Kisah Citra Wulanjani, Pengajar Muda di Pegunungan Bintang

2 Mei 2018 13:06 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Citra Wulanjari, pengajar muda Indonesia Mengajar. (Foto: Moh Fajri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Citra Wulanjari, pengajar muda Indonesia Mengajar. (Foto: Moh Fajri/kumparan)
ADVERTISEMENT
"Teng! Teng! Teng!'
Bel tanda jam masuk sekolah sudah dipukul oleh Citra Wulanjani (24), seorang Pengajar Muda Indonesia Mengajar yang ditempatkan di SD Inpres Aboding, Pegunungan Bintang, Papua. Lulusan Universitas Negeri Malang (UNM) ini sudah hampir enam bulan terlibat proses belajar mengajar di SD yang dihuni oleh 41 siswa.
ADVERTISEMENT
Dengan senyum yang selalu mengembang, Citra menghampiri siswa-siswanya yang sudah berada di sekolah. Bagi Citra, menjadi seorang pengajar di ujung negeri merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. Kesempatan tersebut harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.
“Jadi Pengajar Muda itu suatu kehormatan buat saya, kenapa? Karena tidak semua orang punya kesempatan seperti saya, bisa hadir di tengah-tengah masyarakat di pelosok negeri ini untuk saling berbagi, saling menginspirasi, dan juga tentunya saling belajar,” ujar Citra dengan mata berbinar.
Suguhan pemandangan alam yang indah nan asri menjadikan Citra selalu terkesan sejak pertama kali menginjakkan kaki di Pegunungan Bintang. Belum lagi keramahan warga ditambah kepolosan serta kesederhanaan anak didiknya, membuat gadis kelahiran Bandung ini semakin bahagia.
Citra Wulanjari, pengajar muda Indonesia Mengajar. (Foto: Moh Fajri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Citra Wulanjari, pengajar muda Indonesia Mengajar. (Foto: Moh Fajri/kumparan)
Awl mengajar di SD Inpres Aboding, Citra sering menemukan anak didik yang datang terlambat ke sekolah. Keterlambatan siswa bisa sampai satu jam. Citra lalu mencari tahu alasan siswanya yang sering terlambat, sebab jarak sekolah dengan rumah siswa tak semuanya jauh.
ADVERTISEMENT
“Setelah saya tanya kepada dia (siswa yang terlambat), dia bilang ‘maaf Ibu Guru saya tidak tahu kalau ini sudah jam sekolah.’ Kenapa? Lalu dia jawab ‘ini masih kabut saya kira masih jam 6, Ibu Guru’,” cerita Citra.
Citra baru menyadari bahwa masyarakat di sini masih menandai waktu berdasarkan terbitnya matahari. Sehingga apabila sepanjang hari kabut menyelimuti sekitar SD Inpres Aboding, maka bisa jadi siswa-siswanya mengira masih pagi.
Citra Wulanjari, pengajar muda Indonesia Mengajar. (Foto: Moh Fajri/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Citra Wulanjari, pengajar muda Indonesia Mengajar. (Foto: Moh Fajri/kumparan)
Memang Pegunungan Bintang sering diselimuti kabut dengan hawa yang menyejukkan. Kabut muncul menjelang malam. Sehingga, saat malam hari jarang terlihat kerlipan bintang di langit Pegunungan Bintang.
“Untuk mengatasi keterlambatan siswa yang datang ke sekolah saya mengimbau kepada anak-anak setelah bangun tidur mereka harus segera makan dan berangkat ke sekolah dengan seragam lengkapnya,” ungkap Citra.
ADVERTISEMENT
Dengan hal itu bisa sedikit mengatasi masalah yang selama ini dihadapi para siswa.
"Saya menegaskan saya akan melakukan apel wajib setiap pukul 8 (pagi), itu itu bisa membuat saya mengetahui siapa-siapa yang belum hadir tepat waktu,” lanjutnya.
