Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Kisah Eko Si Penjual Rumah Tanpa Jalan di Bandung
11 September 2018 20:22 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
ADVERTISEMENT
Dijual, rumah lokasi Bandung Timur masuk Kota Madya Bandung
Rp 150.000.000
ADVERTISEMENT
Barangkali butuh daripada dibiarkan rusak
150 juta nego sampai jadi ada sertifikat luas
72 m persegi minus jalan ditutupm, pertama di Indonesia
Bukan hoax asli ieu mah di ujung berung bandung
Akun Facebook Riko Purnama alias Eko (37) menjadi perbincangan. Bukan masalah nominalnya, melainkan tawaran Eko yang menyebut rumahnya dijual minus 'jalan'. Bukan Hoaks.
“Saya niatnya jual rumah dengan memberi keterangan apa adanya. Ya, karena memang betul rumah itu enggak ada jalannya. Postingan saya itu langsung viral,” ujar Eko saat ditemui wartawan di kediamannya di kawasan Ciporeat, Ujung Berung, Kota Bandung , Selasa (11/9).
Rumah Eko terletak di Kampung Sukagalih, Kelurahan Pasirjati, Kecamatan Ujung Berung, Kota Bandung , Jawa Barat. Benar saja, saat kumparan mendatangi lokasi, sejumlah bangunan mengimpit rumah Eko, membuat rumahnya terisolir, tak ada satupun akses jalan masuk maupun keluar.
ADVERTISEMENT
Hingga akhirnya, Eko dan keluarga terusir dari rumahnya sendiri. Padahal, kata Eko, rumah peninggalan orang tuanya itu sudah dibangun sejak 1999, bahkan tanahnya dibeli pada 1982. Kini, Eko tinggal di sebuah rumah kontrakan bersama adik-adiknya.
“Saat itu masih ada jalan. Tapi tahun 2016, sudah ada yang membeli tanah di depan dan jalan gang juga sudah dibangun. Padahal menurut BPN (Badan Pertanahan Nasional), lahan gang itu adalah fasos (fasilitas sosial) dan fasum (fasilitas umum),” kata Eko.
Pada 2016 lalu, Eko sempat berselisih dengan pengurus RW di lingkungannya. Sebab, Eko merasa hak atas jalan di rumahnya semakin ditutup rapat.
“Yang pertama membangun itu di gang yang biasa dilalui. Saya enggak keberatan karena bisa lewat depan. Tapi, tanah yang di depan rumah saya dibangun rumah lagi. Jadi, sudah engak bisa lewat sama sekali,” ujar dia.
ADVERTISEMENT
Berbagai cara Eko tempuh agar bisa merebut haknya kembali. Pertama, Eko telah bernegosiasi dengan pemilik rumah yang membangun tepat di depan rumahnya, untuk membeli sebagian tanah pemilik rumah itu seluas 20 meter x 1,5 meter.
Rencananya, tanah yang akan dibeli, akan Eko buat sebagai jalan. Namun, pemilik rumah mematok harga terlampau tinggi. “Nawarinnya Rp 120 juta. Padahal saya beli tanah untuk jalan yang hanya bisa dilewati motor,” terang Eko.
Tak membuahkan solusi, Eko lalu mendatangi BPN Kota Bandung untuk mengadukan masalah tersebut. Awalnya, keluhan Eko didengar, petugas BPN mendatangi rumahnya, turut meninjau dan mengukur tanah rumah Eko.
“Dari pengukuran BPN, rumah yang dibangun di lahan yang sebelumnya gang, merupakan fasos dan fasum. Jadi (memang) dilarang membangun rumah di situ,” papar Eko.
ADVERTISEMENT
Belakangan, Eko merasa peninjauan dan turun tangan BPN tersebut tak berdampak apapun. Bahkan, setelah ia melaporkan hal ini ke Dinas Tata Ruang, tetap tak digubris. Eko malah merasa 'dilempar sana-sini'.
“Pas datang ke Dinas Tata Ruang, petugasnya bilang 'sudah, bapak cari orang berpangkat saja,” kata Eko menirukan gaya bicara petugas BPN yang ditemuinya.
Pantauan kumparan, satu-satunya jalan di rumah Eko, hanya melalui sebuah bangunan kontrakan berpagar dan selalu dikunci. Para pewarta yang hendak memotret rumah Eko dari dekat pun cukup kesulitan, lantaran si pemilik kontrakan tidak mengizinkan wartawan melewati bangunan tersebut.