Kisah Guru SMP di Banyuwangi Digaji Rp 200 Ribu Per Bulan, Bertahan karena Murid

9 Oktober 2024 14:29 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wiga Kurnia (27), guru honorer di Banyuwangi. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Wiga Kurnia (27), guru honorer di Banyuwangi. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gaji guru di Banyuwangi ini tidak dimuliakan semulia profesinya. Wiga Kurnia (27), harus mengajar di salah satu SMP di ujung Jawa Timur hanya dengan bayaran Rp 200 ribu sebulan.
ADVERTISEMENT
Wiga menceritakan hal tersebut melalui TikToknya yang kemudian viral. Perempuan itu adalah seorang guru lulusan S1 salah satu Universitas di Malang.
Setiap harinya, Wiga mengajar IPS dan PKN dengan total 25 jam kerja setiap minggu sejak 2022. Dia bekerja di SMP swasta di Kecamatan Muncar, Banyuwangi.
Menurut Wiga, idealnya bayaran mengajar adalah Rp 15 ribu per jam atau Rp 375 ribu per minggu. Namun di sekolahnya mengajar, gajinya tidak seperti itu karena kendala pendapatan sekolah.
Yayasan sekolahnya harus membagi keuangan mereka untuk delapan orang yang bekerja di sekolah tersebut termasuk kepala sekolah, sehingga Wiga mendapatkan bagiannya sebesar Rp 200 ribu per bulan.
“Secara logika tidak cukup, tapi dijalani saja,” ujar Wiga pada Selasa, (8/10).
ADVERTISEMENT
Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, ibu dua anak itu disokong oleh suaminya yang juga bekerja sebagai guru honorer di sebuah SMP Negeri di Banyuwangi. Beruntung gaji suaminya mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari.
“Cukup, meskipun harus irit. Kalau kebutuhan diri tidak terlalu saya pikir, saya lebih ingin memenuhi kebutuhan anak-anak saya, ingin membelikan baju untuk mereka,” ungkapnya.
Wiga bercerita, menjadi guru sebetulnya tak masuk dalam daftar cita-citanya. Jika takdir berpihak kepadanya, ia dulu bercita-cita menjadi seorang anggota polisi atau wiraswasta.
“(Guru) cita-cita mendadak. Basic orang tua adalah guru, saya juga punya ilmu, daripada tidak terpakai,” ujarnya.
Meski demikian berbagai persoalan ia hadapi, termasuk kriteria murid hingga sarana dan prasarana sekolah yang tak memadai sehingga tak cukup mendukung proses belajar mengajar.
ADVERTISEMENT
Wiga menceritakan, di sekolah dengan total 40 murid tersebut, banyak meja dan kursi yang mengalami kerusakan, bahkan untuk buku pun tidak menggunakan kurikulum merdeka melainkan KTSP dan Kurikulum 2013.
“Saya juga bertahan mengajar adalah karena sebagian besar murid itu saya yang bawa. Mereka anak-anak pesisir yang tidak punya biaya untuk sekolah, bahkan dilarang sekolah karena disuruh orang tuanya bekerja,” ungkapnya.
Apabila ia berhenti, maka anak didik yang ia bawa juga akan berhenti, sementara sebagian besar dari mereka meski sudah memasuki jenjang pendidikan menengah namun belum lancar baca tulis sehingga masih membutuhkan pendidikan yang intensif.
“Anak-anak (didik) saya kelas 7, 8 dan 9 ada banyak sekali yang tidak bisa membaca dan menulis,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Ke depan, dengan viralnya video yang ia buat tanpa sengaja, Wiga berharap pemerintah dapat lebih memperhatikan sarana dan prasarana pendidikan terutama di daerah-daerah.
“Pemerintah semoga memberikan bantuan atau paling tidak melihat saja sarana prasarana sekolah kami,” harapnya.
Ia mengaku punya rencana untuk fokus pada Pendidikan Profesi Guru (PPG) selama satu tahun yang dapat membantunya untuk masuk list prioritas apabila mengikuti tes PPPK di masa depan.