Kisah Bung Karno, Sumatera Barat, dan Pancasila

3 September 2020 14:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bung Karno dan Bung Hatta. Foto: AFP
zoom-in-whitePerbesar
Bung Karno dan Bung Hatta. Foto: AFP
ADVERTISEMENT
Relasi dan histori PDIP dan Sumatera Barat kini tengah menjadi sorotan publik. Bermula dari pernyataan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri yang menyebut rakyat Sumbar masih tak menyukai PDIP. Hal ini membuat PDIP kesulitan memiliki calon kepala daerah sendiri di Sumbar.
ADVERTISEMENT
Putri Megawati yang juga Ketua DPP PDIP Puan Maharani melontarkan pernyataan yang menuai kontroversi soal Sumatera Barat. Di acara yang sama saat Megawati melontarkan pernyataan soal Sumbar, Puan berharap agar Sumbar bisa menjadi provinsi yang mendukung Pancasila.
"Untuk Provinsi Sumatera Barat, rekomendasi diberikan kepada Ir Mulyadi dan Drs H Ali Mukni. Merdeka! Semoga Sumbar bisa menjadi provinsi yang memang mendukung negara Pancasila," tutur Puan, Rabu (2/9).
Ucapan Puan ini lantas menuai beragam reaksi. Banyak yang tidak terima jika Sumatera Barat diragukan dukungannya terhadap Pancasila. Padahal, proklamator Indonesia yang mendampingi Sukarno, Moh Hatta atau Bung Hatta, merupakan orang Minang.
Bung Karno, yang merupakan ayah Megawati dan kakek Puan, punya sejarah dengan Sumatera Barat. Selain kisahnya dengan Muhammad Hatta saat memperjuangkan proklamasi kemerdekaan, ternyata Sumbar memberikan inspirasi bagi Bung Karno soal Pancasila.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana relasi antara Bung Karno dan Sumbar?
Presiden Pertama Indonesia Sukarno bersama istrinya Fatmawati (kanan), putra mereka Guntur (kedua dari kanan) dan putrinya Megawati (kedua dari kiri). Foto: AFP
Bicara soal Sumatera Barat, peran masyarakat Minang dalam kemerdekaan dan perumusan Pancasila sebenarnya cukup krusial. Bahkan, Presiden pertama RI Sukarno --yang merupakan kakek Puan-- sempat tinggal di Padang selama lima bulan sebelum akhirnya pulang dan membawa 'oleh-oleh' berupa gagasan sila pertama.
Saat itu, di awal 1942, Belanda yang tengah terdesak oleh Jepang berusaha membawa Sukarno yang diasingkan di Bengkulu ke Australia. Mereka berencana membawa Sukarno menggunakan kapal yang disiapkan di Padang.
Sialnya, wilayah Sumatera rupanya sudah jatuh ke tangan Jepang. Agar Sukarno tidak dimanfaatkan oleh Jepang sebagai bagian dari propaganda anti-Belanda, pihak Belanda pun membawa Sukarno ke Padang.
Presiden Indonesia pertama, Sukarno. Foto: wikimedia
Bung Karno bertahan di Padang selama lima bulan, sejak Februari hingga Juli 1942. Selama ia berada di Padang, Bung Karno sempat berkunjung ke Perguruan Darul Funun, Puncakbakuang, Padang Japang.
ADVERTISEMENT
Dalam kunjungan itu, Bung Karno bertemu dengan Syekh Abbas Abddulah dan meminta saran, 'bagaimana sebaiknya negara Indonesia ini didirikan?'.
Konon, Syeikh Abbas lalu menyarankan, negara yang akan didirikan kelak, harus berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
"Di hadapan guru dan siswa DFA, usai salat Jumat di Masjid al-Abbasyiah. Syekh Abbas mengatakan kedatangan Bung Karno ke DFA untuk membicarakan konsep dasar-dasar dan penyelenggaraan negara,” ujar Fachrul Rasyid HF, salah satu penulis 'Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat', dilansir dari Historia.
Suasana Jam Gadang di Bukittingi, Sumatera Barat. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Pertemuan antara Bung Karno dengan Syeikh Abbas memang hanya berlangsung sebentar. Namun, konsep 'Ketuhanan Yang Maha Esa' terpatri dalam pikiran Bung Karno. Bahkan, ia masih ingat, Syeikh Abbas juga mengingatkan, jika konsep ketuhanan dihilangkan, maka revolusi tidak akan membawa hasil yang diharapkan.
ADVERTISEMENT
Setelah berada di Padang selama lima bulan, Bung Karno bertemu Komandan Gerakan F-Kikan, Kolonel Fujiyama, yang sudah mengetahui keberadaannya. Bung Karno dengan terpaksa menyetujui perjanjian dengan Jepang.
Meski demikian, setelah bertahun-tahun, konsep tentang sila pertama yang ia dapat dari Padang masih tetap diingat. Akhirnya, pada 1 Juli 1945, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Karno mengajukan lima prinsip dasar negara Indonesia --yang nantinya akan menjadi Pancasila.
Selain itu, Ketua DPD PDI Perjuangan Sumbar, Alex Indra Lukman menegaskan, rumusan Pancasila dari Bung Karno, digali dari keanekaragaman ajaran agama, budaya dan adat istiadat di nusantara, termasuk dari Ranah Minang. Alex menilai inspirasi dari Minang juga menjadi salah satu dasar pemikiran pada sila keempat.
ADVERTISEMENT
“Bung Karno bahkan mengunjungi langsung dan berdialog dengan berbagai tokoh dari tanah Minangkabau, saat perumusan nilai-nilai dasar negara Pancasila ini. Salah satu butir Pancasila yang berasal dari nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Minangkabau, terangkum dalam Sila ke-4 yang berbicara tentang musyawarah dan mufakat,” ungkap Alex, Kamis (3/9).

