Kisah Historis Gedung PTT, Saksi Pemuda AMPTT Usir Penjajah di Bandung

21 September 2023 20:32 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bangunan bersejarah bekas Kantor Pusat PTT di samping Gedung Sate, Bandung, kini digunakan oleh Telkom dan Pos Indonesia. Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Bangunan bersejarah bekas Kantor Pusat PTT di samping Gedung Sate, Bandung, kini digunakan oleh Telkom dan Pos Indonesia. Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
ADVERTISEMENT
Sebuah bangunan peninggalan Belanda yang berada tepat bersebelahan dengan Gedung Sate, Kota Bandung, mempunyai nilai historis tinggi. Sebab, gedung bekas Kantor Pusat PTT itu pernah menjadi saksi perjuangan sejumlah pemuda yang tergabung dalam Angkatan Muda Pos Telegrap dan Telekomunikasi (AMPTT) dalam mengusir penjajah.
ADVERTISEMENT
Nama para pemuda pejuang terpahat pada sebuah monumen yang terletak di depan bangunan tersebut, yang kini digunakan oleh Telkom Indonesia dan Pos Indonesia. Momen perjuangan pengusiran penjajah pun diperingati oleh jajaran kedua perusahaan setiap 27 September sebagai Hari Bhakti Postel.
"Gedung ini adalah saksi sejarah bagi pos jadi pada waktu itu sebelum merdeka dan sesudah merdeka pada saat masuknya Jepang ini masih jadi aset Belanda dan waktu itu tokohnya yang memperjuangkan adalah Angkatan Muda PTT," cerita pensiunan dari PT Telkom, Bambang, ketika ditemui di depan tugu pada Kamis (21/9).
Bambang menceritakan peristiwa bersejarah itu bermula ketika seorang tokoh dari AMPTT, Soetoko, menginisiasi pertemuan antarpemuda pada 3 September 1945. Dari pertemuan tersebut, pemindahan kekuasaan Kantor Pusat PTT disepakati dan harus dilakukan paling lambat pada akhir September.
ADVERTISEMENT
Para pemuda AMPTT lalu menunjuk Mas Soeharto dan R. Dijar untuk menuntut Jepang menyerahkan gedung PTT melalui jalur damai. Apabila Jepang menolak, maka jalan kekerasan akan ditempuh.
"Mas Soeharto dan Dijar adalah tokoh sentral yang akhirnya diangkat jadi ketua jawatan dan wakil ketua jawatan," katanya.
Bangunan bersejarah bekas Kantor Pusat PTT di samping Gedung Sate, Bandung, kini digunakan oleh Telkom dan Pos Indonesia. Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
Kemudian pada 24 September 1945, Mas Soeharto dan Dijar menemui pimpinan PTT Jepang, Tuan Osada, untuk berunding sekaligus mendesak Jepang bersedia menyerahkan kekuasaan Kantor Pusat PTT kepada bangsa Indonesia.
Namun, perundingan di antara kedua belah pihak itu berujung kegagalan. Bendera merah putih sebagai tanda dari beralihnya kekuasaan hanya boleh dikibarkan di halaman belakang bangunan.
Singkat cerita, Soetoko ditetapkan sebagai ketua dalam pergerakan pengambilalihan kekuasaan dari Jepang pada 26 September 1945. Pergerakan itu pun langsung disetujui oleh Mas Soeharto. Anggota AMPTT menyebar untuk mengumpulkan senjata pada malam hari.
ADVERTISEMENT
"Siasat dan taktik disusun. Penduduk tua, muda dan semua organisasi perjuangan yang berkedudukan di dekat Kantor Pusat PTT dihubungi dan menyatakan kesediaan untuk memberikan bantuan Kepada AMPTT," papar dia.
Perundingan dengan pihak Jepang kembali dilakukan pada 27 September 1945, tapi menuai kegagalan. Para anggota AMPTT kemudian sepakat menempuh jalur kekerasan dalam merebut kekuasaan dari Jepang.
Monumen di depan bangunan bersejarah bekas Kantor Pusat PTT di samping Gedung Sate, Bandung, yang kini digunakan oleh Telkom dan Pos Indonesia. Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
Jepang akhirnya menyerah. Benderanya diturunkan dari pucuk tiang dan digantikan dengan sang saka merah putih yang berkibar. Lagu kebangsaan Indonesia Raya pun dikumandangkan untuk mempertegas pengalihan kekuasaan.
"Pada saat September 1945 terjadi pertumpahan darah, yang penting mengamankan gedung ini," tegas Bambang.
Kantor Pusat PTT dijaga oleh para anggota AMPTT pasca-perang. Pemimpin PTT Jepang gak boleh lagi masuk ke area kantor. Kini, bangunan bersejarah itu masih digunakan oleh Telkom dan Pos Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Sekarang dioperasikan untuk Yayasan Kesehatan Telkom dan Yayasan Pendidikan Telkom," katanya.
Berikut ini teks bersejarah yang dibacakan Soetoko saat pengambilalihan kekuasaan pada 27 September 1945: