Kisah Gundik dan Nyai Ontosoroh

11 Desember 2019 14:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kisah Nyai Ontosoroh dalam film Bumi Manusia merupakan salah satu contoh praktik pergundikan di Hindia Belanda. Foto: dok. @falconpictures_/ Instagram
zoom-in-whitePerbesar
Kisah Nyai Ontosoroh dalam film Bumi Manusia merupakan salah satu contoh praktik pergundikan di Hindia Belanda. Foto: dok. @falconpictures_/ Instagram
ADVERTISEMENT
Kata-kata gundik tiba-tiba ramai diperbincangkan. Bermula dari cuitan di twitter soal kata gundik yang dikaitkan dengan kasus di maskapai Garuda Indonesia.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari persoalan di Garuda, jauh mundur ke era kolonial kata gundik kerap disematkan pada perempuan pribumi yang menikah dengan orang Belanda.
Berikut tulisan soal pergundikan yang kumparan kutip dari Historia.
Dari balik pintu muncul seorang perempuan pribumi mengenakan kebaya putih berenda, berkain jarik dengan selop beludru hitam berhias sulaman perak. Dialah Nyai Ontosoroh, gundik Tuan Mellema yang banyak dikagumi orang. Kehadirannya begitu mengesankan sebab selain penampilannya yang anggun dan rapi, bahasa Belandanya pun apik. Hal yang sulit ditemui pada diri seorang nyai.
Kisah Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer menjadi gambaran umum kondisi pergundikan di era kolonial. Praktik ini sebenarnya sudah dilakukan sejak VOC bercokol di Hindia Timur.
Potret Nyai Ontosoroh yang disebut sebagai gundik di Hindia Belanda dalam film Bumi Manusia. Foto: dok. @ifanrivaldi/ Instagram
Ketika Terusan Suez dibuka pada November 1869 peluang kehadiran orang Eropa makin tinggi karena perjalanan lebih singkat. Antara 1870-1880 ada sekitar sepuluh ribu orang Eropa yang datang ke koloni, kebanyakan lelaki. Perempuan Eropa masih amat langka, dengan perbandingan tiap 10 ribu lelaki terdapat 123 perempuan kulit putih. Angka ini belum termasuk golongan mestizo.
ADVERTISEMENT
Karena kesulitan mencari pasangan satu ras inilah, para bujangan Eropa kebanyakan hidup bersama nyai. Praktik pergundikan ini jamak ditemui di tangsi militer, perkebunan, dan masyarakat sipil di kota. “Mereka anggap tinggal bersama gundik sebagai tindakan ilegal dan tidak diterima secara moral tapi di saat yang sama mereka membutuhkan bahkan diuntungkan dengan praktik ini,” kata Reggie Baay, penulis buku Nyai dan Pergundikan, di Hindia Belanda kepada Historia.
VOC dan pemerintah kolonial mendiamkan perilaku ini karena selain memudahkan pengenalan adat dan bahasa setempat, mereka juga tak dibebani tunjangan lebih karena status pegawai yang masih lajang. Para elite tak perlu repot mendatangkan perempuan Eropa, juga tak perlu pusing oleh penyakit kelamin yang tersebar di rumah bordil.
ADVERTISEMENT
Namun, di balik semua keuntungan ini ada cibiran dan penolakan masyarakat kolonial pada praktik pergundikan. Di era VOC, penolakan paling dominan datang dari kalangan gereja yang melarang pernikahan dengan orang non-Kristen. Sementara, di era berikutnya, penolakan lebih didasarkan pada perbedaan rasial. Peraturan yang dikeluarkan Gubernur Jenderal Dymaer van Twist pada 1850-an menyebut tentara yang hidup bersama nyai akan ditangguhkan kenaikan pangkatnya.
Ketidaksukaan masyarakat kolonial pada praktik pergundikan juga memunculkan asumsi bahwa alasan perempuan pribumi mau menjadi nyai karena pertimbangan materialistis. Anggapan tersebut, menurut Tineke Hellwig dalam Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, melupakan posisi para perempuan terjajah dalam sistem kolonial. Para perempuan muda ini tidak punya suara apalagi pilihan. Ia hidup pada lingkungan tertindas di mana kemauan lelaki (ayah atau tuannya) harus dipenuhi tanpa penolakan.