Kisah Dua Proklamator

Bung Hatta.dan Bung Karno Foto: Dok. Kemdikbud
Sumatera Barat juga menyumbangkan banyak tokoh dan pahlawan nasional. Salah satunya adalah sahabat Sukarno sekaligus Wakil Presiden pertama RI dan proklamator Muhammad Hatta.
Sukarno dan Moh Hatta adalah dwitunggal. Meski kerap berdebat, namun keduanya saling melengkapi. Perdebatan itu, juga mewarnai persahabatan keduanya dalam kehidupan bernegara, pribadi, hingga akhir hayat memisahkan keduanya.
Orang mungkin sudah berkali-kali mengetahui kisah soal perjuangan dan perumusan proklamasi Bung Karno dan Bung Hatta. Lalu bagaimana kisah 'perceraian' dua proklamator tersebut?
ADVERTISEMENT
Salah satu perbedaan besar Bung Karno dan Bung Hatta adalah mengenai sistem pemerintahan yang diberlakukan. Pada 1950, Soekarno menyatakan diri sebagai panglima tertinggi. Padahal menurut UUDS 1950 sistem pemerintahan Indonesia adalah parlementer. Presiden merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan adalah perdana menteri.
Bung Hatta menikah. Foto: perpusnas.go.id
Sikap Soekarno ini ditentang Hatta. Hatta juga protes dengan sikap Bung Karno yang seringkali mencapuri urusan pemerintahan yang harusnya jadi urusan perdana menteri.
"...bagi saya yang lama bertengkar dengan Sukarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberikan fair chance dalam waktu yang layak kepada Presiden Sukarno untuk mengalami sendiri, apakah sistemnya itu akan menjadi sukses atau suatu kegagalan," tulis Bung Hatta dalam bukunya, 'Demokrasi Kita' yang terbit tahun 1960 --lalu ditarik peredarannya oleh Kejaksaan Agung.
ADVERTISEMENT
Berpisah dari Bung Karno membuat status Bung Hatta sebagai dosen di UGM dicabut. Selain dilarang mengajar, ruang geraknya pun dibatasi.
Suasana Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945 Foto: jakarta.go.id
Sebenarnya, kepergian Bung Hatta dari posisi wapres juga cukup membuat Bung Karno patah hati. Menurut penuturan Komandan Pengawal Pribadi Presiden dan Wakil Presiden AKBP Mangil Martowidjojo dalam memoar 'Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-196', perpisahan Bung Hatta membuat Sukarno sangat kecewa.
“’Bung Hatta adalah seorang proklamator negara Indonesia,’ kata Bung Karno. Bung Karno juga berkata, ‘Presiden dan Wakil Presiden RI, dapat diganti setiap saat menurut kehendak rakyat, tetapi proklamator negara RI tidak dapat diganti oleh siapa pun. Maka dari itu, jagalah Bung Hatta baik-baik, sebagai penghormatan bangsa Indonesia kepada Bung Hatta’,” kata Sukarno, dikutip Mangil.
ADVERTISEMENT
“Bung Hatta kan proklamator negara RI, Bung Hatta kan berhak mendapat kehormatan pengawalan,” kata Bung Karno.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona