Kisah dr Sriyanto Penyintas Corona: Merasa Hampir Meninggal, Terbantu Plasma

4 Desember 2020 17:16 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
dr Sriyanto, penyintas COVID-19. Foto: Dok. dr Sriyanto
zoom-in-whitePerbesar
dr Sriyanto, penyintas COVID-19. Foto: Dok. dr Sriyanto
ADVERTISEMENT
Awalnya dr Sriyanto hanya ingin melepas rindu dengan kerabatnya yang sudah lebih dari 5 bulan tak bertemu karena pandemi corona pada 1 November lalu. Namun ternyata pertemuan itu juga yang membuatnya terpapar corona.
ADVERTISEMENT
Sriyanto yang menetap di Wonogiri ini curiga ketika merasa demam pada 15 November 2020. Panasnya tinggi dan berhari-hari tidak turun.
"Saya demam, biasanya saya demam dua hari minum obat, sembuh. Istirahat, enggak kerjalah. Sehari saya biasanya tidur, besoknya sembuh. [Tapi] Saya 3 hari enggak sembuh-sembuh, wah ini saya mikirnya lagi zaman COVID, terus akhirnya saya iseng-iseng satu rumah diswab semua," kata Sriyanto yang merupakan dokter bedah itu kepada kumparan, Jumat (4/12).
Hasil swab menunjukkan virus corona telah menyerangnya.
"Yang positif saya dan anak saya yang masih SMA," ujarnya.
Sriyanto dan anaknya langsung ke RSUD dr Moewardi Solo. Menurutnya, ia sudah sejak awal bersiap dan memberi tahu rekannya di sana bahwa kalau dia terinfeksi corona, dibantu dirawat di RS Moewardi.
RSUD Dr Moewardi di Surakarta, Jawa Tengah Foto: RS Moewardi
Alasannya jelas, dari informasi yang ia dapat dari rekan seprofesinya, RS Moewardi pilihan utama. Alat medisnya lengkap dan menyediakan Tocilizumab dengan merek Actemra, obat buatan Roche yang diyakini Sriyanto ampuh untuk COVID-19.
ADVERTISEMENT
"Saya dari dulu sudah persiapan, kalau COVID harus di Moewardi. Di RSUD [Wonogiri] enggak mau saya, di swasta juga enggak mau. Memang beda fasilitas yang diberikan, ini fakta. Ya pertama itu mertua teman saya koas dulu dia dapat Actemra dan plasma di RSPAD," jelas dr Sriyanto.
"RSPAD itu bagus. Teman saya kan di sana banyak, terus cerita mertuana dirawat di situ, Menhub juga di sana pakai Actemra dan hasilnya bagus," imbuhnya.
Obat Tocilizumab. Foto: REUTERS
Actemra sebenarnya merupakan obat anti-inflamasi yang biasanya diberikan kepada penderita rheumatoid arthritis.
Rheumatoid Arthritis merupakan peradangan sendi akibat sistem kekebalan tubuh yang menyerang jaringannya sendiri. Umumnya, penderita penyakit ini merasakan nyeri sendi dan terdapat bengkak di bagian tubuhnya.
ADVERTISEMENT
Tapi obat ini sejak Maret 2020 memang diberikan ke pasien COVID-19 gejala berat di sejumlah negara. Hasilnya baik dan sudah uji klinis, tetapi belum ada penjelasan terbaru soal apakah obat ini bisa dikatakan sebagai obat COVID-19 atau tidak.
Actemra dan Plasma Darah Jadi 'Penyelamat'
Kata Sriyanto, sebelum diberi Actemra, kondisinya makin hari makin buruk. Pada hari ke-6 bahkan dia sama sekali tak bisa makan, seharian ia hanya minum saja.
"Di hari ke-6 itu kan puncaknya ya, saya enggak bisa makan, enggak bisa nelen. Jadi nasi itu kayak beras, keras gitu. Frustrasi lihat makanan. Saya dikirimi Actemra di hari itu, terus tidur 6 jam, malamnya saya langsung bisa makan pisang," urainya.
ADVERTISEMENT
"Di hari ke 6 itu padahal saya enggak bisa makan sama sekali, cuma minum-minum saja. Karena enggak bisa ngunyah dan mindahin makanan ke tenggorokan. Ototnya enggak berfungsi, air ludah enggak keluar. Kan air ludah penting untuk melunakkan makanan," jelas Sriyanto.
dr Sriyanto, penyintas COVID-19. Foto: Dok. dr Sriyanto
Bahkan ia sudah merasa hampir menyerah. Di dalam hatinya tersirat pertanyaan apakah ini waktunya dia pulang ke pangkuan Sang Khalik.
"Besok saya enggak usah dikasih tahu angka-angka, hari ke-6 saya paranoid. Wis mati saya ini, wis mati. Kan yang mati-mati itu kayak gini. Ditelepon temen-temen masih batuk-batuk. Di grup WA sudah temen-temen minta doa di posisi kritis," ungkap dia.
Sriyanto menjelaskan, di hari yang sama ia meminta sopirnya untuk ke RSPAD Jakarta untuk mengambil plasma darah yang sudah dipesannya saat masuk RS Moewardi.
ADVERTISEMENT
Baru pada hari ke-7, di saat nafsu makannya sudah kembali, dr Sriyanto diserang gejala COVID-19 lain, yakni batuk terus-menerus.
"Hari ke-7 itu begitu gangguan makan rada membaik, batuk gantian mangkel. Ngobrol batuk, pindah salat batuk, wis pokoknya seharian batuk. Enggak bisa dihentikan, itu sakit banget," cerita dokter yang juga punya poliklinik itu.
Prajurit TNI AD yang telah sembuh COVID-19 mendonorkan plasma darahnya di Unit Tranfusi Darah (UTD) RSPAD Gatot Soebroto Jakarta, Selasa (18/8). Foto: Nova Wahyudi/ANTARA FOTO
Akhirnya plasma itu tiba di tanggal 25 November. Di malam harinya, pihak RS Moewardi langsung memberikan plasma itu ke dr Sriyanto.
"Saya beli 2 (satu kantong 200 cc Rp 2 juta), batuk mangkel itu, hari ke-7 malam masuk plasma darah. Hari ke-8 pagi masuk lagi, terus 12 jam kemudian langsung sembuh. Demamnya hilang, batuk tinggal 25 persen. Enggak perlu nunggu lama-lama. Hari ke-8 malam sembuh luar biasa," ungkapnya sambil terdengar tertawa bahagia di ujung telepon.
ADVERTISEMENT
Terapi plasma ini, kata dia, memang harus menjadi senjata utama perang melawan COVID-19. Sebab, paling efektif dalam menciptakan antibodi.
Petugas medis menyusun kantong berisi plasma konvalesen dari pasien sembuh COVID-19 di Unit Tranfusi Darah (UTD) RSPAD Gatot Soebroto Jakarta, Selasa (18/8). Foto: Nova Wahyudi/ANTARA FOTO
Menurut dr Sriyanto, tubuhnya seperti dikirim ratusan 'tentara' melawan COVID-19. Langsung segar dan keluhannya tinggal batuk yang juga tidak parah seperti hari ke-7.
"Plasma darah orang yang sembuh dia kan langsung ada antibodinya. Yang bikin sembuh kan antibodi ini. Sudah ada dan tinggi banget. Ibaratnya diberi ratusan ribu tentara suruh berkelahi sama COVID. Masuk akal itu kok," jelas dia.
"Actemra itu kalau plasma belum ada. Bisa jadi penolong awal," tutup dr Sriyanto.
***
Saksikan video menarik di bawah ini.