ADVERTISEMENT
Ketidakberdayaan pada keputusan ayah ini pula yang dialami Sanikem. Ia hanya bisa patuh pada keinginan ayahnya. Protes dari sang ibu pun tak berbuah hasil, akhirnya mereka hanya bisa berbalas tangis dalam perjalanan menuju rumah Herman Mellema. Nasib perempuan yang lebih buruk dikisahkan Jan Breman dalam Menjinakkan Sang Kuli. Seorang kuli perempuan di perkebunan Deli menolak pinangan tuannya untuk menjadi seorang nyai lantaran ingin bersetia pada pasangan pribuminya. Keputusannya alih-alih diterima malah berbuah hukuman dengan siksaan yang kejam.
Setelah jadi nyai pun, nasib para perempuan Asia ini belum tentu mujur. Seorang nyai bisa dibilang tidak punya hak apa pun. Mereka hanya dianggap sebagai properti tuannya. Itulah mengapa beberapa orang Eropa menyebut nyai dengan julukan penuh hinaan. Meubel atau inventarisstuk karena mereka dengan mudah dipindahtangankan ke lelaki Belanda lain, atau bahkan dilelang sebagai bagian dari inventaris.
ADVERTISEMENT
Hubungan tuan-gundik nyatanya tak melulu buruk. Ada yang hidup bahagia seperti Nyai Ontosoroh, mendapat kesempatan megembangkan kemampuan membaca, menulis, dan berbahasa Belanda.
“Tentu ada pengecualian. Meski secara umum ditolak oleh masyarakat kolonial, ada juga lelaki Eropa yang bersikap baik seperti perlakuan Herman pada Ontosoroh. Penulis Willem Welraven misalnya. Relasi baik jadi kesempatan nyai untuk mendapat pengetahuan baru, meningkatkan intelektualitas, dan statusnya,” kata Reggie Baay.
Ilustrasi prostitusi zaman kolonial. Foto: Basith Subastian/kumparan
Willem Welraven adalah penulis dan wartawan yang hidup pada pergantian abad ke-19. Ia menikahi gundiknya, Itih, dan memperlakukannya laiknya ibu dan istri. Ia mengajari Itih membaca, menulis, berhitung, dan berbahasa Belanda. Ia juga mengajari Itih cara mengelola keuangan setelah sebelumnya jengkel pada ketidakpahaman istrinya itu. Walraven tak ambil pusing dengan stigma kolonial. Ia bahkan tak malu mengenalkan Itih sebagai istrinya.
ADVERTISEMENT
Kawin campur Welraven-Itih bisa terjadi setelah pelarangan pernikahan dengan non-Kristen dihapus pada 1848. Disusul kemudian pemberian status Eropa bagi para gundik yang dinikahi tuannya pada 1898. Setelah pernikahan campuran diakui, ada 80-100 pasangan yang menikah tiap tahun pada dekade 1886-1897.
Hanneke Ming dalam “Barracks-Concubinage in the Indies, 1887-1920” mencatat anggota tentara baru diizinkan menikahi pasangan pribuminya pada 1908. Namun perilaku hipokrit masyarakat kolonial tak hilang begitu saja. Mereka mengejek pergundikan, namun ketika pasangan beda ras ini hendak melegalkan hubungannya, ancaman karier mengadang si lelaki.
Hal inilah yang dialami pasangan Gow Pe Nio dan suaminya, Jurjen, seperti diceritakan Reggie Baay dalam bukunya "Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda". Jurjen merupakan apoteker militer kelahiran Belanda. Sementara Pe Nio bekerja sebagai pembantu di rumah residen Bandung.
ADVERTISEMENT
Mereka bertemu ketika Jurjen bertamu ke rumah residen itu. Jurjen meminta Pe Nio menjadi nyainya yang disambut kata setuju. Pada 1908 mereka dikaruniai anak pertama lalu menikah setahun setelahnya. Keputusan ini berdampak pada karier Jurjen. Ia lantas keluar dari dinas militer dan membuka apotek di Bandung.
Kekhawatiran adanya hambatan karier juga dirasakan tentara KNIL Alfred Wilhelm. Alfred menjalin hubungan dengan perempuan bumiputera asal Gombong, Djoemiha Noerawidjojo. Mereka bertemu di warung makan tempat kerja Djoemiha. Alfred rupanya datang tak hanya mencari makan, tetapi juga mencari pasangan. Ia pun meminta Djoemiha menjadi nyainya. Djoemiha-Alfred tak pernah menikah formal, namun mereka saling menemani hingga dipisah maut dengan selisih lima hari pada 1954 di Jakarta.
Gedung Lawang Sewu, Semarang Foto: Ema Fitriyani/kumparan
Hubungan Tragis
ADVERTISEMENT
Kisah Nyai Ontosoroh selain memberikan gambaran perempuan mandiri, juga mencerminkan kerapuhan posisi nyai. Dalam hubungan pergundikan, tak ada pengakuan secuil pun baik sebagai pasangan lelaki Eropa atau ibu.
