news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kisah Arya Penangsang di Kadipaten Djipang, Blora

18 Januari 2020 14:48 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kirab Keraton Djipang di Blora, Jawa Tengah. Foto: Facebook/Pra Arya Jjipang II
zoom-in-whitePerbesar
Kirab Keraton Djipang di Blora, Jawa Tengah. Foto: Facebook/Pra Arya Jjipang II
ADVERTISEMENT
Belum selesai kasus Kerajaan Keraton Agung Sejagat, mencuat lagi Keraton Djipang di Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Kerajaan yang terletak di Kecamatan Cepu ini dikabarkan berdiri sejak 2014. Rajanya bernama PRA Barik Barliyan Surowiyoto yang mengklaim keturunan Arya Penangsang.
ADVERTISEMENT
"Ini kembali muncul di permukaan karena sebagai upaya kami untuk tetap melestarikan sejarah dan budaya yang ada. Saya memang ada keturunan dari Adipati Jipang, Arya Penangsang," katanya kepada kumparan, Kamis (16/1).
Barik mengatakan, kerajaannya punya sejarah, tak seperti Keraton Agung Sejagat di Purworejo yang berorientasi penipuan. Kerajaan Djipang menurutnya eksis untuk tujuan pariwisata dan melestarikan budaya.
Kirab Keraton Djipang di Blora, Jawa Tengah. Foto: Dok. Istimewa
Arya Penangsang dan Djipang memang bukan nama yang asing di wilayah Jawa Tengah. Dalam sejumlah tradisi lisan di Jawa Tengah, Arya Penangsang dianggap sosok sakti yang sulit mati. Meskipun, misalnya, perutnya sudah diledakkan.
Benar tidaknya cerita rakyat tersebut tak bisa dipastikan oleh bukti empiris. Namun, dalam naskah kuno Serat Babad Tanah Jawi versi J.J. Meinsma (1874), keberadaan sosok Arya Djipang tersebut dipastikan benar-benar ada.
ADVERTISEMENT

Dari Retaknya Kerajaan Demak

Dengan melemahnya Kerajaan Majapahit sekitar akhir abad 15, Kerajaan Demak di pesisir pantai utara Jawa muncul. Raden Patah mendirikan kerajaan tersebut tahun 1478. Trah kerajaan itu dilanjutkan oleh anak tertuanya bernama Pati Unus.
“Pati Unus disebut juga sebagai Pangeran Sabrang Lor. Ia adalah putra Raden Patah atau Panembahan Jimbun. Pada tahun 1511, Pati Unus menyerbu Jepara, tahun 1513 ia mengarungi Malaka,” bunyi teks Serat Babad Tanah Jawi.
Masjid Agung Demak yang dibangun Raden Patah. Foto: Wikipedia
Meninggalnya Pati Unus tahun 1521 setelah menyerbu Portugis di Malaka hampir menyisakan kekosongan kekuasaan. Sebab, ia tak punya keturunan untuk melanjutkan trahnya sebagai Raja.
Di sinilah retaknya rumah tangga Kerajaan Demak bermula. Harusnya, yang duduk menjadi raja selanjutnya adalah Raden Kikin alias Surowiyoto, putra kedua Raden Patah. Namun, suksesi itu tidak terjadi.
ADVERTISEMENT
“Yang menggantikannya anaknya yang satunya lagi bernama Raden Trenggana, karena anaknya yang lebih tua Pangeran Sekar Seda Lepen (julukan Raden Kikin) sudah dibunuh oleh putra Raden Trenggana yang bernama Pangeran Mukmin (setelah jadi Raja berjuluk Sunan Prawoto),” tulis Babad Tanah Jawi.
Putra Raden Kikin yang urung jadi Raja Demak ini bernama Arya Penangsang. Arya Penangsang mewarisi jabatan bapaknya menjadi Adipati Djipang, bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Demak yang berpusat di Kecamatan Cepu, Blora.
“Beberapa sumber menyatakan kalau (wilayah) Kadipaten Djipang itu sebagian Bojonegoro, kemudian sampai ke Blora, Rembang, Lasem, sebagian Tuban juga masuk,” terang Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kepemudaan, Olah Raga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Blora Sholichan Mochtar didampingi Kasi Kebudayaan Lukman kepada kumparan, Jumat (17/1).
Praktik kesenian sebagai upaya pelestarian petilasan Arya Penangsang di Desa Jipang. Foto: Dok. Blorakab.go.id
Perseteruan di Kerajaan Demak belum usai. Arya Penangsang membalas dendam bapaknya, membunuh Sunan Prawoto. Pembunuhan itu dilakukan menggunakan Keris Kyai Setan Kober, senjata yang menghunus Raden Kikin.
ADVERTISEMENT
Pria yang dijuluki juga sebagai Arya Jipang itu juga berseteru dengan menantu Sultan Trenggana bernama Adiwijaya alias Jaka Tingkir. Ia merupakan Adipati Pajang.
“Dalam sebuah pertempuran di tepi Kali Opak dengan pasukan Pajang yang dipimpin oleh Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi, Arya Penangsang tewas oleh keris Kyai Setan Kober yang dihunusnya sendiri karena memotong ususnya yang terburai setelah lambungnya robek terkena Tombak Kyai Plered yang digunakan Sutawijaya,” tulis situs Resmi Kabupaten Blora.
Setelah pembunuhan Arya Penangsang antara tahun 1540-50an, Serat Babad Tanah Jawi mengisahkan bahwa Adiwijaya menguasai tanah Jawa. Ia kemudian memimpin Kerajaan Pajang setelah dinobatkan sebagai sultan hingga tahun 1582.