Anak didiknya juga belum terlalu memperhatikan kebersihan saat berangkat ke sekolah. Mereka ke sekolah melewatkan mandi atau sekadar membasuh muka dan mencuci kaki. Bahkan siswa-siswanya tersebut belum kenal gosok gigi.
“Jadi mereka bangun tidur ke sekolah dengan seragamnya yang ditaruh di noken kemudian mereka pakai itu di sekolah,” terang Citra.
Sebenarnya untuk mandi, masyarakat Pegunungan Bintang saat ini masih memanfaatkan air hujan. Apabila hujan turun deras warga akan menampungnya di drum atau profil. Namun tak semua warga mempunyai sarana untuk menampung air.
ADVERTISEMENT
Citra lalu memanfaatkan apel yang rutin dilakukan tak hanya untuk memeriksa siswa yang terlambat. Tetapi juga siswa yang belum mencuci muka saat berangkat ke sekolah.
“Awalnya mereka cukup malu sih enggak mau ngakuin siapa yang belum cuci muka ke sekolah. Tapi semakin ke sini mereka semakin sadar bahwa mereka belum cuci muka dan merasa sangat penting untuk cuci muka sebelum ke sekolah,” tutur Citra.
Citra mengabsen siswanya yang belum cuci muka. Dari situ terlihat hampir separuh dari siswa yang hadir belum mencuci muka.
“Yang belum cuci muka dan kaki silakan cuci dulu lalu kembali ke barisan,” ujar Citra kepada para sisiwanya sebelum masuk sekolah.
Mereka akhirnya berlarian menuju tempat tinggal Citra yang tak jauh dari sekolah. Di situ ada dua drum yang masih terisi air. Secara bergantian mereka membasuh wajah dan kaki polosnya. Namun saat Citra meminta anak didiknya mempercepat membersihkan diri, mereka semua langsung berebutan dan berlarian menuju ke barisan.
ADVERTISEMENT
Keesokan harinya Citra melakukan instruksi yang sama. Kali ini siswa-siswa mengaku sudah membersihkan diri sebelum ke sekolah, meskipun kaki mereka nampak kotor karena jalanan yang memang sedikit berlumpur.
“Saya sudah cuci muka, Ibu Guru!” teriak Nikson, salah satu murid Citra.
“Kau jangan tipu-tipu Ibu Guru ya,” balas Citra.
“Ahh ibu,” sahut Nikson sambil tersenyum malu.
Akhirnya Nikson dan teman-temannya yang mengaku belum cuci muka langsung kembali berlarian. Air di drum yang semakin menipis karena semalam tidak hujan membuat mereka terpaksa mengoyak drum tersebut. Bahkan ada siswa yang berniat masuk di dalam drum sebelum dihalangi oleh siswa lainnya.
SD Inpres Aboding memang belum mempunyai fasilitas yang mendukung untuk kebersihan siswa di sekolah. Sehingga untuk buang air kecil dan besar juga mereka harus mencari tempat kosong di sekitar sekolah. Hal tersebut juga diakui oleh Citra.
ADVERTISEMENT
Citra menambahkan bahwa tak hanya fasilitas untuk kebersihan saja, tetapi fasilitas lain yang menunjang proses belajar mengajar siswa dari buku sampai alat peraga perlu diperhatikan dan ditingkatkan lagi. Namun meskipun dari segi fasilitas cukup terbatas, Citra mengungkapkan semangat belajar mereka tak kalah dengan siswa lain khususnya di Indonesia.
Untuk itu Citra menitipkan pesan kepada anak didiknya agar tidak menyerah dengan keadaan. Sebab keterbatasan bukan berarti tak punya kesempatan untuk mewujudkan mimpi.
“Saya percaya bahwa mereka punya mimpi dan semangat yang sama besarnya dengan anak-anak di belahan Indonesia yang lain. Nah, dari situ saya yakin bahwa ketika mereka bisa terus bermimpi dan semangat untuk mencapai mimpi mereka, mereka tidak akan kalah dengan anak-anak di luar sana,” kata Citra penuh keyakinan.
ADVERTISEMENT