasan seksual meningkat, terutama di kalangan pelajar. Bahkan, banyak pelaku berasal dari lingkungan terdekat seperti ayah kandung, paman, tetangga. Itu kadang membuatnya merasa kewalahan.
Pendekatan dalam melakukan penyidikan serta rangkaian pengalaman menangani tindak kekerasan seksual itu, pada gilirannya berhasil mengungkap kasus-kasus yang terjadi. Itu membuatnya tak kalah dengan polisi laki-laki.
ADVERTISEMENT
“Kadang kami kewalahan. Tapi gak bisa mengeluh. Karena kekerasan seksual itu gak kenal waktu. Tengah malam pun, kalau ada penyerahan pelaku, kita harus lanjut,” ujarnya.

Pin Emas dari Kapolri

Aiptu Kania Dewi saat menerima penghargaan pin emas dari Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo. Foto: Dok. Istimewa
Dewi membuktikan diri sebagai polisi perempuan. Hingga pada tahun 2024 kemarin, Dewi yang masuk polisi tahun 1999 itu meraih sejumlah penghargaan atas kinerjanya. Salah satunya pin emas dari Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.
“Pin emas dari Pak Kapolri. Penghargaan dari Pak Kapolda, penghargaan dari pa Kapolres juga. Pokoknya tahun kemarin itu, tahun yang sangat luar biasa bagi saya gitu kan, karena berturut-turut dapat penghargaan,” ucap dia.

Dedikasi Sebagai Polisi dan Ibu

Dewi bukan hanya polisi, tapi juga merupakan seorang ibu. Ia pun berkisah tentang suka duka menjalani dua peran itu dalam sekaligus.
ADVERTISEMENT
"Saya pernah tiga hari tiga malam tidak pulang. Itu kasus anak SMP yang digilir sepuluh orang lewat aplikasi Michat. Anak saya sampai bawain baju ke kantor," kenangnya.
Dia mengaku bersyukur karena keluarganya di rumah senantiasa mendukungnya dalam bertugas. Dukungan itu diberikan tak hanya oleh suaminya yang juga seorang anggota, melainkan anaknya yang tak mengikuti jejaknya, karena khawatir kelewat sibuk.
“Anak saya pernah bilang, enggak mau jadi polisi, enggak mau kayak mama,” katanya, sembari tertawa kecil.
Aiptu Kania Dewi saat menerima penghargaan pin emas dari Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo. Foto: Dok. Istimewa
Aiptu Kania Dewi tak pernah berpindah dari unit PPA semenjak bertugas di sana pada 2001. Dari mulai bertugas di Sabhara, lalu pindah ke Reskrim yang, menurut pengakuannya, telah menjadi bagian dari jiwanya. Ia tak pernah mencari mutasi. Ia merasa paling berguna di sana.
ADVERTISEMENT
"Sudah nyaman, sudah dinikmati. Banyak suka-dukanya. Tapi saya merasa dibutuhkan di sini," katanya.
Sebelum menutup ceritanya, dia menyampaikan pesan kepada para perempuan di Indonesia, yang sederhana tetapi bertenaga di momen hari Kartini ini.
“Jadilah perempuan yang tangguh, ya, wanita yang mandiri,” pungkasnya.