Bukan Raja di Djipang

Bagi masyarakat Blora, Arya Penangsang dianggap sebagai sosok yang luar biasa. Kedudukannya dianggap tinggi karena silsilahnya yang berasal dari keturunan Raden Patah.
ADVERTISEMENT
“Beliau adalah putra dari Kanjeng Surowiyata, pangeran ini murid langsung/kinasih kanjeng Sunan Kudus. Sunan Kudus itu terakhir menjabat sebagai mufti masjid Agung Demak. Dan sebelum menjabat itu beliau adalah kepala angkatan bersenjata Demak,” terang Sholichan.
Sholichan Mochtar, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kepemudaan, Olah Raga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Blora. Foto: Dok. Sholichan Mochtar
Namun, Sholichan menampik apabila wilayah Djipang merupakan sebuah kerajaan atau keraton. Menurutnya, kata keraton berasal dari kata keratuan atau tempatnya ratu/raja. Sehingga, perlu sosok raja untuk menyebut Djipang sebagai kerajaan.
“Tidak menutup kemungkinan di saat nanti ditemukan data baru, kami bisa menyebut Keraton Djipang. Tapi sampai saat ini kami guru-guru sejarah kemudian periset dari dewan daerah sepakat sampai saat ini menyebutnya sebagai Kadipaten Djipang,” tutur Sholichan.
Lokasi Petilasan Kadipaten Jipang Panolan berada di Desa Jipang, Kecamatan Cepu, Blora. Foto: Dok. Blorakab.go.id
Adapun peninggalan Kadipaten Djipang yang masih ada salah satunya terletak di Desa Djipang, Kecamatan Cepu, berupa Makam Gedong Ageng Djipang. Diduga itu merupakan pusat pemerintahan Kadipaten Djipang kala itu.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, data-data sejarah yang ada hingga kini belum bisa menunjukkan Arya Penangsang pernah dilantik sebagai Raja, baik di Demak atau Djipang. Sholichan menjelaskan Djipang adalah sebuah kadipaten dan dipimpin oleh Adipati Kanjeng Arya Penangsang.
“Sampai sekarang tidak ada sebutan sultan. Karena di masa itu, pelantikan Sultan Demak, kemudian Adiwijaya/Jaka Tingkir itu juga Sultan. Artinya gelar seorang raja waktu itu adalah Sultan. Sedangkan kami belum pernah menemukan literatur yang menyebut Sultan Arya Penangsang,” bebernya.

Representasi Identitas Lokal

Pakar Kebudayaan Jawa Universitas Indonesia (UI) Darmoko menjelaskan kemunculan klaim raja dan Kerajaan Djipang di Blora sebagai upaya menghidupkan kembali budaya pesisir. Budaya ini berhadap-hadapan dengan budaya pedalaman yang kala itu berpusat di Mataram.
Darmoko, Pakar Budaya Jawa dan Dosen Prodi Jawa FIB Universitas Indonesia. Foto: Dok. Darmoko
Dosen Program Studi Jawa Fakultas Ilmu Budaya UI itu mengakui bahwa kisah leluhur yang diklaim itu memang ada sejarahnya. Ia menyebut, bisa jadi masyarakat yang tak punya keturunan langsung Arya Penangsang mengklaim sebagai titisan.
ADVERTISEMENT
“Mereka merasa memiliki (representasi) itu karena memiliki visi misi yang sama, budaya pesisir. Ia ingin menunjukkan identitas lokal, budaya pesisir, terus wakilnya siapa di situ? Kebetulan Arya Penangsang,” ujarnya kepada kumparan, Jumat (17/1).
Menurut Darmoko, tokoh Arya Penangsang dan Djipang adalah memori kolektif yang berusaha dimunculkan oleh masyarakat di Blora. Namun, ia menggarisbawahi apakah narasi yang dibangun tentang memori Keraton Djipang itu sesuai dengan tempat, tokoh, alur, latar, dan pesan moral dari sejarah yang tepat.
Ending-nya itu (harus) bisa dinalar. Selain itu harus mulih, pada awalnya begini, kok akhirnya begitu, harus klop. Kalau sesuatu belum terjadi bisa menjadi ramalan. Berikutnya terkait dengan tutug, kisah narasi yang dibangun itu harus tuntas dari awal sampai akhir. Kemudian kempel, seperti Babad Tanah Jawi itu seperti nasi, itu menyatu dan padu,” tutupnya.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memberikan bantuan kepada masyarakat kurang mampu melalui program zakat ASN. Foto: Dok. Pemprov Jateng
Menanggapi kemunculan klaim Keraton Djipang ini, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyebut hal itu berbeda dengan Keraton Agung Sejagat di Purworejo. Menurutnya kemunculan keraton di Blora ini tidak meresahkan masyarakat.
ADVERTISEMENT
“Kalau di Purworejo itu kan ngeri, kalau ndak dukung disumpahin tidak selamat, dikutuk dan sebagainya. Kalau yang di Blora tidak ancaman seperti itu. Orientasinya pariwisata," ujar Ganjar dalam keterangannya, Kamis (16/1).
ADVERTISEMENT