Ketika Annelis dan Robert sudah diaku sebagai anak Herman Mellema, mereka berhak menyandang nama belakang ayahnya dan punya status sebagai orang Eropa. Pengakuan ini di lain sisi, membuat posisi sosial mereka lebih tinggi dibanding ibunya sendiri.
Aturan tentang pengakuan keturunan mulai dikeluarkan pada 1828 lantaran anak-anak hasil pergundikan tak terhitung jumlahnya. Bila si ayah tak ingin mengadopsi anaknya, pendaftaran kelahiran tetap bisa dilakukan. Anak-anak yang tak diadopsi tapi tetap didaftarkan kelahirannya itu menyandang nama ayahnya dengan penulisan terbalik. Misal, Kijdsmeir dari van Riemsdijk, Rhemrev dari Vermehr, Snitsevorg dari Grovestins, atau Esreteip dari Pieterse.
ADVERTISEMENT
Aturan lain menyusul kemudian yang memuat tentang hak asuh anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 40 dan 354 tahun 1848. Anak-anak hasil pergundikan yang sudah diadopsi ayahnya, secara hukum hubungan dengan ibu kandungnya gugur. Anak-anak itu murni milik ayahnya. Bila suatu hari ayahnya meninggal, si ibu tidak dapat mengambil alih hak asuh anak itu.
Itulah sebabnya setelah kematian Herman Mellema, perwalian Annelis diserahkan ke tangan Maurits Mellema, yang secara hukum diakui punya hubungan kekerabatan. Sementara Nyai Ontosoroh tak punya kuasa apa pun di mata hukum koloni.
Gedung Lawang Sewu, Semarang Foto: Ema Fitriyani/kumparan
Keputusan pengadilan yang mengalihkan hampir seluruh hak waris dan perwalian Annelis ke tangan Maurits meruntuhkan segala usaha Nyai Ontosoroh yang ia bangun bertahun-tahun. Pada akhirnya Nyai Ontosoroh dilempar dari permainan hukum kolonial yang tidak berpihak pada kaum bumi putera.
ADVERTISEMENT
Annelis, satu-satunya harapan Nyai Ontosoroh, pun akhirnya dikirim Maurits ke Belanda. Menjadi pelengkap kisah tragis dalam hubungan nyai dan anaknya.
Perpisahan para nyai dengan anaknya ini jadi kasus yang jamak terjadi. Hal serupa juga dialami ayah Reggie Baay. Ayah Reggie tak tahu betul siapa ibunya. Jejaknya hanya tertinggal dalam akta pengakuan keturunan yang dibuat kakeknya, Daniel Baay.
Nenek Reggie, bernama Moeinah yang berasal dari keluarga muslim miskin di Jengkilung, Surakarta (kemugkinan kini Desa Pendem, Sumberlawang, Sragen). Ia bekerja sebagai pelayan di rumah Daniel Baay dan Parijem, anak dari bangsawan rendah Kraton Surakarta.
Rupanya Louis Baay, anak Daniel, menaruh perhatian pada Moeinah. Mereka pun hidup bersama di vila kecil milik keluarga Baay di Surakarta. Hubungan ini membuat Moeinah melahirkan seorang putra, ayah Reggie, pada 1919. Belum genap setahun mengurus bayinya, Moeinah diminta meninggalkan rumah dan kembali ke desanya.
ADVERTISEMENT
Pada 1926, ketika Moeinah berusia sekira 25 tahun, ia kembali dipanggil oleh keluarga Baay untuk pembuatan “akta” anaknya. Setelah hak atas anak jatuh pada keluarga Baay, Moeinah kembali dilupakan. Ia tidak diperkenankan menemui anaknya.
“Saya seorang Indo. Nenek saya dulu seorang nyai, tapi ayah saya tak pernah tahu siapa ibu kandungnya,” kata Reggie.
Moeinah dipisahkan dan dipaksa melupakan anaknya. Namun kenangan atas anak yang ia lahirkan dan rawat selama beberapa bulan, barangkali tak bisa ia lupakan begitu saja.
Ayah Reggie lebih-lebih tak punya bayangan seperti apa rupa ibunya. Ia pun selalu menolak membicarakan tentang ibu kandungnya itu. Namun, sedikit ingatan buram pada masa kecilnya, ia catat di belakang akta pengakuan. Ketika masih kecil beberapa kali ia menyaksikan seorang perempuan Jawa berdiri di dekat pagar rumah. “Berkali-kali ia berusaha untuk mendekatiku tetapi kerap dihalau oleh pelayan kami. Akankah ia…
ADVERTISEMENT